Beyond Brief: Jadi Brief Nya Apa?

Kurniati Putri Haeirina
Chapter #8

Chapter 8: First Project

Gian sudah menghabiskan gelas kedua dari jus semangkanya. Aku setengah melongo sambil berpikir kalau sebentar lagi pasti ia akan bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air. Gian merasa diperhatikan dan menatapku sambil tersenyum lebar.

“Kenapa? Gue udah punya pacar, lho” katanya tiba-tiba.

“Ha?” kataku tak mengerti.

“Ngeliatin gue mulu, kalau naksir gue nggak bisa tanggung jawab” katanya sambil tertawa.

“Idih!” jawabku refleks, lalu cepat-cepat mengunyah Mac and Cheese yang aku pesan. “Kalau reaksi lo begitu, gue bisa tebak kalau tipe lo nggak oke”. Gian ini memang lebih meyakinkan kalau dia diam saja, sedetik ia membuka mulutnya, wibawanya seakan runtuh. 

Ia membawaku ke salah satu cabang restoran mahal milik keluarganya. Awalnya, aku kira kami akan membahas hal serius serta strategi out of the box untuk mendapatkan maupun maintain hubungan baik dengan client, namun sudah hampir sejam kami duduk di sini, obrolan kami malah ngalor ngidul. Hebatnya, ngobrol sama Gian nggak memaksa diriku menjadi orang lain, aku bisa santai selayaknya bersama Miko dan Kirika. Kami bisa akrab dalam waktu cepat.

“Makan lo banyak juga ya, zy” katanya takjub melihatku yang sebelumnya sudah menandaskan french fries platter dan sandwich. Aku nyengir, habis tumpeng yang sudah susah payah aku sisakan tadi nggak jadi dimakan, yah gimana dong.

“Kacau nih, lo nggak cocok sama Pam dan Nina. Kalau lo harus kerja bareng sama mereka dan kebetulan gue nggak ada, jangan lupa harus makan dulu atau bawa snack ya. Bisa asam lambung lo!” 

“Oh ya? Kenapa gitu?” kataku heran.

“Biasa, orang kreatif kalau sudah fokus kerja selalu lupa segalanya, termasuk makan” Aku mengangguk-angguk.

“By the way” Gian teringat akan sesuatu. Ia membuka dompet Tom Ford miliknya dan mengeluarkan credit card platinum. “Nih, punya lo, and black card buat gue” ia menunjuk miliknya dan menyodorkan yang lainnya kepadaku.

“Wiih, gue dipegangin CC kantor nih? Asiiik, thank you!” kataku antusias sambil bertepuk tangan. “Kenapa lo baru dateng sekarang ke Freemium sih, Mas? Andai dari dulu, pasti gue nggak males-malesan kerja” aku menimang fasilitas baru tersebut bagai anak yang baru lahir.

“Jangan seneng dulu lo, ini tuh buat pencitraan, sekaligus pengikat untuk memeras tenaga lo sampai titik terakhir” ujarnya.

“Gue akan memakainya dengan baik dan hati-hati, dan memastikan tiap klien yang di-entertain akan merasa happy lalu terus mempercayakan seluruh urusan promosinya kepada kita”.

“Bagus, itu namanya cungpret tau diri” Gian terkekeh.

“Zy, ngomong-ngomong nih ya. Dalam minggu ini, kita harus segera bikin press conference. Di kantor aja, pesan makanan yang enak, bikin acara yang nggak garing, pastiin setiap media dapet merchandise yang oke”

Aku bersemangat, yak ini dia saatnya pekerjaanku menjadi beneran keren. “Beres! Gue bakal pastiin comeback kalian bertiga dapat spotlight yang sepadan” kataku.

“Yes, you better be. Oh ya, orang-orang media lo brief dulu, bikin guideline interview, dan ah! Untung gue inget. Pastiin nggak ada pertanyaan tentang keluarga Nina, atau Prasaka Pandawa, abangnya Pam. Ribet ntar kalau mereka sudah bad mood. Terus, hmm, mungkin di minggu depan gue bakal cuti” ucapnya dengan nada santai.

Aku tertegun, memproses omongannya.

“Penasaran kenapa gue cuti padahal baru masuk?” ucapnya dengan motif disengaja, pingin banget ditanya-tanya.

Aku mengangkat alis. “Penasaran. Tapi lebih penasaran sama cerita yang lain sih, Mas”. Gian menjawil tanganku, aku membalasnya sambil tertawa-tawa. Kalau saja adegan ini dilihat dari CCTV kafe, mungkin orang akan melihat kami seperti tetangga yang sedang bergosip.

“Kalian bertiga kenapa vakum sampai empat tahun sih Mas? lalu kenapa milih agency kecil yang hampir bangkrut kayak Freemium? Terus kenapa dengan keluarga Mba Nina dan siapa nya Pam tuh? Terus sekalian deh biar lo happy, kenapa lo cuti? mau kemana?” kataku hati-hati, takut pertanyaan ini berubah menjadi suatu hal negatif. “I mean, gue kan harus tau akar ceritanya, in case of crisis communication, juga menghindari isu-isu miring kalau ada yang gosip di kantor”.

