Sabtu, 20 april 2013, dini hari, "bagaimana Ihsan, semuanya sudah terlanjur kau lakukan, kami tak bisa membantu lebih banyak lagi, semua masalah yang menyangkut negaramu harus kau tangani sendiri, kalau tidak maka konflik akan semakin membara," ucap Alim diikuti anggukan pelan dari Yusuf, "terimakasih sudah mengingatkanku cak, aku akan lebih berhati-hati," balas Ihsan, "satu-satunya hal yang bisa kami bantu adalah menyediakan jalur dagang untuk suplai logistik, kalau dirimu memainkan pertempuran dengan tempo lambat maka kemungkinan besar negaramu akan menang," ucap Alim, "eh tapi Alim, kalau suplai dagang kita juga harus adil ke dua belah pihak kan," tanya Yusuf, "hmm memang begitu kan seharusnya Yusuf," ucap Ihsan, "oi, yang benar aja kau, mengatur logistik adalah satu-satunya metode kita untuk unggul, jangan kau sia-siakan," ucap Steve, "hhh apalagi yang engkau pikirkan Ihsan," tanya Lintang, "sebenarnya itu saran yang menarik mas Steve, mas Lintang, tapi aku lebih setuju untuk mendapatkan aliran dana yang tak terputus dari semua orang, bisa jadi kalau aku memutus aliran perdagangan ke Reksanara, aku akan kehilangan banyak kepercayaan mitra, mau bagaimanapun warga sipil tak boleh merasakan dampak yang berlebihan dari pertempuran yang terjadi," ucap Ihsan, "halaaah, terserah kau lah Ihsan," ucap Steve, "tak seperti itu mas Steve, kami akan menggunakan itu untuk memenangkan perang informasi, kalau jalur dagang kesana dihapus mau dapat darimana aku informasi terbaru, lagipula banyak sekali hal yang ingin kupelajari dari negara sekaliber Reksanara," ucap Ihsan, "kau gila hah!?, ingin melawan negara yang memiliki kekuatan militer sesolid Reksanara gak bisa dengan modal nekat seperti itu, pengembangan militer mereka sudah terjadi bertahun-tahun, aku saja masih ragu untuk melakukan kampanye militer kesana," ucap Lintang, "tapi kalau dirimu bisa memenangkan pertempuran ini dengan cara seperti itu maka penyatuan sepenuhnya aliansi Brahmanda akan bisa terjadi dan kita bisa melangkah lebih jauh untuk mengambil posisi Brahma," ucap Yusuf, "yup, kau benar, kalau kita bisa mengamankan posisi itu maka kita bisa mengamankan satu panji aliansi dan bisa memperlambat momentum dharmayudha yang sudah sangat panas ini," ucap Ihsan, "aku setuju dengan itu, tapi jangan kau pikir langkahmu akan mudah Ihsan, kau sedang mengambil langkah yang sangat terjal menuju kemenangan hakiki, tapi setelah itu harus ada Vishnu juga dipihak kita, kita juga harus bisa menyatukan suara masyarakat agar perdamaian bisa benar-benar terjadi, kalau sampai satu saja kuncinya hilang maka konflik akbar akan pecah, dharmayudha akan terjadi dan pilihannya tinggal perang habis-habisan untuk menunjuk pemimpin absolut, seorang Maheshvara yang akan bertakhta diatas seluruh Dunia tepat dibawah kekuasaan Tuhan, semua pejuang, semua manusia akan terseret kedalamnya, tapi kalau sekarang engkau memilih untuk memutus rantai logistik ke Reksanara dan menaklukkannya sepenuhnya maka kau akan diberikan opsi untuk mengkolonisasi seluruh Dunia dan menjadi Maheshvara," ucap Alim, "gak mau, itu merugikanku, enak aja kau ngasih opsi gak jelas itu untukku, kau aja lah, yang paham metodenya kan dirimu toh," balas Ihsan dengan ketus, "oi, yang selama ini jadi komando utama pergerakan kita itu dirimu," balas Alim yang membuat Ihsan bermuka masam, "kau serius, adik kita ini bisa," ucap