Ini bulan yang melelahkan, dipenuhi pelbagai tenggat penumpukan tugas dan pemenuhan nilai. Padahal mid-semester belum lama berlalu. Namira kewalahan juga meski ia cukup terjadwal memenuhi tugas-tugas reguler yang diberikan, tak seperti Juliette yang super repot akibat menunda cukup banyak tugas. Kalau Kirana sih aman-aman saja karena ia ada dalam jajaran mahasiswi teladan dengan IQ 134. Menurut Namira, Kirana itu harusnya menggeluti eksakta kalau otaknya bisa sistematis begitu saat mengolah data-data sejarah diplomasi yang dipengaruh antropologi dan sosiologi budaya bangsa sampai psikologi manusianya. Kirana selalu terkekeh dan berjumawa dengan bilang eksakta dan teknik itu mutlak tentang keseimbangan dan metode. Angka anomalinya kecil jadi kurang tantangan. Sedangkan ilmu humaniora, kebalikannya. Dasar sombong. Seakan belum cukup bikin kesal, saat Juliette dan Namira pontang panting begini, Kirana malah sering sekali jalan berduaan dengan calon pacarnya yang anak semester awal Arsitektur itu. Modus operandinya menemani calon pacar merekam objek landmark seantero wilayah dalam bentuk sketsa manual.
Kan kasihan kalau panas-panas gak ada yang payungin dia,
begitu Kirana berkelakar sambil terkikik genit.
Juliette memandang sebal waktu itu sementara Namira uring-uringan karena ia jadi teringat Rifky yang tengah tidak ada di sisinya.
Ya, Rifky lagi bepergian ke berbagai tempat untuk menambah kontennya. Pada Namira ia menceritakan akan membuat setidaknya lima konten baru dari tempat-tempat yang belum pernah ia sambangi sama sekali. Tempat-tempat yang ia buta tentang segala halnya. Terdengar seru tapi Namira menganggapnya agak berbahaya. Namun, mana mungkin ia melarang kreatifitas Rifky, bukan? Maka, selepas ujian mid-semester Rifky sudah melanglang. Tidak semua tujuan Rifky Namira tahu karena Rifky pun berkata sambil jalan saja akan ia pikirkan. Yang jelas, tujuan pertama Rifky bikin Namira tercengang. Tiberias.
Ya kali masyarakat Nusantara wajar piknik ke sana! Yang ada nanti -sudah pasti, kolom komen bakal menyimpang dari konten. Rifky hanya tertawa lebar saja sambil berseloroh kalau itu resiko. Lagipula, menurutnya, pasti ada juga followers lokalnya yang sangat penasaran dengan visual Masjidil Aqsa, Gereja Makam Kudus, atau bahkan Nazareth. Banyak spot unik di negara berkonflik itu selain danau legendaris yang diyakini menjadi tempat Isa putra Maryam berjalan di atas permukaannya. Diyakini pula sebagai tempat beliau mengangkat ikan-ikan dari airnya guna memberi makan ribuan orang di saat pangan tengah langka. Namira tidak bisa membayangkannya sebab saat berwisata, ia hanya ingin bersenang-senang di tempat yang indah. Wisata religius belum menarik baginya dan Rifky memberi senyum simpul kapan hari itu seraya menyarankannya untuk mulai tertarik soalnya itu termasuk bagian dari budaya komunal. Lalu Rifky menambahkan, kalau dari sana ia akan coba ke Asia Tengah sampai Nepal denga Bhutan adalah pilihan Rifky sebagai penutup. Namira sebal. Itu semua pasti makan waktu berminggu-minggu. Belum lagi setelah kembali Rifky akan sibuk dengan editing. Dan, kemudian, treatment dengan Pak Chanchan yang tidak ada angin tidak ada hujan, mendadak memprioritaskan naskah Rifky untuk didahulukan jadi film. Naskah pertama Rifky -Anak-anak Anshari, akan diproduksi.
Namira yang tengah di depan laptop melirik lagi ponselnya untuk ke sekian kali. Kembali pula tangannya terulur meraih dan memeriksa notifikasi. Ekspresinya yang keruh jelas menggambarkan kepenatan hati karena tak juga kunjung ada notifikasi yang ia nanti. Alih-alih Rifky, yang lebih rajin menyapanya dengan manis adalah bot marketplaces langganan. Namira menengadah dan berteriak jengkel satu kali sambil hentakan kaki. Kabar terakhir yang Rifky beri adalah pukul sembilan pagi tadi. Ini sudah satu siang, Namira pikir sudah waktunya Rifky mengabari lagi.
Aduh! Rupanya Namira lupa zona waktu dan jelas tengah emosional penilaiannya. Baru tiga jam lalu Rifky yang baru terjaga dari tidurnya menyapa tapi Namira merasa sudah terlalu lama. Saat ini, Rifky sudah tidak lagi berada di Tiberias. Kekasihnya tengah berasa di Crimea dan mendapat fasilitas menginap di sebuah kastil tepi perairan yang indah. Dari semua tangkapan kamera yang Rifky kirim langsung, Namira paling suka dengan wilayah ini. Crimea. Rencananya menjelajah negara tersebut lalu keluar ke Asia Tengah lewat Suriah terkendala situasi geopolitik. Jadwalnya berantakan dengan ia dan tim bergegas keluar negara itu lewat Jordania. Rifky tidak mau pulang dengan tangan kosong jadi ia membuat konten lagi tentang Crimea yang sebenarnya dekat wilayah konflik juga. Hanya saja ia sudah mengenal Crimea dan ada keluarganya di sana sehingga ia merasa lebih aman.
Sambil cemberut Namira iseng googling dengan ponsel tentang Crimea. Sebuah negara kecil yang masih dalam bayang-bayang intervensi Russia. Jiwanya tersentil teringat tugas esai Geopolitik yang harus disetorkan esok. Namira menemukan topik. Ia tengah takzim mencerna informasi yang tersaji bebas di layar sambil sebentar-sebentar jemarinya menggeser kala sebuah panggilan masuk dan begitu saja terbawa lambang telepon hijau oleh ibu jarinya. Tidak ada nama yang terpampang tapi nomor pemanggil jelas dimulai dengan +1. Amerika Serikat. Namira tertegun. Sayup-sayup terdengar suara dari gawai di tangannya. Namira menarik nafas dalam-dalam dan perlahan menghembuskannya. Ia berusaha mengatur dirinya. Ia dekatkan gawai ke telinga,
"Hallo?"
Hanya ada suara statis patah-patah. Namira nyaris lega berniat memutus kala terdengar sahutan,
"Hallo Namira, apa kabar?"
Namira memejamkan mata sambil berkomat kamit menggerutu tanpa suara.
"Hm, siapa ya?"
Suara tawa kecil terdengar dari seberang, "Gitu banget ya kamu."
Namira meringis, "Ooh, Kak Meru ya?"
"Ya."
"Oh."
Hening.
"Ada apa ya, Kak?"
"Gak ada apa-apa. Cuma pengen denger suara kamu aja."
Namira memutar bola matanya, "Please deh, Kak Meru. Enggak lucu banget, tau!"
"Emang enggak lagi ngelucu, Namira."
Namira menggaruk canggung kepalanya. Sialan. Ia harus bagaimana untuk mengakhiri panggilan Mahameru ini?