Gian mengangguk-angguk dan menjentikkan jarinya, mengisyaratkan kalau dia siap menjawab. “Oke, pertanyaan klasik” katanya dengan senyum lebar.

“Singkatnya gini. Hidup tuh nggak melulu lurus-lurus aja, nggak seru kalau begitu,” Gian tertawa menyeringai. “Gue nggak bisa ngomong filosofis gini, Pam mungkin lebih cocok” ucapnya.

“Empat tahun lalu, kita lagi di puncak karena campaign Harum Cendana, tapi ya namanya juga hidup, ada aja cobaannya. Saking kompaknya, kita bahkan dapet masalah dengan jarak waktu yang hampir berbarengan. Bedanya, Nina sama Pam sih masalahnya datang dari hal yang nggak bisa mereka kontrol, kalau gue sih karena diri sendiri” Gian menyipitkan matanya, tersenyum bangga. “Bukan masalah sih, lebih ke blessing in disguise kali ya”. Lalu, ia membuka celana chino-nya dan memperlihatkan sebagian kakinya kepadaku.

Aku tak kuasa menutup mulut dengan tangan, terkejut dengan apa yang ada di balik kulitnya tersebut. Ada garis lurus panjang bekas operasi di sepanjang kakinya, bahkan di beberapa area tertentu ada benjolan keloid yang menyatu dengan kulit betisnya.

“Hehe” Gian cengengesan. “That was the party ever, but seriously, never drive drunk!” Ia berbicara enteng sambil mengangkat jempolnya. 

“Ya, namanya masa muda, harus dong dihabiskan dengan seneng-seneng. Tapi gara-gara ini, gue sempet sulit jalan sampai satu tahun. Bahkan sampai sekarang gue masih terapi, dua minggu sekali. Tapi terapinya di Bali, waktu gue kecelakaan, yah gue milih balik ke rumah orang tua gue aja, biar ada yang ngurusin. Terus berobat di rumah sakit disana, eh malah dapet bonus” ia tertawa. “Kayak semacam, Tuhan nyuruh gue berhenti nakal, dan gila nggak sih, Dokter yang menangani gue malah jadi jodoh gue sekarang”.

“Oh My God, crazy twist!” Aku membenahi posisi duduk, makin tertarik dengan kisah Gian. “Tapi gue sama sekali nggak notice lho mas, lo keliatan baik-baik aja”.

Iya dong! If you keep a happy mindset, nothing can break you”. Aku mengangguk setuju, menyukai pola pikir ini.

“Awalnya sih, gue nggak ada niat balik lagi ngurusin advertising, apalagi harus handle client yang maunya suka ajaib-ajaib. Gue masih fokus buat sembuh, jalan aja susah. Tapi, gue balik karena Nina dan Pam. Mereka sahabat gue sejak lama banget. Kenal dari kecil, keluarga juga temenan. Kuliah bareng di Aussie, ngerjain project kecil sampai gede, pindah ke Bangkok dan punya kesempatan jadi decision maker dalam campaign. Akhirnya, balik lagi ke sini dan ngerjain Ketek Man dengan segala dramanya”.

“Nah, kalau Nina dan Pam, ceritanya beda lagi..”

Gian membuka handphone dan mengetik nama di mesin pencarian. "Nih, bokapnya Nina, Adnian Malik" katanya. Ah, dia adalah figur powerful di industri kreatif. Produser terkenal yang memulai bisnis production house dan memiliki koneksi besar di dunia showbiz. Aku membaca dengan saksama halaman wikipedia yang menjelaskan profilnya panjang lebar.

“Keluarga Nina sudah dari dulu berkecimpung di urusan produksi film, FTV, dan manajemen artis” lanjut Gian. "Nina itu anak tunggal. Dari kecil, hidupnya selalu mudah. Apa yang dia mau, pasti ada. Sekolah terbaik, akses ke semua hal yang dia butuhin, semuanya tersedia. Dia nggak pernah ngerasain yang namanya kesulitan”.

Gian tersenyum tipis, “Gue kasih clue nih ya, Nina nggak akan tertarik sama hal-hal printilan, semuanya serba dihitung untung ruginya. Dia nggak akan mau repot ngurusin hal yang dianggap nggak penting. Jadi, jangan buang waktu buat cari perhatian atau menjilat dia. Nggak akan mempan”.

“Hidup yang selalu enak tentu ada side effect-nya. Temen gue yang satu ini punya visi buat nggak jadi shadow dari privilege bokapnya. Susah sih, Nina nggak pernah kesulitan kalau urusan koneksi atau apapun yang bisa jual nama Adnian Malik”.

Lihat selengkapnya