"Pak," panggil Ihsan pada dini hari untuk membangunkan ayahandanya. "Apa le," tanya Ikal begitu dia bangun menanggapi putranya. "Bicara diluar aja pak, biar gak ganggu ibu," pinta Ihsan yang diiyakan oleh Ikal dengan langsung berdiri merangkul anaknya membawanya keluar menuju salah satu pendopo keraton.
"Ada apa le, masih belum shubuh kok udah murung ngunu," tanya Ikal begitu sampai di pendopo keraton yang disana banyak buah-buahan yang tinggal dipetik. "Gimana carane bapak minta maaf kalau ibu lagi marahan," ucap Ihsan sembari melayang sebentar memetik buah durian yang langsung dia belah didepan ayahnya untuk mereka makan berdua. "Hmm enak juga kau punya kebun pribadi gini le, lumayan buat sahur, hmm tadi pertanyaanmu gimana cara minta maaf pada cewek yang merajuk, masalahmu dengan Shafa ini kah," tanya Ikal. "Iya pak, padahal sama adek udah aman, eh Shafa masih ngedumel sampai sekarang," gerutu Ihsan. "Hmm namanya cewek le, dia kan belum kenal kamu, makanya sering-sering ngobrol aja, mungkin kalau lebih kenal bakal lebih toleran padamu, tapi kau sibuk sih jadi agak susah," ucap Ikal sembari mencomot durian. "Hhh itulah pak, gimana caranya ya biar bisa baikan," tanya Ihsan. "Bentar lagi kan sahur bareng, ngomong disitu aja," ucap Ikal. "Hmm bener sih pak, semoga suasana hatinya sedang baik," ucap Ihsan. "Aamiin," balas Ikal sembari melanjutkan untuk makan durian bersama Ihsan.
Jam makan sahur akan segera tiba dan dapur sudah mulai sibuk. "Masak apa kau mbak Shafa," tanya Fira yang waktu itu turut membantu dapur dengan tangan kecilnya. "Buat sahur ini ikan aja ya," ucap Shafa yang saat itu sedang memotong-motong ikan dengan rapi. "Rani Shafa, butuh apa lagi buat pagi ini," ucap Lina sembari membawa bumbu dan sayuran. "Taruh aja disana mbak," ucap Shafa sembari menembakkan beberapa api dari jemarinya untuk menyalakan kompor-kompor disana. "Serius banget nih Rani, apa ada yang spesial hari ini," tanya Lina. "Hmm aku rasa aku perlu minta maaf pada Ihsan, dia tidak bersalah kemarin, aku terlalu berlebihan saja, dia jadi murung terus dari kemarin," ucap Shafa. "Sadar juga kamu salah Shafa, ibu bangga padamu nak," ucap Rani dari belakang sembari mengusap kepala anaknya. "Iya bu, kuharap dia bisa memaafkanku," ucap Shafa sembari merajang bawang merah lalu menumisnya. "Bagus nak, jangan sungkan meminta maaf kalau salah, hmm ibu bantu apa nih," tanya Rani. "Kalau ibu mau tolong siapkan ikannya dong buat nanti, potong dadu saja ikannya nanti kumasak bu," ucap Shafa dengan wajah gembira. "Siap nak," ucap Rani sembari mempersiapkan permintaan putrinya.
Waktu makan sahur telah tiba, meja makan terlihat canggung saat Shafa mulai meletakkan makanan dimeja Ihsan yang hanya menatap makanan sahur yang sangat disukainya itu dengan wajah penuh keraguan. "Eee apa yang harus kukatakan, harus mulai dari mana, hmm apa aku mulai dari memuji makanan ini atau bagaimana," pikir Ihsan yang lumayan kalut merasakan hawa keberadaan Shafa didekatnya. "Heh kok cuma ditatap gitu sih le, ngomong apa kek sama yang buat," sindir Ikal sembari mempersiapkan makanannya. "Hehe iya pak, hmm terimakasih ya Shafa," ucap Ihsan dengan canggung. "Sama-sama Ihsan," balas Shafa yang saat itu masih belum sanggup menatap wajah Ihsan sehingga merah mukanya. "Heh, kok malah gini sih, malu-maluin aja kau le," bisik Ikal pada Ihsan sembari menutup wajahnya dengan satu tangannya. "Lah gimana terus pak, repot sih," ucap Ihsan. "Garek njaluk sepuro opo susah e le, astaghfirullah, nduk Shafa, anakku mau ngomong sebentar," ucap Ikal sembari memanggil Shafa. "Pak!!, astaghfirullah kok frontal banget se," keluh Ihsan. "Halah, jenenge lanang, cobak dulu baru evaluasi," ucap Ikal sembari mendorong Ihsan kearah Shafa. "Hfft, dah kayak