Juliette dan Kirana memandang Namira yang tengah berbaring dengan tablet terangkat di atas wajah. Jemarinya bergerak-gerak sana sini memidahkan bulatan-bulatan penuh warna wani kemilau. Permainan susun menyusun sederhana yang bisa diakses tanpa jaringan besar.
"Biasanya makan malem tuh ribet kan, Mir?"
Namira menjawab santai pertanyaan Juliette, "Bisa ya, bisa enggak."
"Gimana?"
"Tergantung semuanya."
"Semuanya?" tanya Kirana bingung.
"Iya. Dari undangannya kan ketahuan. Sesuaiin lah acara apa! Itu kuncinya. Sama dibaca bener. Kadang detil penting macem dress code, jenis pesta, suka sengaja dicetak kecil. Jebak-jebak dikit lah!"
"Jadi ga semua jamuan makan malam pake undangan dari orang kaya raya pasti pesta ballroom?"
Namira melirik Kirana, "Ya kalo tempatnya di ballroom sama undangannya elegan, waktunya di jam utama, jelas udah pasti."
Juliette tertawa menyenggol Kirana, "Kenapa sih?"
Kirana tertawa, "Dalem otak gue tuh kalo denger kalimat 'undangan makan malam,' mikirnya gala dinner lengkap table manners dan segala kemewahannya yang ribet itu."
Namira memicing Kirana, "Dang! Yang kayak gitu, makan malam formal namanya. Emang harus, ya, setiap acara dalem hidup tuh formal glamor gitu?" sinis Namira.
Kedua temannya tergelak, kemudian Kirana kembali berkomentar,
"Pantesan lo santai-santai aja padahal ada undangan makan malam."
Namira mendengus seraya bangkit dari rebahan, "Makan malam tanpa undangan nyata fisik atau link bit.ly, dan gak diminta kirim balik reservasi, artinya kasual."
Juliette yang tengah tengkurap menopang dagunya, "Gimana kalo ntar malem ternyata resmi? Nenek Sihir lo itu kan suka nyeleneh tanpa kabar."
Namira menguap, "Bodo amat! Gue ma Iki bakal datang kayak biasa aja. Sebatas sopan dan layak sambil bawa buah tangan. Kalo kejadian kayak gitu, gue ma Iki bakal ditolak masuk dan itu justru bakal gue syukurin."
Kirana menyeringai, "Kebayang."
Namira menyingkirkan tabletnya dari pangkuan, "Gue tuh cuma kangen pengen ketemu Ismaya. Dia lagi lucu-lucunya. Cerewet manja gitu."
Juliette yang tengkurap di atas tumpukan bantal berbalik rebah, "Sayang ya lo sama adik lo?"
Namira tersenyum lebar, "Masa enggak?"
"Kan dia anak Nenek Sihir?"
Namira tergelak hambar, "Ismaya kan gak salah. Bisa gitu kita maunya lahir dari ibu yang mana?"
Kirana tersenyum tipis, "Iya. Lagian dia miripnya malah sama lo bukan sama emaknya."
Gelak tawa meledak bersama.
"Untung aja gen bokap lo yang kuat!" seloroh Juliette.
Namira tersenyum mengingat kelakuan lucu gadis kecil berusia lima tahun adiknya itu. Meski Ismaya adalah putri dari perempuan yang dibencinya, bagaimanapun, ia Namira sayangi. Hanya awalnya saja ia mampu menahan diri untuk bersikap abai. Seiring waktu, hati Namira luluh dan ia begitu saja menyayangi adik tirinya. Lagipula ia realistis terhadap perasaannya. Masa iya mau membenci dan menyalahkan Ismaya yang tak tahu menahu serta tidak juga menjadi alasan Papa menikahi si Nenek Sihir?
"Juleha, lo sekarang deket ya sama Daru?" tiba-tiba Namira bertanya.
Juliette melotot spontan, "Apa?" katanya dengan nada terkejut.
Kirana mengulas senyum jahil, "Iya tuh. Semalem aja gue ajak keluar nolak. Ditanya kenapa, jawabnya lagi nemenin si Daru makan."