Bhairava

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #149

Pujane Ati

Angin sepoi-sepoi berhembus di balkon keraton Suralaya. Sore hari itu Shafa dan para petugas dapur sedang mempersiapkan makanan berbuka puasa untuk warga keraton Suralaya. "Hmm Ihsan suka ikan ya baru-baru ini, kenapa ya," tanya Shafa pada Lina yang turut membantunya hari itu. "Owh itu ya, simpel aja sih Rani, disini banyak nelayan, petani tambak dan pemancing, jadinya produk ikan banyak dan kita sering dapat kiriman jadinya sering makan ikan, eh ini ikannya mau diapakan," ucap Lina sembari memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit. "Dibakar aja sih mbak, terus bikinin sambel," ucap Shafa. "Aku kadang bingung gimana caranya kau bisa membuat hidangan sederhana terasa sangat enak, aku sudah ikuti semua instruksi darimu tapi masih saja belum bisa seenak dirimu Rani," tanya Lina sembari menyiapkan arang untuk membakar ikan. "Entahlah, mungkin karena bakat, mungkin karena aku memang gemar memasak, mungkin karena ini pekerjaanku, mungkin karena aku banyak membaca buku resep tapi yang jelas aku terus mencoba, mencatat semua keberhasilan dan kegagalanku dan berusaha untuk jadi yang terbaik, aku selalu ingin menjadi pendamping yang sempurna untuk Ihsan, dia adalah orang sibuk yang jarang dirumah karena itu aku yang harus mengurus rumahnya, aku belajar masak agar kalau dia lapar aku sudah menyiapkan makanan untuknya, aku akan membuat rumahnya nyaman agar kalau dia pulang dia bisa mengistirahatkan tubuh mulianya, aku harus melek teknologi agar tidak harus meminta tolong dia kalau ada barang yang rusak sehingga dia bisa fokus dengan tugasnya, aku perlu untuk menjadi kuat agar bisa melindungi kehormatanku sendiri, aku juga dituntut untuk teliti agar bisa mengatur nafkah yang dia berikan padaku, aku harus menjaga penampilanku agar saat dia pulang dia bisa senang berada di dekatku, aku juga harus bijaksana agar aku bisa mengajarkan hal-hal baik pada anak-anak kami nanti," ucap Shafa. "Woaah itu pola pikir yang bagus, terimakasih Rani," ucap Lina dengan senang sembari meneruskan memasak sore itu.

Petang hari telah tiba dan hampir waktunya untuk berbuka puasa. Ihsan memasuki kastil keratonnya seusai melatih pasukannya untuk melakukan gerakan bela diri. "Mak, basis beladirimu apasih Prabhu, kok kuat sekali, padahal aku susah-susah berlatih pencak silat dari aden Alim dulu," ucap Andre yang saat itu membetulkan persendiannya setelah dihajar Ihsan. "Aku gak punya basis utama dalam beladiri sih, aku hanya melihat orang bertarung di jalanan dan seringkali terlibat dalam perseteruan sehingga lambat laun aku mahir dalam memainkan gerakan tubuhku," ucap Ihsan dengan penuh percaya diri. "Heh!?, gak mungkin, kau terlihat seperti seorang yang sangat mahir beladiri, gerakanmu juga rapi Prabhu," ucap Andre. "Hahaha, itulah yang namanya kebiasaan pak Andre, aku hanya mempelajari, mempertajam dan memvariasikan gerakan yang pernah kulihat lalu kupraktekkan berulang-ulang dalam adrenalin tinggi, tentu saja aku akan mahir, basis beladiri itu memang akan membantumu untuk membangun pondasi awal untuk gaya bertarungmu, tapi nanti kau juga perlu memvariasikan gerakan sampai sesuai dengan gayamu sendiri, bimbingan adalah cara untuk mempercepat dibangunnya gerakan beladirimu tapi bagaimana caramu membangun dan menghiasnya akan menyesuaikan minat dan bakatmu sendiri," ucap Ihsan. "Tapi Prabhu, aku masih belum percaya dengan ucapanmu, kau pasti punya basis," ucap Andre. "Ehm pak Andre, aku juga praktisi kungfu shaolin dan memang harus kuakui kalau tak banyak gerakan yang dipelajari secara khusus di pondokan, disana orang bisa karena terbiasa, latihan setiap hari tanpa mengenal bosan memang adalah caranya dan Prabhu mengasah gerakannya setiap hari, meskipun awalnya serampangan kalau setiap hari dilakukan akan jadi rapi juga," ucap Anas dengan sedikit kesal. "Ahahaha, udah-udah kita siap-siap berbuka dulu, nanti kalau kita tidak tiba di ruang makan sebelum waktunya bakalan ada yang sedih," ucap Ihsan sembari mempercepat langkahnya menuju ruang makan keraton.

