"Ihsan, kapan kita akan berangkat," tanya Rio ditengah malam yang membuat Ihsan bangun dari meditasinya, "pertempuran sudah diatur tanggal 1 Mei, kita harus sampai disana dua hari sebelumnya agar kita bisa mempersiapkan diri," ucap Ihsan, "gak perlu sampai mengeluarkan tenaga sebesar itu lah, aku cuma tanya saja," ucap Rio saat merasakan angin kencang dari arah Ihsan, "maaf, baru bangun dari meditasi jadi kayak gini," balas Ihsan sembari mulai berdiri memandangi rembulan, "hmm kekuatan anak ini seperti tak ada ujungnya, memang layak untuk menjadi Ishvara," pikir Rio saat merasakan kekuatan besar Ihsan, "Rio, apa dirimu mau berlatih denganku, aku mau meningkatkan efisiensi penggunaan energiku," ucap Ihsan, "heh!?, baiklah, aku juga memerlukan latihan itu agar bisa mengakses kekuatan penuh tanpa jeda," ucap Rio sembari memasang kuda-kuda, saat itu Ihsan juga turun dari meja batunya lalu memasang kuda-kuda dan kemudian keduanya saling beradu serangan.
Dini hari telah tiba dan Rio akhirnya tumbang, "hehhh, hanya dengan wujud normal saja ya, kau bahkan belum mengaktifkan naranetra dan sudah menghajarku," ucap Rio, "hhh bukan begini yang kucari, aku masih kurang fokus, terimakasih ya Rio, sudah mau menemaniku berlatih, ayo siap-siap shubuhan dulu," ucap Ihsan yang segera memperbaiki tempat itu kemudian segera mempersiapkan diri untuk ibadah shubuh, "matane, apa yang dia kejar sebenarnya, efisiensi energi seperti apa," pikir Rio sembari beranjak dari tempatnya menuju pancuran air untuk mengambil wudhu.
Seusai ibadah shubuh Ihsan mengeluarkan jutaan atmasena yang dia lepaskan untuk mengawasi negerinya di berbagai penjuru, "tidakkah dirimu lelah melakukan hal ini setiap hari mas," tanya Shafa sambil membawakan sarapan untuk Ihsan, "aku lebih muda darimu Shafa, tak perlu memanggilku begitu, terimakasih ya sarapannya," ucap Ihsan saat menerima semangkuk soto koya dan wedang jeruk nipis dari Shafa, "ini hanya bentuk penghormatanku kepadamu karena mau menerimaku disini mas," ucap Shafa, "kembalilah pada orang tuamu agar aku bisa meminta tanganmu baik-baik Shafa," ucap Ihsan sebelum akhirnya berdoa dan mulai makan, "iya mas, katamu seusai pertempuran ini," kata Shafa, "baiklah Shafa, tapi ingatlah perkataanku kemarin," ucap Ihsan sembari meneruskan makan ditemani Shafa yang muram wajahnya, "tapi mereka takkan mengizinkan diriku untuk membantumu Ihsan," pikir Shafa saat terus memandangi wajah Ihsan.
Malam harinya Ihsan kembali melatih pasukannya meski sedang badai, namun kali ini Shafa tak ikut melatih dan digantikan oleh Rio karena Shafa ingin sendiri waktu itu, dengan tenang dia memandangi rembulan malam itu dipinggir sungai dibawah badai yang menyamarkan tangisannya, saat itu Shafa memulai latihannya dengan menembakkan beberapa bola api dari kedua tangannya lalu membuat gerakan-gerakan meliuk-liuk yang panjang menciptakan garis api dan uap air disana, "haaaaahhh, aku tidak mau berpisah denganmu, kenapa aku harus memilih, kenapaaa," teriak Shafa sambil mengeluarkan semburan api dari mulutnya, gigi-giginya masih mendesis karena panas yang keluar dari mulutnya menguapkan air hujan, "semua pujian yang dilontarkan orang-orang bodoh itu sia-sia saja kalau bukan dari mulutmu Mahadewa, apa itu prajnaparamita kalau engkau tak menganggap diriku, tripura sundari itu pasti juga omong kosong kalau engkau tak sanggup melihat pesonaku, kalau engkau perlu ksatria aku akan jadi seperti itu wahai Mahadewa, hahahahaha aku tak sabar menancapkan pedang pemberianmu ini ke jantung mereka, beraninya mereka menantang kita hah, mereka pikir mereka siapa, mereka hanya segerombolan mayat berjalan yang menunggu kematian, hihihihihi," gumam Shafa yang mulai tertawa sendirian sambil terus mengayunkan pedang berantainya yang semakin membara setiap waktu sambil terus tertawa gila. Sementara itu ditempat latihan Ihsan yang baru saja selesai melatih pasukannya