Beyond Brief: Jadi Brief Nya Apa?

Kurniati Putri Haeirina
Chapter #19

Chapter 19: Semua Terlalu Mulus

Matahari Bali mulai menyingsing saat kami kembali ke venue Innovators Fest. Hari ini, The Three Musketeers, lengkap dengan Gian, memiliki jadwal media engagement untuk bertemu dengan rekanan media dan berbagi insight mengenai sepak terjang mereka di industri kreatif. Berita mengenai suksesnya workshop Pam dan Nina kemarin sudah mendulang banyak pembicaraan di berbagai platform.

Tugas Izzy sang upik abu hari ini: membantu koordinasi dan memfasilitasi interview. Andaikan Miko jadi ikut, pastinya beban mengurusi segala printilan ini bisa aku bagi dua dengannya, dia selalu bisa diandalkan untuk angkut barang-barang berat, ribuan kalori yang ia konsumsi setiap hari menjadikan badannya kuat banget.

Namun nggak apa-apa deh, pengalaman di Bali sejauh ini sudah sangat mulus, bahkan melebihi ekspektasiku. Bahkan semalam, kami mengadakan selebrasi kecil-kecilan, BBQ-an di villa. Gian datang membawa beberapa Kobe Beef dan pelengkap lainnya yang ia beli setelah menjemput pacarnya yang baru selesai praktek di Rumah Sakit. Ternyata dia unexpectedly fun, langsung nyambung ngobrol dengan kami, bikin suasana jadi lebih ramai.

Bahkan Mbak Nina juga datang dari hotel dan ikut bergabung dalam acara ini. Awalnya, dia menolak menikmati daging bakar karena sudah terlalu lewat dari jadwal makan terakhirnya. Namun, aku nggak menyerah dan menyodorkan sepotong daging well done yang aku grill sendiri. "Tenang mba. Nanti bisa jogging di pantai pagi-pagi, atau langsung suntik anti lemak deh di klinik”. Mbak Nina menatapku sedikit melotot, ingin menolak, tapi akhirnya mencicipi juga. Begitu gigitan pertama masuk mulutnya, matanya langsung membesar, dan senyum tipis muncul di bibirnya. "Enak, kan?" tanyaku dengan nada puas.

Mbak Nina ternyata nggak sesaklek yang diwanti-wanti Gian pada awal pertemuan kami. Toh, aku nggak punya intensi untuk menjilat. Emangnya si Danrief? Aku cuma mau Mbak Nina nggak sering tegang, ini kan skincare paling murah dibanding serum seharga jutaan yang mungkin dia pakai.

Beberapa kali aku merasakan mata Gian dan Pam memandangi interaksiku dengan Nina. Mereka mungkin heran dengan tindakanku yang kadang nekat demi mencairkan suasana. Kami ngobrol sampai larut, karaoke bersama. Lebih tepatnya sih aku, Gian, dan pacarnya yang heboh, sementara Mbak Nina dan Pam lebih banyak tertawa dan menikmati momen.

Aku sebenarnya agak sakit pinggang akibat ulah sendiri, bernyanyi dengan menambahkan koreografi tak menentu semalam suntuk. Tapi rasa capek lenyap karena kembali melihat antusiasme orang-orang hari ini.

Setelah memastikan semua talking point aman, aku mundur untuk memonitor jalannya wawancara dari balik tubuh para wartawan. Mereka membahas pentingnya inovasi berkelanjutan, adaptasi terhadap teknologi baru, dan bagaimana kolaborasi lintas sektor dapat memperkaya ekosistem kreatif. Pembicaraan mereka serius tapi luwes, aku sempat berkhayal kalau posisi The Three Musketeers saat ini digantikan oleh Serdadu Pantry, pasti omongannya malah ngalor ngidul ketimbang ngasih insight.

Seluruh pertanyaan terjawab dengan baik, menyelesaikan tugas terakhir para bos besarku di Innovators Fest. Selanjutnya, tinggal mempersiapkan diri untuk Networking Night, the highlight of everything, esok malam.

Mereka bertiga masih berbincang dengan panitia, jadi aku memutuskan untuk pergi ke venue kemarin untuk mengambil device yang masih tertinggal. Tak ingin mengganggu, aku memilih mengirim pesan chat kepada Gian.

Panitia mengembalikan dua tote bag besar berisi device AR. Setelah basa-basi sebentar, aku langsung pamit. Gian mengirimiku pesan bahwa dia dan Nina akan cabut lebih dulu untuk bertemu desainer lokal. Mereka menuju hotel Nina untuk mencoba pakaian mewah yang telah disiapkan, seolah-olah besok adalah Met Gala.

Sementara itu, aku balik ke villa dengan Pam. Pam mungkin lebih memilih mengerjakan ide-ide kreatifnya. Kami sudah janjian untuk bertemu di Grand Lobby. Dengan susah payah, aku membawa dua tote bag berat tersebut, langkahku cepat karena ingin segera menaruh barang-barang yang bikin lenganku serasa mau putus ini.

Grand Lobby venue Innovators Fest cukup ramai dengan lalu-lalang orang. Suara dari berbagai percakapan, dering telepon, dan langkah kaki memenuhi suasana. Beberapa orang terlihat berkumpul di sekitar resepsionis, sibuk menanyakan jadwal dan mencari informasi. 

Aku berusaha fokus pada tujuan, tapi tiba-tiba pandanganku tertuju pada sosok yang tak asing, hanya berjarak kurang dari satu meter. Tubuhku langsung membeku. Jantungku mau melompat keluar. AH TIDAK! ITU KAN DANRIEF! Ia berjalan sendirian dengan setelan super rapi, mengapit clutch mahal, tampak berwibawa meski cuma casing luarnya.

AAAAAAAH! Padahal aku sudah berkali-kali memastikan kalau jadwal workshop si brengsek ini dilaksanakan pada malam hari. Aku salah perhitungan nih. Pantas saja semua terasa terlalu mulus. Nggak mungkin hidupku bebas drama. Lagian, ngapain sih dia muncul siang bolong gini? pasti mau pansos sana-sini, berakting friendly dengan mangsa potensial. Sial bener, semesta emang hobi nge-prank.

Sejenak, aku teringat lagi kata-kata Miko dan Kirika yang memintaku untuk lari dan tidak berhadapan langsung dengan Danrief. Tapi, meski strategi sudah matang, keberuntungan sering libur kalau menyangkut urusan ku. Gimana mau menghindar kalau kami sudah bertatapan? Aku mencoba membuang muka dan berjalan menghindar, bodo amat deh mau dikatain pengecut juga.

Namun, Danrief menghentikan langkahnya, menghadangku. Mukanya terlihat congkak, apalagi keadaanku sedang dalam momen menjadi pesuruh begini. Belum ia membuka mulut untuk bersuara, aku sudah bisa merasa kalau ia mengejekku dalam pikirannya.

“Izzy, mau kemana? Buru-buru banget?” ucapnya dengan ekspresi setengah senyum.

SHIT. Aku menghela nafas, menghindarinya dengan memilih berjalan memutar balik, namun ia mengikutiku. “Mau lo apa? Liat nih, bawaan gue berat, permisi” ucapku jutek.

Danrief tersenyum tipis, tatapannya dingin. “Gue cuma mau ngobrol sebentar, nggak usah defensif gitu. Lagipula, kita pernah punya sejarah panjang kan?”.

“Gue lagi nggak minat buat basa-basi” jawabku.

Lihat selengkapnya