Bhairava

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #152

Surup

"Kukira negosiasi akan lancar, ternyata tak ada yang kita dapatkan," keluh Malvin yang keluar dari istana dengan kesal. "Setidaknya kita sudah mendapatkan akses menuju Jonggring Saloka," ucap Alan. "Revitalisasi keuangan yang dilakukan Bhairava ini cukup luar biasa, hanya dalam beberapa hari saja dia bisa melakukannya, sungguh luar biasa," ucap Zuhri sembari memperhatikan lagi kebijakan fiskal yang diterapkan disana. "Nampaknya mereka memang tidak ikut campur sama sekali dalam administrasi negara tapi jalur dagang yang mereka buat hampir bisa dipastikan akan surplus dan ini sangat membantu pemulihan ekonomi negara manapun, lihat saja revitalisasi yang terjadi dimulai dari unit usaha wilayah, ini belum waktunya hari raya jadi pajak belum dihitung tapi warga sudah mulai sejahtera karena serapan tenaga kerja yang sangat banyak," ucap Gifar. "Memangnya itu sudah cukup!?, kukira sebuah negara lebih butuh kebijakan daripada yang terjadi sekarang,atau anggapanku selama ini salah," tanya Feni. "Kau tidak salah ratuku, tapi Ihsan ini juga seorang pedagang besar, setiap kebijakannya pasti lebih fokus ke hal yang dia kuasai agar mudah dia sebarluaskan, kebijakannya tidak salah disini tapi akan keliru jika kita terapkan di tempat kita," ucap Gifar sembari berjalan menuju vimananya diikuti para Maharsi yang turut mengikutinya untuk menyerang Jonggring Saloka.

Sementara itu di Jonggring Saloka, Ihsan kembali berkeliling bersama keluarganya menuju tempat-tempat rekreasi sekaligus menggunakan kesempatan itu untuk melakukan inspeksi terhadap tempat pariwisata disana. "Hmm ini tempat pembuatan kerajinan mutiara ya mas," tanya Fira. "Hu um, kau mau beli!?," tanya Ihsan. "Nggak sih mas, hmm kalau kalung yang kayak mbak Shafa pakai beli dimana," tanya Fira sembari menunjuk kalung merah berbentuk hati yang sedang dipakai Shafa. "Ehh gimana ya jelasinnya dek, itu gak bisa dibeli," ucap Ihsan. "Lah kok gitu mas, gimana maksudnya," tanya Fira. "Maksudnya itu, eee eh Rio kau mau jelasin gak, aku lagi inspeksi" ucap Ihsan sembari menengok kiri dan kanan mencari alasan untuk pergi. "Kok aku sih, hhh gini jadi ceritanya dek Fira, permata itu adalah harta rampasan perang dari pertempuran yang kita lakukan bersama hampir dua tahun lalu, masmu yang membiayai perang jadi dia yang dapat hadiah paling banyak untuk menutup biaya perang yang dia berikan," jelas Rio. "Owh begitu, gak jadi mau lah, kukira permata cantik itu bisa dibeli, ternyata dari perang, kalaupun dapat taruhannya nyawa, gak ada yang setimpal dengan nyawa," ucap Fira. "Heeh bijak juga kau Fira, kau mau beli apa buat hadiah," tanya Ihsan. "Gak tau, mungkin sesuatu yang ada hubungannya dengan sekolahku," ucap Fira. "Hmm sesuatu yang berhubungan dengan sekolahmu ya, baiklah kalau begitu, berhubung dirimu akan mempelajari cakra vishuddha akan kuberikan padamu semua astraku adikku," ucap Ihsan sambil tersenyum bangga pada adiknya. "Tunggu Ihsan!!, apa maksudmu memberikan semua astramu!?, apa itu berarti kau juga akan memberikan pashupatastra padanya, jangan dulu Ihsan, dia masih kecil," teriak Shafa sembari menahan tangan Ihsan dari membentuk abaya mudra untuk memberikan anugrah astra pada adiknya. "Kenapa Shafa, bukankah ini akan mempercepat proses pembelajarannya, lagipula adikku akan cukup bijaksana untuk tidak menggunakan astra mematikan kecuali saat terdesak," ucap Ihsan dengan tenang. "Tapi Ihsan," rintih Shafa yang melepas tangan Ihsan yang saat itu mulai membentuk abaya mudra untuk memberikan anugrah pada adiknya.

