Beyond Brief: Jadi Brief Nya Apa?

Kurniati Putri Haeirina
Chapter #20

Chapter 20: Regal Java

Bruk! Bunyi renyah menerpa pinggangku yang ringkih. Dengan kaget, aku membuka mata sambil mengaduh kesakitan. Ternyata, aku berguling terlalu heboh ke kiri dan terjatuh dari kasur. Kepalaku masih berat, namun panasnya sinar matahari menembus gorden vitrase kamar villa, menandakan kalau aku sudah kesiangan. Aku menghela napas panjang, mengumpulkan energi untuk bangkit dari lantai parket. Ah, awal yang sempurna untuk memulai misteri dan drama hidup yang sudah menunggu hari ini.

Sambil tertatih, aku kembali ke kasur, meraih handphone yang masih tercolok dengan aliran listrik dari semalam. Banyak chat dari grup Serdadu Pantry, lanjutan dari curhat panjangku malam tadi. Kami langsung meeting darurat via video call pasca keributan antara aku dan Danrief kemarin. Semalaman aku memilih mengurung diri di kamar, menghindari The Three Musketeers sebisa mungkin. Habisnya rasa nggak enak hati masih menguasai. Apalagi kemarin Pam meledak karena ulahku. Sudah aku yang bikin ribut, ide bodohku untuk membalas dendam dengan rencana ini itu membuatnya semakin jengah. Ya, aku harus cari cara minta maaf, tapi belum sanggup kalau sekarang.

Hari ini seharusnya jadi free time buat kami sebelum menghadiri Networking Night malam nanti. Tapi kenyataannya, aku malah memulai hari terakhir di Bali dengan tampang kusut kayak benang kusut. Sambil membaca deretan pesan dari Miko dan Kirika, mataku tertuju pada satu chat dari Gian. Dia mengabari kalau dirinya balik ke rumah buat siap-siap malam nanti. Bisa kebayang sih, Gian lagi di-make over kayak tokoh idola di belakang panggung, pasti hebohnya luar biasa. Gian juga bilang Pam bakal keluar buat ketemu beberapa teman lama yang kemarin terlihat di Innovators Fest.


Aku terlibat percakapan panjang dengannya.

Gian:Izzy, malem ini lo bisa dateng nggak ke Networking Night?”

Izzy:Mas, gue nggak kuat mental. Seriusan ????”

Gian: “Gue sih maunya lo dateng, tapi kalo lo nggak berani ya nggak apa-apa, take your time”

Gian: “Terus, apa rencana lo hari ini?”

Aku terus memandangi chat dari Gian, merasa tertekan. Rasanya nggak sanggup ketemu siapa-siapa. 

Izzy: “Gue masih bingung nih mau ngapain”.

Gian:Santai aja, lo punya waktu buat mikir. Makan deh, biar pikiran lo jernih. Kalo berubah pikiran, kabarin ya”.



Akhirnya aku mengikuti saran Gian untuk mengisi perut demi kelancaran berpikir. Sambil merapikan rambut yang kusut, aku melangkah keluar masih dengan piyama panjang. Niatnya mau mencari sesuatu yang bisa dimakan dari dapur atau ruang makan. Ketika hendak mengambil selembar roti, pandanganku tertuju pada sosok di luar jendela besar ruang makan.

Pantulan di kaca menunjukkan Pam yang baru selesai berenang, masih di pinggir kolam. Tubuhnya masih basah, air menetes dari rambutnya, dan dia sedang mengeringkan wajahnya dengan handuk. Aku berdiri mematung sejenak, melihat punggungnya yang penuh dengan tato yang selama ini nggak pernah aku tahu.

Namun ternyata, Pam bersiap masuk ke dalam, dan aku yang panik langsung berbalik mencari tempat untuk sembunyi. Aku memutuskan loncat ke sofa terdekat, menghindari Pam dengan cara paling bodoh yang bisa kupikirkan: pura-pura yoga. Aku menutup mata, duduk dengan pose sila, meski alisku berkerut nahan grogi.

Ia masuk ke dalam dan berhenti, melihat tingkah anehku. Dia nggak bilang apa-apa, hanya menatapku dengan ekspresi datar. Aku bisa merasakan tatapannya meskipun mataku tertutup. Pam menarik napas dalam, jelas mengetahui kalau aksiku hanyalah pura-pura.

"Zy, lo nggak bisa kayak gini" katanya bagai perintah. "Masalah nggak akan selesai kalo lo ngadepinnya pake emosi sesaat. Hadapi apa yang ada di depan mata dengan kepala dingin. Jangan biarin insiden ini ngerusak semangat lo” ujarnya tegas.

Aku nggak berani buka mata, cuma bisa mengangguk dalam pose yoga palsu ini.

Ia pun beranjak meninggalkan ruang makan. Aku mendengar langkahnya menaiki tangga. Setelah merasa aman, aku mengintip sedikit dari celah mataku yang masih tertutup. Pam sudah nggak kelihatan lagi, aku langsung membuka mata dan menepuk kepala sendiri. “Duh, Izzy, lo kenapa sih?!" aku bermonolog, malu dengan kelakuanku sambil menutup muka dengan kedua tangan, berharap bisa menghilang dari muka bumi.


**


Jadi, apa rencana hari ini? Setelah pergulatan batin yang panjang, keputusanku bulat: nggak akan ikut acara malam nanti. Selain kemungkinan ketemu si Danrief brengsek itu lagi, aku rasanya masih nggak berani untuk berjumpa dengan para bos. Apalagi Mbak Nina sampai turun tangan menyelesaikan kegaduhanku. Yah, seenggaknya aku nggak bakal di gigit nyamuk pantai karena pakai dress bolong di punggung milik Kirika.

Akhirnya, aku memutuskan jalan-jalan sendirian, menghabiskan waktu sampai The Three Musketeers selesai networking night. Langkah kaki tanpa arah membawaku ke berbagai tempat random, sambil makan terus.

Lihat selengkapnya