Yusuf, "siapa lagi memangnya, anak menyebalkan ini punya pikiran yang sangat visioner," balas Steve yang juga mendapatkan tatapan sinis dari Ihsan, "anak kampret, raimu ngece banget ki lho cok," teriak Lintang yang geram sambil memukul Ihsan yang segera bangkit dan bergulat dengan kakaknya itu sampai ketiga saudaranya yang lain ikut terlibat konflik untuk menenangkan Ihsan, "hfff, tenang juga akhirnya, kenapa sih panas terus," ucap Yusuf, "ahhh, ide kalian jelek, aku gak suka," pekik Ihsan dengan kesal, "hei Mahadewa, kau sudah semakin kuat ya, padahal dirimu sendirian tapi kami berempat bisa kau tahan imbang, mungkin kami terlalu meremehkanmu karena dikelas selalu jadi anak lemah," ucap Alim, "kalian mana ada serius," balas Ihsan, "kau benar juga Alim, kami meleraimu dengan susah payah, Alim baru saja menaklukkan indra loh, kupikir dia akan meleraimu dengan mudah," ucap Steve, "hehehe, kita tidak tau sih kalau pertempuran serius tapi sekarang kalau tanpa senjata dan persiapan mungkin dirimu yang terbaik disini Ihsan," ucap Lintang sambil menyeringai lebar pada adiknya itu. Sementara para saudara itu berseteru, Shafa mendengarkan pembicaraan mereka disisi lain tembok kayu keraton bersama sahabat-sahabatnya, "jadi begitu kondisinya, apa aku bisa melakukannya ya, sedangkan disini aku hanya berkutat di dapur saja," gumam Shafa yang mulai muram, "ya begitulah, kalau mau menopang rumah yang besar maka tiangnya juga harus kuat, semangat ya, " ucap Shifa, "Shafa,begitu tanggungjawab sudah ada dipundak maka engkau harus mengangkatnya apapun yang terjadi, Mahadewi adalah nama yang akan kau pikul dengan seluruh kemampuanmu saat ini," ucap Sekar, "tenang saja Shafa, menjadi tiang disini bukan berarti kamu harus sekuat Ihsan, berikan apa yang engkau bisa semaksimal mungkin, saling melengkapi aja," jelas Zahra, "kalau gak kuat ya tambah aja temenmu, berbagi tanggungjawab sebagai pasangan Ihsan," celetuk Rasha yang membuat Shafa tersentak kaget, "gak bisa, aku akan mencoba sekuat tenagaku, itu opsi terakhir," bentak Shafa, "yaudah kalau gak mau, berjuanglah, tak ada lagi kata mundur, pertempuran dengan Reksanara akan segera dijadwalkan, berjuanglah untuk cintamu itu sampai titik darah penghabisan atau mundurlah ke pangkuan kedua orang tuamu dan lupakanlah cintamu selamanya, karena kalaupun Ihsan masih datang kembali padamu dia akan datang hanya untuk menaklukkan dirimu sebagai salah satu barang berharganya bukan lagi sebagai pasangan yang saling mendampingi," ucap Rasha diikuti anggukan kecil dari Shifa yang sibuk makan keripik, "ei, jangan dihabisin Shifa, aku juga mau," ucap Rasha, "hmm didapur banyak, mau kubikinin po," tanya Shifa, "makanya mbak Rasha, jangan dikit-dikit perang mulu, jabatan gak diambil, memasak masih itu-itu aja, padahal lebih kuat dariku loh, kok bisa aku yang jadi pimpinan vishkanya dan bukan dirimu," celetuk Sekar, "suka-suka kau lah bu pimpinan, orang udah izin hidup santai sambil ngurusin pengalengan ikan padahal, masih aja julit," balas Rasha tanpa menyadari Shafa semakin muram, "kau tidak apa-apa kan Shafa," bisik Shifa, "gak apa kok Shifa, bagaimana jika ayah dan ibu tak mengizinkan diriku ikut," bisik Shafa yang membuat mata Shifa sedikit melotot, "iya juga, orang tuamu belum datang di penobatan ini, apa mereka marah padamu, ah kau perlu bicara dengan mereka untuk meminta izin, agak repot sih tapi aku diizinkan