"Haha artikel baru sudah muncul ya, unik juga, kukira akan fokus ke pewartaan media mengenai kemenangannya, ternyata masih fokus ke spesimen makhluk hidup baru yang ditemukan atau perkembangannya, dasar unik kau cak Alim," gumam Ihsan sambil makan di ruangannya bersama para staff ahli negaranya. "Tapi prabhu, bukannya mengabarkan kemenangan adalah hal yang menguntungkan, setidaknya dengan begitu akan ada beberapa negara yang takut," tanya Anas. "Itu benar, tapi tujuan cak Alim dan kita berbeda, tujuan kita memang menyuarakan supremasi kita terhadap banyak orang untuk menampung jauh lebih banyak anggota aliansi sedangkan cak Alim sudah punya aliansi yang tertata, tinggal mencari pemimpin saja, memberikan supremasi adalah langkah yang malah akan memecah pertikaian lebih lanjut, akan lebih baik kalau informasi yang diberikan oleh Alim adalah informasi yang bermanfaat dan edukatif," ucap Ihsan. "Hmm begitu ya, eh Prabhu kita dapat apa sih dari kerjasama terbaru kita," tanya Anas. "Pak Irham punya komoditas kayu, pak Ardi punya banyak pemborong proyek dan pak Kurnia sedang fokus mengembangkan hasil tani, kita diuntungkan disini karena kitalah yang memiliki pasar dan menentukan harga, ingatlah bahwa mereka masih mengandalkan para pedagang dari Jonggring Saloka," ucap Ihsan sembari menyelesaikan makannya lalu kemudian berjalan kebelakang untuk mencuci piringnya. "Apasih yang dipikirkan oleh prabhu itu pak Anas, kok standarnya beda pada setiap orang," tanya Andre. "Aku mana tau pak Andre, tanya aja sama Prabhu, dia yang lebih paham dengan perkataannya sendiri," ucap Andre saat Ihsan sudah pergi dari tempat itu.
Beberapa waktu kemudian Ihsan nampak menyaksikan kembali pembangunan di wilayahnya. "Pak Ardi sangat berpengaruh pada perkembangan infrastruktur bangunan disini, istana tempatku berdiri ini sekarang adalah pusat metropolitan terbesar dalam yang pernah disaksikan manusia, semua orang harus terlibat dalam pembangunan yang terstruktur," gumam Ihsan yang tiba-tiba mendapatkan telepon dari nomor yang sangat dia kenal di gawainya, begitu Ihsan melihatnya, Ihsan langsung tersenyum lebar sembari memproyeksikan layar gawainya untuk mengangkat telepon orang tersebut.
"Hai Shafa, bagaimana kabarmu," sapa Ihsan saat mengangkat telepon dari nomor Shafa. "Hei mas, Fira ini, lihat dulu lah sebelum menyapa," ucap sang penelpon yang ternyata Fira, adik Ihsan. "Heeeh!?, dek Fira, ngapain ke Garudapura, kau gak sekolah!?," tanya Ihsan. "Libur mas, sampean lupa dengan jadwal sekolah kan!?, dasar sok sibuk," balas Fira dengan ketus. "Hehe maaf, mas emang agak sibuk, gimana sekolahnya dek, oiya kau gak ada niatan kesini," tanya Ihsan. "Hahaha aku sekarang dah bisa menyembuhkan luka, cakra keempat ahanata, aku besok kesana bareng mbak Shafa, sekalian buat nunjukin skill penyembuhan luka milikku," ucap Fira sedikit angkuh. "Cepatlah kesini, tak tunggu," ucap Ihsan pada Fira yang segera membalas dengan memberikan jempol pada Ihsan lalu bergantilah wajah di hologram telepon Ihsan menjadi Shafa. "Assalamu'alaikum Ihsan, gimana kabarmu," tanya Shafa dengan lembut. "Waalaikumsalam baik kok, hmm katanya kau mau kesini, sama siapa aja," tanya Ihsan. "Sama kedua keluarga kita, aku ingin berbincang sejenak denganmu nanti di keraton," ucap Shafa dengan senyuman tipis diwajahnya. "Baiklah, akan ku coba luangkan waktu sejenak untukmu," ucap Ihsan. "Baiklah Ihsan, maaf ya merepotkan, aku siap-siap berangkat dulu, wassalamualaikum," ucap Shafa sembari menutup panggilan. "Ahh ada masalah rupanya, sudah kuduga pergolakan baru-baru ini akan membawa cukup banyak permasalahan, semoga yang terjadi padaku dan orang-orang yang ku sayangi tidaklah berbahaya, hmm apa kabar cak Alim disana ya, bukannya dia sedang mengurus negaranya." gumam Ihsan yang terduduk sendiri mengawasi pembangunan wilayahnya yang tak pernah berhenti.
