Bhairava

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #172

Ya Namaha

"Ayah!!, kumohon padamu berbohonglah hari ini saja, katakan bahwa kau tidak mengenal mereka," ucap Gifar muda didepan penjara sang ayahanda. "Tapi ayah kenal mereka, mereka adalah teman-temanku yang selalu berbagi kebahagiaan denganku, sesekali mereka berbagi duka denganku bukanlah sebuah masalah," ucap sang ayah. "Ayah!!!!, kau akan dihukum karena melindungi penjahat, mereka penghianat negara, mereka akan dihukum mati, apa kau mau mengikuti mereka ke neraka," tanya Gifar. "Aku tau itu Gifar, negara ini memang bobrok dan karena itu mereka memberontak," ucap sang ayah. "Begitukah ayah?, tak maukah kau melihatku mewujudkan mimpiku, tolong hiduplah sebentar lagi, coba lihat aku, semua hal sudah berjalan sesuai rencana, setahun lagi akan ada pemilihan pemimpin, pendukungku juga sangat banyak, anakmu ini akan menjadi Ishvara ayah!!, tolong hiduplah sebentar lagi dan lihat aku mengubah Dunia, aku masih butuh bimbinganmu," pinta Gifar sembari mulai berlutut pada ayahnya. "Seorang pemimpin adalah orang yang mampu berjalan didepan rakyatnya sebagai pelindung bagi rakyatnya dan penghancur bagi musuhnya, saat engkau jadi Ishvara nanti orang-orang yang ada dalam perlindunganmu akan melihatmu dengan rasa aman sedangkan musuh-musuhmu akan melihatmu dengan rasa takut, seperti itulah pemimpin, itulah nasehat ayah untukmu, selanjutnya engkaulah yang akan memutuskan jalanmu sendiri, jalan yang akan diikuti oleh pengikutmu nak, sekarang tinggalkan ayah sendiri," ucap sang ayah. "Tidak ayah!!!, kau tidak bersalah, kau harus selamat, apa gunanya melindungi orang-orang bodoh itu, bukankah engkau sudah menasehati mereka untuk tidak berkhianat, ayah tidak salah, ayo pergi," ucap Gifar. "Ayah bersalah nak, ayah salah karena tidak sanggup mengingatkan mereka, karena ayah tak cukup kuat untuk membuat mereka mengikuti keinginan ayah, maafkan ayah nak, ayah bersalah karena ayah lemah, ayah bersalah karena tak bisa membimbing mereka menuju kebenaran, biarkan saja ayah mati disini, ayah memang bersalah," ucap sang ayah. "Tapi ayah, kau masih bisa bebas," ucap Gifar. "Ayah tak menyesal telah berusaha mengubah mereka, meski ayah gagal setidaknya ayah sudah mencoba, kau sudah sangat kuat saat ini nak, andai saja engkau mau melanjutkan mimpi ayah, mungkin kau akan mengerti rasanya kasih sayang yang tulus dari orang-orang yang terbuang itu, mungkin ayah adalah contoh yang buruk bagimu karena tak berhasil menjalankan mimpinya, tapi suatu saat engkau akan melihat seorang pemimpin yang mau menolong siapapun dengan tulus dan dia akan dikelilingi orang-orang terbuang, orang-orang yang masih bingung tentang apa itu kebenaran dan kadang berbuat kekacauan, jangan salah menilainya nak, hanya karena dia menjadi pusat kekacauan bukan berarti dia orang yang buruk tapi karena dia menerima semua orang yang mau mengikutinya, kalau kau melihat orang seperti itu tolong jangan padamkan cahayanya dan dia akan bersinar lebih terang dari siapapun dan membawakan perdamaian untukmu," ucap sang ayah. "Takkan ada orang sebaik dirimu lagi ayah," ucap Gifar yang mulai meneteskan air mata. "Percayalah nak, dia akan lebih baik dariku, ayah tidak tau siapa dia, bagaimana rupanya, kapan dia akan dilahirkan, tapi ayah merasakan senyumannya, jadi jangan sampai engkau menyaksikan murkanya," ucap sang ayah sambil tersenyum tenang mengeluarkan tangannya untuk mengelus kepala anaknya yang sudah membisu dan menatap senyuman sang ayah yang mulai terlihat pudar karena tertutup genangan air mata.

....

