Dengan tangan kiri masih tertempel bekas infusan, aku sesekali nutup mulut, agak norak liat perubahan kampus yang udah lama banget nggak aku tengok. Sejak kapan tempat ini jadi makin estetik?
Koridor dicat ulang, chandelier heboh menjuntai di lobby. Tapi paling bikin silau adalah Galeri Notable Alumni yang tiba-tiba muncul di salah satu dinding utama. Isinya wajah-wajah sukses semua. Entrepreneur muda lah, tokoh media lah, termasuk temen seangkatanku yang sekarang jadi beauty influencer dengan followers satu juta orang. Sementara daya saing ku hanyalah punya sejuta alasan buat nunda-nunda tugas akhir.
Mataku terpaku pada frame emas besar membingkai senyumnya yang lebar. Dia masuk daftar alumni berpengaruh, aku masuk daftar mahasiswa buron.
Okelah, nggak usah kebanyakan drama. Hari ini ada urusan hidup dan mati yang lebih penting.
Dengan langkah ogah-ogahan, aku jalan ke student corner. Sudah berapa semester ya aku ngilang dari radar?
Kalau bukan karena ancaman drop out di depan mata, enggan banget aku nurunin ego buat kontak dosen pembimbing yang entah gimana masih mau ketemu aku hari ini.
Jujur aja, lanjut studi ini bukan kemauanku sendiri. Aku udah cukup nyaman dengan gelar sarjana dari kampus biasa-biasa aja dan kerja di creative agency yang nggak kalah apa adanya.
Tapi ya makan tuh cinta. Aku bela-belain ambil S2 biar nggak dibilang jomplang sama dia. Eh, taunya hubungan duluan jadi alumni, aku malah kejebak jadi mahasiswa abadi.
Aku terus misah misuh sampai melihat seseorang yang duduk kayak bos brand lagi sidak campaign. Oke Izzy, saatnya ganti persona.
“Halo, Pak! Lama banget ya kita nggak ketemu” aku menyapa sok santai sambil nyodorin tangan buat salaman.
Beliau tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajem. Wajar, aku jadi dia juga udah males banget ngadepin mahasiswa yang udah hampir jadi mitos ini.