kok untuk pergi ke negara lain dan tinggal di sana," ucap Shifa, "aku sudah bicara kok tentang ini, sebenarnya aku sudah diusir dari rumahku, mereka takkan mencariku, haruskah aku menemui mereka lagi," tanya Shafa yang membuat sahabat-sahabatnya menoleh, "diusir!?, eh kau yang benar aja Shafa, gak sejauh itu juga usahamu untuk kekasihmu itu, kau sudah gak waras ya!?," ucap Sekar, "aku hanya ingin buktikan pada mereka kalau jalan yang kutempuh ini benar," bantah Shafa, "kau gila Shafa," ucap Sekar saat tiba-tiba Shifa berdiri dan menampar Shafa dengan keras, "jadi kau tidak berpamitan baik-baik dengan keluargamu, pantas saja dirimu sekhawatir itu, minta maaflah Shafa, cinta seharusnya menghubungkan bukan memisahkan," ucap Shifa sambil menangis lalu meninggalkan tempat itu, "Shifa!!," panggil Shafa meski Shifa tak menggubrisnya dan terus berjalan pergi dengan kesal saat ketiga sahabat Shafa yang masih duduk mulai beranjak dari sana untuk meninggalkan Shafa, "bicaralah lagi dengan kedua orang tuamu, mereka mungkin akan memberikan solusi yang lebih baik dari kami, jangan begini Shafa, belum waktunya dirimu menaruh hormatmu sepenuhnya pada Ihsan," ucap Sekar sembari melangkahkan kakinya bersama Zahra dan Rasha, menyisakan Shafa sendiri mengemasi kudapan buatannya, "tapi apa mereka masih mau menerimaku, anak mereka yang durhaka ini, " pikir Shafa yang termenung sendirian dan tak sanggup lagi menahan air matanya.
Beberapa waktu kemudian Ihsan berpamitan dengan saudara-saudaranya yang kembali membawa para kekasih mereka pulang meninggalkan Ihsan dan Shafa berdua, "Shafa!?, kau sudah mengatakan bahwa dirimu diusir kan pada teman-temanmu, apa solusi yang mereka berikan," tanya Ihsan dengan lembut, "iya Ihsan, mereka marah juga padaku dan menyuruhku untuk minta maaf pada kedua orang tuaku, tapi kalau begitu kau akan sendiri," ucap Shafa, "masih saja mencari-cari alasan, aku tidak mau ratuku melawan kedua orang tuanya, Shafa, apa yang kulakukan padamu hanyalah sebuah perhatian kecil apabila dibandingkan pengorbanan kedua orang tuamu untuk menghadirkan dirimu ke Dunia lalu merawat dan mendidikmu dengan segenap usaha mereka, aku belum sepenting itu bagimu sayang, katakan padaku, mau sampai kapan dirimu seperti ini," ucap Ihsan sambil menghela napas dan duduk bersila di takhta batunya, "izinkan aku terus membantumu Ihsan, aku tidak punya tujuan selain itu, kalau aku pulang mungkin aku tidak akan diperbolehkan lagi berjumpa denganmu," rintih Shafa, "baiklah, tapi setelah pertempuran, kita akan menuju kedua orang tuamu," ucap Ihsan, "jangan mas, nanti mereka akan memisahkan kita, aku takut," ucap Shafa, "hhh, kenapa kamu pikir aku masih akan mendengarkan dirimu saat ini, sedangkan kamu juga tidak mendengarkan kedua orang yang berbagi kehidupan denganmu, aku tak mau memilikimu tanpa restu kedua orang tuamu, lebih baik kukembalikan saja, mau atau tidak aku akan membawamu kesana, entah itu dengan menuntunmu atau menyeretmu, mau kau datang kesana dengan tangisan atau tawa, tenang atau marah, akan kubuat dirimu datang pada mereka, kalau dirimu datang kesini datanglah sebagai wanita terhormat yang bisa dicontoh bukan sebagai pelayan," ucap Ihsan sambil meneteskan air mata lalu pergi dari sana meninggalkan Shafa sendiri memandangi batu tempat duduk Ihsan sebelumnya, terdiam membatu hingga akhirnya tersungkur ketanah menangisi keputusannya.