"Semakin dewasa, tanggung jawab kamu akan semakin berat. Tapi, kamu pasti bisa melewatinya" -Ayah Rey-
⭐⭐⭐
Kania berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil terus memandang setiap pesan yang hanya dibaca saja oleh Rey. Sudah berkali-kali juga ia menghubungi Rey melalui panggilan, tetapi Rey tak kunjung mengangkatnya.
"Kamu kemana sih, Rey? Bunda khawatir sama kamu," gumam Kania.
Hari sudah beranjak malam, namun Kania tak berminat sama sekali untuk tidur di saat seperti ini. Rasa khawatirnya jauh lebih besar daripada rasa kantuknya. Mungkin, ia akan terus terjaga setidaknya sampai Rey memberikan kabar.
Tiba-tiba, bel rumah berbunyi beberapa kali membuat Kania langsung berjalan untuk menuju pintu depan. Ketika Kania membukakan pintu, nampaklah Rey dengan kondisi yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.
"Kamu kenapa, Rey?" tanya Kania.
Rey mendadak memeluk Kania tanpa kata sehingga membuat Kania tersentak kaget. Namun, Kania tetap membalas pelukan itu seraya mengelus punggung Rey.
"Maafin Rey, Bunda."
Deg.
Apakah ini bukan mimpi? Ataukah Kania salah dengar? Barusan, Rey memanggilnya Bunda? Sungguh, Kania tidak percaya akan hal ini. Bahkan, saking terharunya, setetes air mata berhasil lolos melewati pipi kanan Kania.
"Kita masuk dulu, yah? Sebaiknya kita mengobrol di dalam saja," saran Kania.
Rey menganggukkan kepalanya lalu pergi mendahului Kania yang masih mengunci pintu rumah. Rey langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan menyandarkan kepalanya yang sudah terasa sangat berat.
"Kamu dari mana saja, Rey?" tanya Kania ketika sudah duduk di samping Rey.
"Ketemu Mama," jawab Rey singkat. Kania sedikit terkejut dengan jawaban dari Rey.
"Luna ada di sini?"
"Mama tinggal di Bandung hanya seminggu, besok juga udah balik lagi ke Jakarta," jawab Rey.
"Ya udah, yang penting sekarang kamu sudah pulang lagi ke rumah," kata Kania. "Kamu segera ke kamar dan istirahat, yah? Bunda lihat sepertinya kamu kecapean," lanjutnya.
"Rey minta maaf, Bun."