Sementara itu di Ariloka, Alim terlihat sibuk melakukan berbagai macam experimentasi untuk membuat beberapa spesimen tanaman untuk kemajuan ilmu pengolahan tanah. "Semenjak kemenangan atas negeri Ashoka aku harus membuat beberapa spesimen baru berdasarkan permintaan warga disana, mereka punya banyak sekali varietas dengan data unik yang bisa kumanfaatkan, ini kesempatan emasku untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya," pikir Alim yang saat itu sedang menguji coba pertumbuhan tanaman barunya. "Aden Alim, aku bawa beberapa varietas baru tembakau, ini dengan ketahanan lebih, apa engkau mau mencobanya," tanya Mistari sambil membawa beberapa kantong tanah berisi bibit tembakau kepada Alim. "Owh udah jadi pak, aku kan tidak merokok, apa kau lupa," ucap Alim. "Mak iya juga, hmm aku mau keringkan dulu lah," ucap Mistari. "Oiya pak Mistari, fokuslah ke membuat tembakau berkualitas tinggi," ucap Alim. "Hehehe Prabhu Ihsan minta yang bisa tumbuh dengan cepat dan ketahanannya tinggi, agak berbeda dari permintaanmu nih aden," ucap Mistari. "Ahh iya, permintaannya itu untuk para kuli bangunan disana ya, gak aneh sih, keperluannya memang perkara kuantitas dahulu baru kualitas," ucap Alim. "Kok bisa kalian beda ide dalam banyak hal sih," ucap Mistari sembari menanam tembakaunya. "Sebenarnya itu sederhana, Ihsan dan diriku tetaplah orang yang berbeda jadi meskipun tujuan kami sama tapi cara kami akan berbeda, aku selalu menganggap yang sedikit tapi berkualitas itu lebih baik dan dia berpikir bahwa jumlah yang besar akan menjadi jalan untuk membantu lebih banyak orang, fokus kami memang berbeda tapi itu tidak membuat kami bermusuhan, justru dengan sudut pandang kami yang berbeda kami bisa saling melengkapi manfaat kita," ucap Alim sembari tersenyum lebar pada pak Mistari yang sedang fokus menanam tembakau.
Beberapa saat kemudian pekerjaan Alim hari itu sudah selesai, dia hanya memandangi langit malam saat itu dengan banyak pikiran terselip dalam otaknya. "Jalan Ihsan dan jalanku memang berbeda, dia adalah seorang kaisar yang sangat kuat, dia pasti memikirkan rintihan rakyatnya sehingga lebih fokus ke bagaimana cara agar mereka semua kebutuhannya tercukupi, sedangkan diriku memang hanya rakyat jelata yang turut ingin merasakan perubahan dan akhirnya memutuskan untuk meningkatkan kualitas produksi," pikir Alim sembari menyeduh teh hangat untuk dirinya minum saat memandangi warganya yang sedang berkegiatan saat tiba-tiba Shifa mengagetkannya dari belakang dengan membawa kukis dan susu untuk mereka makan berdua. "Alim, kenapa kita tidak melakukan publikasi terhadap kemenangan kita atas pasukan negeri Ashoka, bukankah itu akan menguntungkan bagi kita," tanya Shifa. "Hahaha, apakah Ihsan yang membuatmu tiba-tiba jadi seperti ini, ah mungkin kujelaskan saja, jadi kita berbeda pendapat untuk tujuan yang sama, seorang pemimpin seperti Ihsan harus mendahulukan rakyatnya, disisi lain kita adalah manusia biasa, aku tak perlu memperhatikan kegiatan banyak orang karena memang bukan kita pemimpinnya, ujicoba kita hanya dilakukan oleh orang-orang kita sendiri sehingga akan jauh lebih cepat untuk menghasilkan barang berkualitas," jelas Alim yang terlihat bersemangat. "Semangat ya Alim, aku selalu mendukungmu." Pikir Shifa sembari memberikan kue pada Alim dengan menyuapinya.