Beyond Brief: Jadi Brief Nya Apa?

Kurniati Putri Haeirina
Chapter #17

Chapter 17: Tipes Bikin Apes

Kami baru saja tiba di Bali, bertepatan dengan h-1 kegiatan Innovators Fest. “Welcome! Welcome! Ya, not much sih tapi lumayan lah buat kita nginep beberapa hari” ucap Gian dengan bak tour guide saat kami melangkah ke teras villa dua lantai miliknya. Apa nya yang not much? ini sih another level, ujarku dalam hati sambil memandangi villa bergaya modern tropical yang berdiri megah di hadapanku. Biasanya, aku cuma dapat jatah menginap di hotel bintang tiga atau (jarang-jarang) bintang empat kalau lagi training kantor, itu juga kalau Departemen finance lagi nggak pelit.

Di depan jendela besar dengan pintu geser, aku melihat pantulan diriku yang tampak seperti anak kecil di antara Gian dan Pam yang tinggi menjulang. Kami berjalan melewati jalan setapak yang didesain dengan batu alam dan kerikil, membuat roda koper murahku tersendat-sendat, susah payah bergerak.

Sejenak aku menikmati setiap sudut tempat ini dengan penuh penghayatan. Meski nggak terlalu besar, tempat ini kelihatan super nyaman. Ruang santai dengan jendela kaca besar dipadukan dengan sofa empuk. Area ini tanpa sekat, nyambung langsung sama dapur dan ruang makan, bikin cahaya matahari bebas masuk dan suasana jadi terang.

Dari ruang santai, ada akses langsung ke taman samping yang dihiasi tumbuhan merambat yang terawat. Taman ini juga punya kolam renang berbentuk persegi panjang berukuran sedang, lengkap dengan dua sun lounger untuk berjemur. Nuansa villa dipenuhi kayu, batu, dan bambu, memberikan kesan alami. 

Gian menjelaskan, “Keluarga gue sih jarang ke sini, paling sesekali kalau lagi ada acara dan kita butuh tempat buat nampung tamu. Tapi tempat ini tetep rutin dibersihin, sama penjaga” Ia menambahkan, “Pam juga punya andil besar di sini lhoo”.

Aku menatap mereka meminta penjelasan lebih lanjut. Gian tersenyum, “Pembangunan villa ini idenya Pras. Semuanya gratis, desain sampai konstruksi, semuanya beres karena dia” Gian menyenggol pundak Pam tanda bangga. “Jadi, bisa dibilang tempat ini hasil kolaborasi keluarga kita”.

Keren banget deh kerjasamanya orang kaya, kalau kolaborasi keluargaku paling-paling sih kerja bakti bersihin lapangan komplek buat lomba 17-an.

Kedatangan kami disambut dengan penghiburan hati yang menyenangkan mengingat betapa repotnya perjalanan ini tanpa bantuan Miko.

Tepat beberapa hari yang lalu, ketika tiket dan akomodasi ke Bali sudah tersusun rapi, Sesil, istri Miko, memberi kabar tak terduga. Miko Eko Prasetyo telah terkapar di Rumah Sakit. Penyebabnya? Tipes yang Bikin Apes. Pemicunya? Pikiran yang tak menentu serta pola diet nggak seimbang, kebanyakan makan Ayam Geprek Bawah Pohon sih.

Aku dan Kirika langsung bergegas ke rumah sakit tempat Miko dirawat. Kami tiba dengan aroma antiseptik tercium kuat di udara.

“Ri, Mik, titip dulu ya, gue mau balik dulu ke rumah, mandi sebentar sekalian ambil baju ganti” ucap Sesil menitipkan bayi besar yang tengah meringis sambil memegangi perutnya yang perih. 

Sepulangnya Sesil, tingkah Miko makin menjadi-jadi, memanfaatkan kelemahannya untuk menyuruh aku dan Kirika sesuka hati. Telunjuknya lurus menunjuk hantaran buah yang kami bawa untuk dikupas, tak lupa minta setting AC dan mengambilkan minum hangat. Aji mumpung, tingkahnya bagai kaisar yang dilayani dua dayang-dayang.

Aku memotong buah nada sambil merengut. Kenapa sih Miko sakit nggak tau waktu, padahal aku butuh dia untuk mengibarkan bendera kemenangan Freemium di Bali. Ia yang melihatku masih ngambek, mengaduh sambil meminta pemahaman.

“Buset zy, masih sebel aja lo. Gue beneran sakit loh ini” ia sengaja membuat dirinya terlihat selemah mungkin, tak cocok dengan perawakannya yang mirip tukang pukul di terminal.

Kirika tertawa kecil menyadari drama kami. “Lagian elo nih Mik, dikasih nasihat itu dijalanin, bukannya dijadiin bahan overthinking”. Aku mengangguk setuju sambil menaruh mangkuk berisi buah yang sudah dipotong-potong di dekatnya, mengumpulkan kulitnya dan beranjak menuju kotak sampah.

Miko menusuk tiga iris buah dengan garpu, dan hap! meluncur ke mulutnya. Semangat makan anak ini tetap dahsyat meski tubuh digerogoti bakteri penyakit.

“Kira-kira kalau nafsu makan lo gini, mungkin nggak ya dua tiga hari lagi lo sembuh terus berangkat ke Bali?” tanyaku memaksa.

“Astaga, nir-empati banget ni anak” ucapnya sambil lanjut mengunyah dan mengambil segelas air hangat dari tangan Kirika. Setengah gelas air lenyap, mengalir deras ke kerongkongannya.

Aku kembali duduk di kursi lipat di samping tempat tidur, sementara Kirika menduduki sedikit saja sisa matras yang ditimpa tubuh Miko.

Kirika menatap Miko dan aku bergantian, lalu tertawa kecut, bagai bisa membaca pikiranku. “Aduh, nasib buruk kita tuh kenapa ya tanpa ujung?”. Aku hanya mendengus, sementara Miko mengangkat alis tak mengerti.

Kirika membuka handphone masih dengan tersenyum geli, menunjukkan layar ponselnya kepada Miko yang langsung mengulurkan mangkok kosongnya. Hanya sepersekian detik melihat layar, wajah Miko langsung berubah kaget dan menoleh kepadaku.

“Hmmm” ucapku sambil tersenyum sarkas.

Lihat selengkapnya