Sesampainya di ruang makan keraton, Ihsan dengan jelas menyaksikan Shafa sedang mempersiapkan makan bersama dengan orang tua mereka berdua. "Hhh telat lagi," pikir Ihsan sembari berjalan menuju mereka sampai tiba-tiba. "Haaa kena kau mas," ucap Fira yang tiba-tiba muncul dari belakang Ihsan dan mendorong kakaknya itu sampai tersungkur ketanah. "Haha kau mas, sekarang aku yang menjadi ratu disini," ucap Fira dengan riang. "Gak gitu konsepnya dek, hmm tapi aku bisa pinjamkan barang-barang keraton untukmu pakai kok," ucap Ihsan. "Hmm karena aku mengalahkanmu saat ini maka aku mau minta atribut keraton milikku sendiri gimana," ucap Fira. "Boleh sih akan kubuatkan untuk hari raya besok," ucap Ihsan. "Yeaaayyy, buatkan yang bagus untukku ya mas, yang banyak permatanya," ucap Fira. "Boleh, kamu juga lumayan belajar banyak kemarin, yang giat sekolah ya, kalau ada apa-apa tanya aja ke mas," ucap Ihsan. "Siap mas," ucap Fira. "Ihsaaan, Firaaa, ayo siap-siap dulu, jangan main-main terus," panggil bu Nita pada kedua anaknya itu. "Baik buuu," balas keduanya bersamaan sambil berjalan menuju tempat duduk mereka.

Adzan berkumandang tak lama setelah Ihsan dan Fira duduk bersama keluarganya, keluarga Shafa juga tak jauh dari situ saat mereka mulai menyantap hidangan berbuka. "Hei nak Shafa, gimana kok masih tinggal terpisah dengan anakku," tanya Nita. "Heh bu, gak sopan tanya sama orang sambil makan begitu," bentak Ikal pada istrinya itu. "Alah pak, calon menantu kita ini, lihat dia pak, cantik banget, beruntungnya Ihsan bisa dapat kamu nak," ucap Nita sembari memandangi Shafa yang mulai merona wajahnya. "Tetep aja buk, belum menikah, mana boleh tinggal bareng, udah bener itu nak Shafa ikut ayahnya," ucap Ikal. "Hmm sebenarnya mauku juga Shafa ikut dengan nak Ihsan disini, toh nak Ihsan lebih pintar, kuat, kaya dan taat bahkan dibanding ayah Shafa sendiri, tapi sayangnya Shafa belum cukup umur untuk menikah, nanti bisa terjadi banyak masalah kalau Shafa hamil sebelum umurnya cukup," ucap Rani, ibunda Shafa. "Ah benar juga, yaudahlah yang penting dia sehat, ihh lucunya sih, kok bisa kamu secantik ini sih nak Shafa, hmm padahal ibumu aja udah bisa bikin pangling tapi disampingmu ibumu jadi terlihat biasa saja," ucap Nita sembari menggeser wajah Shafa agar bertatapan dengannya. "Makasih lho bu, putriku memang terlahir cukup spesial, sedari dia ada didalam kandungan rezeki kami jadi sangat lancar, bisnisku mulai besar dan namaku di dunia akting menjadi lebih terkenal dan benar saja setelah lahir terpancar cahaya cerah dan dia juga mulai tumbuh menjadi anak yang penuh kasih sayang bahkan binatang-binatang menyayanginya, saat itulah aku tau kalau putriku bukanlah anak sembarangan, dialah Prajnaparamita yang akan menyelimuti keluarganya nanti dengan kasih sayang tanpa adanya batas, aku tau kalau nak Ihsan mungkin adalah orang yang tepat, masalahnya dia belum siap bu, aku tau putriku akan nekat jika untuk orang yang dia sayangi, dia takkan menghitung resiko untuk senyuman kecil dari orang terkasihnya, karena itu aku takut kehilangan dirinya karena pengorbanan yang nanti akan dia lakukan, jadi tunggulah sebentar sampai putriku siap," ucap Achmad sembari memeluk Shafa erat-erat dengan senyuman diwajahnya.

Malam harinya Ihsan berdiri diatas teratai sembari menatap rembulan yang mencurahkan sinarnya padanya sebelum akhirnya Shafa datang dan menepuk pundaknya. "Ada apa Ihsan, kenapa dirimu sendirian disini, sudah waktunya tidur," ucap Shafa sambil sedikit melayang didekatnya untuk akhirnya berdiri di teratai yang sama dengan Ihsan. "Prajapati sudah bergerak lagi, kurasa dia benar-benar akan menuju kesini," ucap Ihsan. "Lalu kenapa, bukannya biasanya engkau takkan ragu untuk melawan apapun," ucap Shafa. "Aku mengkhawatirkan keselamatan kalian semua, aku tau kamu dan keluargamu bisa bertempur, tapi keluargaku tidak seperti itu Shafa, palingan selain aku hanya Fira yang sedikit bisa bertempur, itupun tidak akan optimal, tolong ya Shafa, bantu aku melindungi keluarga kita," ucap Ihsan dengan serius. "Aku akan selalu menemanimu Prabhu, jangan khawatir, sekarang ayo tidur," ucap Shafa sembari menuntun Ihsan menuju kamarnya saat Ihsan mengangguk pelan dan mengikuti sang kekasih. "Bagaimana caraku melindungi kalian semua, pasti akan ada korban nanti, aku harus bersiap, aku harus bersiap," pikir Ihsan dengan mantap sembari berjalan dituntun Shafa menuju kamarnya.

Lihat selengkapnya