"Dengan ini wahai adikku, kuberikan engkau anugrah seluruh astra yang kumiliki, pakailah dengan baik dan akan kubisikkan juga mantranya kepadamu," ucap Ihsan sembari mengangkat tangannya yang telapaknya bersinar menyelimuti Fira yang juga turut bercahaya karena itu. Saat itu Ihsan juga membisikkan semua mantra astra itu langsung ke pikiran adiknya dengan telepati sehingga Fira mimisan dan terjatuh karena saking banyaknya informasi yang diterimanya. "FIRA!!!," teriak Shafa sembari mendekap adik Ihsan itu dan berusaha menyembuhkannya. "Dengan ini aku sudah mewariskan sedikit kekuatanku padamu adikku, gunakanlah dengan bijaksana," ucap Ihsan yang diikuti anggukan kecil dari adiknya itu. "Apa maksudmu ini Ihsan!!?, kenapa tidak satu persatu, kenapa langsung semuanya, kalau sampai adikmu mati bagaimana!?," teriak Shafa yang dipenuhi amarah pada Ihsan. Ihsan sempat sedikit tersentak mendengar suara Shafa yang naik kepadanya, "apa salahku sebenarnya, bukannya aku hanya memperkuat adikku, lagipula adikku juga tidak protes dan aku tau seberapa kuat adikku setelah beberapa kali berlatih dengannya, sedikit luka takkan sebanding dengan kekuatan yang kuberikan," pikir Ihsan sembari berusaha meraih pipi Shafa namun Shafa menepis tangan Ihsan dan berdiri memapah Fira. "Kau kejam Ihsan," kata Shafa sembari melangkah pergi menuntun Fira menjauh dari Ihsan. "Hmm kebiasaan, namanya cewek emang susah buat mengendalikan emosi, untung aja aku gak terlalu mengharap punya pendamping cepat-cepat," gumam Rio didekat telinga Ihsan. "Gak gitu juga konsepnya Rio, aku baru saja baikan dengan keluarga Shafa, sekarang marahan lagi, kurasa aku harus menyusul dia," kata Ihsan yang berusaha menyusul Shafa sebelum akhirnya sebuah tangan menghentikannya. "Gausah dulu, ada waktunya untuk minta maaf, jangan langsung begitu dan membuat situasinya malah semakin memburuk, sabarlah sebentar sampai emosi adikku itu reda," suara Rafa terdengar didekat telinga Ihsan yang menoleh menyaksikan kakak Shafa itu sedang memegangi bahunya. "Santai aja Ihsan, kadang Shafa emang gak tau kapan dia salah dan kapan dia benar, emang sering kemakan emosi, hmm suvenir disini banyak sekali jenisnya," ucap Rafi yang membeli beberapa suvenir di tempat itu. "Heh!?, jam tangan itu bagus juga Afi, beli dimana," tanya Akhmad. "Itu ayah, hmm lumayan sih modelnya, ikatan akar bahar ini bagus juga," ucap Rafi sembari menunjuk sebuah toko cinderamata disana. "Waktu ya, sulit juga kalau begitu, aku gak terlalu suka menunggu," pikir Ihsan yang mulai pusing karena Shafa.

Senja harinya Ihsan terduduk di balkon saat ibundanya tiba-tiba menghampirinya. "Kenapa sendirian nak, ada apa sayang," tanya Nita pada anaknya yang murung itu. "Maaf ya bu, bikin adik pingsan," ucap Ihsan yang masih diliputi rasa bersalah yang mendalam. "Iya nak, tapi memang begitu kan caranya menjadi kuat, kayaknya kalau dari cerita orang-orang dulu kamu juga begitu, kenapa gak cerita ke Ibumu ini nak," tanya Nita pada putranya. "Kalau aku cerita, mungkin Ibu bakal khawatir dan malah bolak-balik dari rumah menjengukku, padahal kalau latihan memang harus mengerti konsekuensi juga," ucap Ihsan. "Begitu ya sayang, tapi mungkin kau benar, kalau Ibu tau mungkin Ibu akan melarangmu karena tidak tau, tapi dengan ini kau menjadi jauh lebih kuat, Ibu tidak tau caranya agar dirimu sekuat ini sekarang, yang Ibu tau anak Ibu ini sudah dewasa dan bisa membimbing adik-adiknya, Ibu tak tau apa-apa tentang cakra ini, Ibu titip adik-adik ya," ucap Nita pada Ihsan sembari mengelus kepala anaknya itu. "Ibu, maaf ya karena sering membuatmu khawatir," ucap Ihsan. "Gak papa, namanya Ibu pasti khawatir akan keselamatan anaknya, tak peduli sekuat apapun dirimu, kamu masih bayi kecil di mataku, maafkan Ibu ya karena kadang gak percaya padamu," ucap Nita. "Adek gimana bu," tanya Ihsan. "Dia sedang main dengan mbak Shafa, hmm kira-kira kapan kalian bisa bersama sih," tanya Nita. "Kalau Shafa sudah cukup umur sih bu, sekarang masih terlalu berbahaya," ucap Ihsan. "Ahh iya juga, setahun lagi ya, baguslah, eh kalau begitu kamu juga harus siap-siap dong, jadi bapak itu gak gampang lho, coba tanya-tanya ke bapakmu sama bapaknya Shafa deh biar agak paham-paham dikit urusan rumah tangga," ucap Nita. "Iya bu, tapi aku perlu minta maaf dulu ke Shafa," balas Ihsan yang semakin murung menunggu adzan maghrib berkumandang. "Tunggu waktunya nak, Ibu juga sering terlahap emosi begini dan emang gak bisa diajak bicara, tunggu dulu, makan dulu, bikin dia bahagia dulu baru bisa damai, kami perempuan akan menjawab sesuai emosi kami, kalau bahagia kami akan penurut kalau sedang marah kami akan memberontak, begitu sih," ucap Nita yang membuat Ihsan tersenyum tipis. "Terimakasih Ibu," ucap Ihsan sembari memeluk ibundanya. "Sama-sama nak, eh sebentar lagi berbuka, ayo kumpul, jangan disini sendirian," ucap Nita sembari menarik tangan anaknya kebawah menuju keluarga besar mereka untuk berbuka bersama.

Lihat selengkapnya