Brakk! Laptop kantor ku tutup dengan penuh emosi. Tapi belum juga sedetik, aku langsung sadar diri dan panik. Refleks pinggirannya aku elus-elus, ngecek nggak ada yang lecey. Yaelah, jangan nyari penyakit deh. Buat orang bergaji pas-pasan kayak aku, kuota marah tuh ada batasnya.
Oke, sabar. Jack Ma aja ditolak kerja puluhan kali, sekarang jadi orang terkaya di China. Baru empat kali ditolak manajemennya Karina Intan mah masih cupu. Email resmi, DM Instagram cuma di-read, Zoom meeting muka timnya kayak aku waktu pura-pura nyimak briefing Senin pagi. Terakhir, beberapa menit lalu masuk email lagi:
"Hai Izzy, thanks buat presentasinya. Saat ini Karina belum bisa menerima project baru karena masih terikat kontrak eksklusif. Regards".
Enak banget hidupnya, punya kontrak eksklusif sana-sini sampai bisa nolak kerjaan segampang itu. Sementara aku? Cuma punya satu kontrak kerja yang bisa diputus kapan aja, kudu bertarung jiwa raga pula.
Aku melirik majalah di meja yang dikasih Gian tadi pagi. Cover-nya Karina dengan ekspresi tegas, makeup-nya on point, senyum pede sambil megang bendera merah putih. Headline-nya gede banget:
“Karina Intan, Everything About Her Screams Independent”
Aku mendengus pelan. Semua orang juga bisa kali jadi Miss Independent kalau hidupnya disokong privilege. Karina mungkin nggak pernah pusing gimana caranya duit lima puluh ribu bisa cukup buat makan tiga hari sampai gajian.
Ah, mentok. Deadlock. Kadang usaha memang nggak selalu membuahkan hasil.
Sebenernya Gian udah tau semua hasilnya dari kemarin. Dia cuma bilang, "Gue udah feeling dari awal, Zy”.
Aku melirik jam tangan, langsung panik lagi. Beberapa menit lagi harus ketemu Nina buat update progress. Di saat kayak gini, ucapan Pam waktu itu langsung muncul di kepala kayak alarm:
"Lo di advertising karena passion atau nggak tau mau kerja apa?".
Jangankan passion, aku aja nekat tanda tangan kontrak baru cuma demi gaji naik dikit. Kalau project ini gagal, fix passion aku daftar Kartu Prakerja.
Aku gigit bibir sambil berdiri. Kirika dan Miko pasti udah duluan bareng Pam di ruangan Nina, siap presentasi hasil brainstorming.
Begitu pintu kubuka, ternyata Nina belum datang. Semua mata langsung tertuju padaku. Tatapan penuh harap Kirika dan Miko cuma bisa kubalas dengan bahu melorot. Pam konsisten dengan ekspresi datarnya, sementara Gian nyengir santai kayak manusia tanpa beban hidup.
Nggak lama aku duduk, Nina muncul juga. Dia baru pulang dari launching bisnis terbaru Malik Group, restoran vegan elit yang cabang pertamanya di mall hits Jakarta Pusat. Gayanya flawless kayak biasa, aroma parfumnya langsung nyebar ke seluruh ruangan. Entah kenapa aroma mahal itu malah bikin aku makin gelisah.
Dia duduk di sofa, buka botol sparkling water, lalu tatapannya langsung tertuju ke aku. "Declined?" tanyanya tanpa basa-basi.
"As expected" Gian mewakili untuk jawab. Kalimat pendek Gian sukses bikin aku ngerasa kayak manusia paling nggak kompeten sedunia.
"So?" Nina langsung minta solusi tanpa memperpanjang kecewa.