Aku membuka mata dengan kepala pusing luar biasa. Pandangan awal nya buram, berangsur jelas. Perut perih, mungkin bakteri dari bakwan abang-abang pinggir jalan tadi pagi lagi tawuran.
Di depan TV, Kirika duduk selonjoran, lemper di tangan, mulutnya menganga lebar. Tanpa sadar, dia ngunyah daun pisang. Sementara si Miko sibuk push rank, menekan layar handphone dengan jempol gempalnya penuh nafsu.
"Ri, lo kemakan daun pisang". Kalimat pertamaku dengan serak, tenggorokan kering kayak habis puasa dua hari.
Mereka langsung menoleh.
"Izzy! Bangun juga lo akhirnya" Kirika sambil melepeh sisa daun pisang. "Gimana perut lo? Masih sakit?" ia lalu menempelkan tangannya ke jidatku. Ini sakit perut apa demam sih?.
Aku mencoba bangun.
Jleb. Bokong mendarat ringan di kasur yang empuk. Pantesan aku tidur nyenyak tadi.
Mataku menyapu ruangan. Mewah amat. Kalau dibanding ini, kasta kamar kosanku lebih cocok disebut kandang. Smart TV Curve tipis bertengger di dinding, menampilkan berita artis tengah rebutan harta gono-gini.
Aku mengenali TV itu. Agency kami yang bikin iklannya bulan lalu. Waktu itu aku mikir, siapa sih orang kaya gabut yang beli beginian? Jawabannya: pasien rumah sakit premium.
Aku melirik tangan kiri yang lemas, infus sudah tertusuk di sana. Piyama satin krem beraroma floral menempel di badan. Entah kapan aku ganti baju.
"Ri… Mik… ini di mana sekarang?" tanyaku, masih linglung.
"Rumah sakit, Izzy. Lo masuk IGD, tipes lo kambuh" jawab Kirika.
Aku menghela napas. Udah sakit begini, masih aja dikasih cobaan emosi.
"Iya, tipes, gue nggak amnesia. Maksud gue, kok bisa pindah dari IGD? Gue disuruh dokter opname ya? Kenapa nggak langsung pulang aja?" Sedetik kemudian, kesadaranku berangsur pulih.