teman aja mereka," gurau Rani saat menyaksikan Ihsan dan Ikal berbicara. "Begitulah, heh Shafa, dipanggil tuh," ucap Akhmad pada anaknya yang warna mukanya sudah selayaknya bunga seroja merah saat menatap wajah Ihsan dengan malu-malu. "Ada apa Ihsan," tanya Shafa sembari mengambil posisi untuk duduk tapi karena kurang fokus dia jadi terpeleset, untungnya Ihsan dengan sigap menangkap tubuh Shafa. "Ah bagus, pas banget kepelesetnya," pikir Ikal saat menyaksikan Ihsan sudah menggendong Shafa. "Kau gak apa-apa kan Shafa," tanya Ihsan yang wajahnya langsung beralih dari rasa bersalahnya tadi menjadi raut wajah khawatir. "Aku gak apa-apa kok, hmm tadi ada apa ya Ihsan," tanya Shafa sekali lagi sembari mengambil tempat duduknya bersama Ihsan yang menuntunnya. "Hhh gini, kukira dirimu marah karena tindakan cerobohku kemarin pada adikku sendiri, maaf ya karena membuatmu marah," ucap Ihsan dengan pelan. "Iya Ihsan, aku cuma kalap saja kemarin, maafkan aku juga ya, tidak seharusnya aku membantah keputusanmu untuk menganugerahkan astramu pada adikmu saat dia saja sudah setuju," ucap Shafa. "Tapi mengingatkan itu juga penting, terimakasih ya," ucap Ihsan. "Iya Ihsan," ucap Shafa. "Alaah kapan makannya mase, he ayo sahur dulu," ucap Fira pada kakaknya sembari memakan sahurnya. "Heh, suka banget ganggu masmu Fira, jangan gitu," ucap Nita sambil menjewer Fira. "Eh iya bu, maaf," ucap Fira saat dijewer ibundanya. "Hahaha, yaudah masalah udah selesai, ayo makan," ucap Ihsan. "Gitu dong, kau harus pemberani nak, namanya laki-laki emang harus sering bertindak, sering mencoba dan sering minta maaf," bisik Ikal pada putranya itu. "Iya ayah, terimakasih ya sudah membantuku," ucap Ihsan yang kembali riang sambil memakan sahurnya bersama orang-orang disana.
Beberapa saat kemudian, adzan shubuh sudah berkumandang saat beberapa manusia memasuki gerbang Jonggring Saloka. "Akhirnya sampai juga kita disini, Jonggring Saloka, negeri para dewa, dasar orang-orang gila, padahal negeri ini lebih cocok disebut sebagai negeri orang-orang buangan," ucap salah satu orang yang ternyata Alan yang dibersamai pasukan Maharsi yang sudah tiba di Jonggring Saloka. "Jaga ucapanmu Alan, kalau ada yang mendengarkan dirimu bisa kacau rencana kita," ucap Feni. "Tapi perkataanmu itu benar Alan, ini memang negeri yang didirikan oleh orang-orang buangan, tapi lihatlah dengan baik, negeri ini sangatlah indah, mungkin memang beginilah gambaran bagaimana ketulusan dan ketekunan mengubah dunia menjadi lebih baik," ucap Gifar yang terpana kagum dengan negeri itu. "Kukira negeri yang dibangun oleh orang-orang yang dipinggirkan Dunia akan menjadi seperti neraka, tapi ini jauh dari perkiraanku, negeri ini seperti surga diatas Dunia," gumam Zuhri yang melihat sendiri keindahan yang terlihat di mana-mana. "Bagaimana cara seseorang yang bisa melakukan semua ini dalam waktu kurang dari setahun, negeri ini sangat maju dan rapi untuk negara yang baru berdiri," ucap Malvin yang kemudian menyaksikan sebuah candi ditengah pemukiman. "Apa ini, sebuah candi berisi lingga yoni ya, tunggu dulu ini adalah pembangkit energi untuk wilayah ini," ucap Alan yang masih bingung dengan tempat itu. "Om shangkaraaya namaha, apa ini, tulisan yang terukir di pinggir candi ini, Shangkara, sang pembawa berkah, siapa sebenarnya dia, kenapa tak ada monumennya, tak ada fotonya, siapa shangkara, apakah ini cara mereka memanggil Ishvara mereka disini, beginikah cara orang-orang disini memanggil Bhairava, tidak mungkin, bagaimana cara seseorang mendapatkan nama yang berlawanan arti, makhluk macam apa dia, apakah dia seorang dewa, bagaimana caranya seorang Bhairava bisa dipanggil Shangkara," pikir Gifar yang mulai merasa bahwa pikirannya tentang Ihsan selama ini salah.