Beyond Brief: Jadi Brief Nya Apa?

Kurniati Putri Haeirina
Chapter #2

Chapter 2: Mohon Bimbingannya, Pak

Sudah empat kali aku ber-wah-wah ria dengan takjub, sesekali menutupi mulut dengan tangan kiriku yang masih tertempel kain kasa bekas infusan. Rasa kagum mengiringi penjelajahan kampus yang tiba-tiba tampak lebih estetik. Koridor berwarna biru muda menyebarkan aroma cat segar, memberi isyarat kalau dekorasinya belum lama dilakukan. Area lobby tak kalah heboh dipasangi chandelier yang menjuntai mewah di langit-langit. 

Pandanganku terhenti sejenak saat melihat transformasi area yang sebelumnya cuma dinding polos, kini berubah menjadi galeri dengan papan akrilik bertuliskan “Notable Alumni”. Terdapat beberapa baris foto orang-orang berpengaruh dipajang di sana, termasuk salah satu beauty influencer dengan followers Instagram sebanyak 1 juta, yang tak lain adalah teman seangkatanku yang lulus dua semester lalu. Ia digadang-gadang sebagai simbol kecantikan dan kecerdasan yang seimbang oleh generasi muda masa kini. Konon rate card-nya baru saja naik hampir dua kali lipat di tahun ini, namun tak berarti beauty brand mundur untuk mengajaknya berkolaborasi mempromosikan produk-produk mereka. 

Manusia kurang motivasi seperti aku yang hobinya santai dan tidak terlalu khawatir dengan konsekuensi masa depan punya kecenderungan rendah untuk iri terhadap pencapaian orang lain. Namun, inilah momen reflektif bagiku untuk lebih produktif dalam mengatur waktu senggang yang melimpah ruah.

Makeover” kampus yang bikin suasana makin nyaman ternyata nggak terlalu lama membuatku terpesona. Ketika menyadari masih ada misi besar yang harus aku selesaikan, perasaanku jadi campur aduk. Dengan langkah berat, aku menuju student corner sambil merapal doa. Semoga dosen pembimbingku belum memasukkan nama Altara Izzy ke daftar mahasiswa hilang. Semoga ia masih berbaik hati menerima mahasiswa malas yang tiba-tiba muncul setelah “buron” dari bimbingan selama satu tahun. Semoga dua bab terakhir dari tesis yang draftnya tidak pernah aku sentuh bisa terselesaikan. Semoga aku bisa menghindari ancaman drop out di depan mata, amin amin amin! teriakku dalam hati berusaha bermanifestasi positif.

Dari kejauhan, ada sosok yang sedang duduk sendirian. Seperti ada magnet, aku dengan otomatis menghampirinya. Tak terhitung berapa banyak situasi menantang telah aku lewati, namun kali ini aku cukup gugup. Rasanya seperti bertemu dengan hantu dari masa lalu.

“Halo pak, sudah lama nggak ketemu” sapaku dengan cengiran lebar mengarah ke cengengesan sambil menyalaminya, menutupi rasa canggung.

Laki-laki setengah baya itu tersenyum ramah. Namun sorot matanya tajam, seakan bisa menembus pikiranku.

“Halo, Neng. Apa kabar kamu? Kalau saya sih baik-baik saja. Cuma hampir lupa sama wajah mahasiswaku yang gak pernah datang bimbingan hehehe” jawabnya santai.

“Hehehehe” aku ikut tertawa, mau nggak mau. “Kabar saya baik pak” aku menjawab meski wajah sedikit bengkak dan mata merah tanda belum sepenuhnya pulih dari sakit. “Maaf ya pak, saya lumayan sibuk sama kerjaan dan drama kehidupan” waktu menyebut drama kehidupan, sengaja suara aku kecilkan hingga hampir tak terdengar.

Aku menarik kursi di hadapannya. Sedikit gemetaran saat meletakkan laptop di meja. Kemudian memulai sesi bimbingan dengan basa-basi. “Ini ada sedikit makanan buat Bapak”, ucapku menyodorkan paperbag berisi coklat mahal, buah tangan seorang teman ketika menjengukku di Rumah Sakit. Beberapa kali hampir saja aku tergoda untuk melahapnya, untungnya berhasil menahan diri. Lumayan, jadi hadiah perdamaian dengan dosen pembimbingku tanpa harus keluar uang. 

“Kebetulan dapat kiriman teman, jadi saya bagi-bagi deh” aku mengklarifikasi supaya nggak keliatan nyogok-nyogok amat. “Wah terima kasih, ini sih favorit saya”. Dosenku menerima bingkisan tersebut dan meletakkannya di samping meja. “Nah sekarang, mari kita mulai diskusi untuk menyelesaikan tanggung jawab akademik kamu” lanjutnya ke pokok permasalahan.

Lihat selengkapnya