“Kenapa Teteh malah pergi?” Ucap gadis berkerudung coklat yang datang tiba-tiba dan langsung menghadang itu.
“Teteh kesel ya sama Hana karena sering nanya-nanya A Dimas? Hana janji deh gak akan ngeceng-ngecengin A Dimas. Hana janji, Teh! Jangan pergi atuh, ya? Nanti siapa yang temenin Hana jadi instruktur? Teteh jangan pergi dong … ya?” Gadis itu –Hana— berusaha membujuk Shima, orang yang selama ini sudah ia anggap kakak sendiri.
Ambu Euis yang mendengar itu, membulatkan matanya. Ia berusaha mengisyaratkan pada Hana untuk tetap diam. Tapi dasar Hana yang bibirnya sedikit tidak bisa dikontrol. Hana tidak mengerti dengan bahasa isyarat itu.
Brug.
Pintu bagasi tertutup. Dimas yang memang sedari tadi sedang membenahi koper Shima dibagasi jadi tidak terlihat dipelupuk mata Hana. Padahal, kalau Hana tahu, sudah dipastikan ia akan menggangu Dimas dan akhirnya akan ditegur oleh Ambu Euis.
Melihat Dimas berjalan menghampiri Shima. Hana sedikit terkejut. Ia baru sadar dengan apa yang barusan ia katakan pada Shima. Ah, tidak. Kenapa semakin tidak ada harga dirinya sekali didepan Dimas.
Sekilas, Hana melihat Dimas sedikit menyunggingkan bibirnya. Ia semakin salah tingkah saja. Sudah habislah dia didepan Dimas. Dimas menoleh pada Shima, “sudah siap?” Shima menggangguk sebagai jawaban.
“Maaf, Hana. Teteh harus pergi. Teteh pasti pulang lagi. Tenang saja.” Ucap Shima pada Hana.
Hana memeluk erat Shima. Sebenarnya selain untuk salam perpisahan, Hana terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya pada Dimas. Walaupun ia sering tidak tahu mau alias sok kenal dan sok dekat pada Dimas, tapi mengakui kalau ia sering menanyai Dimas pada kakaknya itu … ia malu. Sungguh.