mendengar lengking suara Shafa ditengah malam, "Rio, ajak yang lain untuk masuk, ada yang harus kuselesaikan," ucap Ihsan, "anak itu mengamuk lagi ya, aku bisa membantumu kok," ucap Rio yang mendapat tatapan tajam dari Ihsan, "aku tak mau ada yang melihat ratuku saat dia seperti ini, pulanglah bersama yang lain," ucap Ihsan dengan geram sambil menggetarkan udara dengan pancaran energinya lalu segera melesat menuju Shafa. Sementara itu ditempat Shafa, udara malam yang dingin mulai memanas, badai hujan sudah berganti dengan hujan api saat Shafa terus mengayunkan pedang berantainya sambil marah, tertawa dan menangis disaat yang sama, tak lama setelah itu Ihsan sampai dan menyaksikan kekasihnya sudah menggila, melihat hal itu Ihsan melangkahkan kakinya menuju padang kehancuran yang terbentuk akibat amukan Shafa, "dimana engkau menyembunyikan kebagiaanku Tuhan sehingga aku harus menderita, dimanaaaaaa," teriak Shafa sambil menghentakkan kakinya keras-keras ketanah, "hiks, apa salahku selama ini, sehingga engkau tak mau menerima semua pengorbanan yang kulakukan, kalau paras cantikku hanya membawa kutukan cabutlah saja, kenapa engkau memberiku orang tua yang tak mau anaknya bahagia, kenapaaaa hiks, hiks, hihihi, hahahaha," rintih Shafa sambil menari-nari dengan pedangnya sebelum akhirnya dia menyaksikan Ihsan dihadapannya menghentikan langkahnya, "apa yang kau lakukan Shafa," tanya Ihsan dengan lembut, "apa lagi yang kamu minta, tidakkah kamu lihat aku sedang berlatih untuk memenangkan pertempuran bersamamu, apa lagi yang kau minta Mahadewa, apalagiii, kenapa semua tindakanku salah dimatamu, aku cuma ingin bersamamu saja," keluh Shafa yang sudah tak karuan emosinya, "jangan seperti ini Shafa, nanti wajah cantikmu itu hilang," ucap Ihsan yang hanya membuat Shafa mencakar wajahnya, "hei, jangan seperti itu, tenangkan dirimu Shafa," pinta Ihsan sambil memegangi tangan Shafa, "untuk apa hah, untuk apa wajah cantikku, ini hanya membebaniku dengan banyak pria bejat yang menggodaku, lagipula kau tidak membutuhkan wajah cantikku, lalu untuk apa," ucap Shafa sambil menumbuhkan tangan lagi untuk merobek wajahnya, "jangan Shafa, jangan, hentikan semua ini, kamu gadis yang baik, jangan seperti ini, tolong, bapak dan ibumu akan semakin membenciku kalau tau dirimu tersiksa disini, tolonglah, tahan amarahmu, lampiaskan pada musuh kita nanti, atau kalau itu memang untuk diriku lampiaskan saja padaku," ucap Ihsan sembari memeluk Shafa dengan air mata mengalir dipipinya meski Shafa masih berusaha memberontak, "kalau begitu maumu ayo kita berangkat sekarang, ayo kita bertempur, kenapa masih mengulur waktu hah, setelah itu kamu mau mengembalikanku ke orang tuaku kan, aku memang tidak berguna dihadapanmu Ihsan, apa aku hanya pengganggu dalam hidupmu," teriak Shafa kemuka Ihsan sambil terus berontak namun Ihsan hanya diam membisu sambil terus mendekap Shafa, "kenapa kamu diam, kenapa, jawab pertanyaanku," tanya Shafa, "cukup Shafa, jangan begini Mahadewi, aku minta maaf kalau perkataan dan keputusanku menyakitimu, tapi aku tak sanggup menurutimu saat ini Shafa, engkau masih belum menjadi tanggung jawabku, tugas itu masih diemban ayahmu, yang kita lakukan sekarang ini salah, aku tetap akan datang untuk melamarmu nanti, tapi sekarang masih tidak boleh oleh kedua orang tuamu, soal pertempuran, kita akan berangkat pada waktunya, tenanglah dulu, simpan dulu amarahmu, gunakan nanti ya," pinta Ihsan sambil terus mendekap Shafa yang akhirnya bisa tenang dan menangis dipelukan Ihsan hingga akhirnya mulai meracau dan tidur dipangkuan Ihsan, "Tuhan, maafkan aku telah menyakiti hati wanita yang selama ini tulus menyayangiku, perkataanku telah menikam perasaannya, keputusanku telah merusak jiwanya, sungguh dia adalah wanita yang baik, tulus dan setia maka jangan hukum dia Tuhan," gumam Ihsan sambil terus menemani Shafa tidur dibawah rembulan malam.