Lelaki itu membual lagi, dan kali ini bualannya lebih menjijikkan dari sebelumnya. Ia hanya membicarakan tentang gadis-gadis muda di bar murahan ujung gang sana. Beberapa lelaki yang mendengarnya juga ikut-ikutan menimpali ucapannya. Mereka terlihat begitu antusias, bahkan ikut menceritakan bagaimana cantiknya gadis-gadis di bar itu.
Aku sendiri bingung mendengar cerita gerombolan lelaki dekil di belakangku itu. Mereka tidak perduli pada cibiran dan lirikan tajam pengunjung kafe lain yang merasa sangat terganggu dengan tawa keras mereka. Kadang, bau keringat dari tubuh mereka tercium meski pendingin kafe tak di matikan.
Aku sendiri merasa sangat terganggu, jarak mejaku hanya 1 meter dari meja tempat gerombolan lelaki dekil dan bau itu. Aku melirik sana-sini berharap bisa menemukan satu meja kosong yang bisa kutempati.
Helaan nafas penuh kekecawaan kuhembuskan. Tidak bisa kutemukan, seluruh meja sudah penuh dan bahkan pelanggan yang baru datang terpaksa menunggu di luar untuk sekedar memesan kopi atau membeli sepotong kue manis.
Lalu mataku tertuju pada meja paling sudut dari kafe itu, meja dengan empat kursi yang hanya dihuni oleh satu lelaki muda saja. Ia begitu sibuk dengan laptop dan smartphone-nya. Kuperhatikan ia dari jauh, entah apa yang menyibukkannya hingga ia tidak perduli dengan keadaan di sekitar. Aku bangun, meraih gelas kopiku dan tas hitam lalu beranjak ke mejanya, aku bahkan tidak perduli jika nanti lelaki muda itu menuduhku tidak tahu malu atau sebagainya. Aku sudah tidak sanggup mendengar pembicaraan lelaki dekil di belakangku lebih lama. Terlalu menjijikkan bahkan aku mual mendengarnya.
Aku bangkir dari dudukku dan menghuni kursi kosong tepat dihadapannya. Wajahnya menunjukkan reaksi keterkejutan saat melihatku tiba-tiba datang.
"Maaf menganggumu, aku hanya tidak sanggup harus duduk dipojokan sana, pembicaraan lelaki itu benar-benar tidak sopan sama sekali," kataku berusaha menjelaskan kedatanganku yang sangat tiba-tiba.