"Prajapati!!!!!, kau sudah keluar batas!!!, mana kemanusiaanmu sehingga engkau menghancurkan semua yang kau anggap salah!!!, perdamaian macam apa sebenarnya yang kau cari sehingga kau menghancurkan kemanusiaanmu sendiri!!!," teriak Ihsan sembari melesat kearah Veera yang tak sanggup menjawab perkataan Ihsan. "Mungkinkah aku salah, mungkinkah dia yang dikatakan ayah akan lebih baik darinya, tidak mungkin, tidak mungkin, dia hanya pengacau, tidak mungkin orang yang akan membawakan perdamaian bagiku itu adalah iblis ini," pikir Gifar sembari menjalankan Veera untuk beradu pukulan dengan Ihsan.

Kedua ksatria yang kepayahan itu saling serang, Ihsan melancarkan tinju ke tenggorokan Veera yang kemudian membalas dengan menendang Ihsan menjauh tapi Ihsan tak sendiri. Sebuah tembakan bholenath yang berasal dari Rio mengenai Veera diikuti oleh Shafa yang mendekat dengan pedang kembarnya. "Sialan sistem energiku hancur karena teknik yang kupakai tadi," pikir Veera sembari menangkap pedang Shafa lalu melemparkannya serta menyiapkan serangan untuk ditembakkan kepada sang Mahadewi tapi begitu Veera akan menyerang sebuah tendangan dari Ihsan melayang kemukanya, mementalkan satelit terkuat Prajapati itu diikuti dengan lemparan trisula dari Anas yang berhasil ditangkis oleh Veera menggunakan brahmadanda miliknya namun hal itu tak berlangsung lama karena Ihsan kemudian menikamnya menggunakan trisulanya sendiri. "Mereka tidak ada habisnya, bagaimana caraku menang!?," pikir Veera sembari menyaksikan berjuta-juta astra menghujani dirinya dengan trisula yang masih menancap diperutnya. Begitu Veera menarik trisula itu hujan astra tadi dengan deras menghantam tubuhnya. "Aku tidak akan kalaaahh!!!," teriak Veera sembari membentangkan tangannya seraya mengeluarkan gelombang kejut dari tubuhnya. "Kau bukanlah orangnya Bhairava!!, kau bukanlah penerus mimpi ayahku, itu tidak mungkin," teriak Veera sembari melesat kedepan membawa tongkatnya untuk menyerang saat Ihsan kembali memanggil trisulanya untuk menahan serangan Veera, saat itu juga Rio menembak tangan Veera hingga tongkatnya terlepas lalu dengan cepat Ihsan kembali menikam Veera dengan trisulanya lalu mengangkat tubuhnya keatas. "Saksikanlah Prajapati, saksikanlah amarah orang-orang yang kau hancurkan rumahnya," ucap Ihsan sambil mengangkat tinggi-tinggi tubuh Veera sehingga Veera bisa menyaksikan dengan jelas sorot mata prajurit Ihsan yang dipenuhi amarah lalu Ihsan segera melemparkan tubuh Veera kesana yang segera mendapatkan hujan serangan dari segala sisi. "Ayah, aku melihatnya, orang yang senyumannya kau rasakan dahulu, tapi aku telah salah, aku malah merasakan amarahnya, maafkan aku ayah, bahkan dengan mata sekuat ini aku masih buta, maaf ayah," pikir Gifar saat satelit terakhirnya mulai rusak karena diterpa serangan yang tak ada hentinya. Lewat Veera dia menyaksikan Ihsan mengepalkan tinjunya dan melaju kearah Veera untuk meninjunya sekuat tenaga dan dengan itu menghancurkan satelit terakhir Gifar.

"Satelit terakhirku telah dihancurkan, aku sudah kalah, aku tak mau lagi melawannya," ucap Gifar sembari menangis. "Tuanku, ayo pergi dari sini, jangan ganggu dia lagi," ucap Feni sembari mengulurkan tangannya. "Baiklah ratuku, ayo pergi," ucap Gifar sembari menerima uluran tangan ratunya dan akhirnya berdiri dari tempatnya bersemedi. "Tunggu dulu Prajapati, jangan pergi dari tempatmu, urusanmu denganku belum selesai," suara sang Mahadewa tiba-tiba terdengar dikepala Prajapati dan seketika membuatnya tercekat. "Kenapa suara anak itu terdengar lagi, apa aku berhalusinasi," pikir Gifar. "Kau tidak sedang berhalusinasi Prajapati, aku yang engkau panggil Bhairava sedang berbicara denganmu, tunggu kedatanganku kesana," ucap Ihsan lewat telepati miliknya yang membuat .

Sementara itu di medan tempur yang sudah hancur lebur Ihsan akhirnya mulai berdiri dan melepaskan tangannya dari tubuh Veera. "Bagaimana Ihsan," tanya Shafa. "Aku akan bertemu dengan Prajapati secara langsung," ucap Ihsan sembari berjalan kearah jalur energi yang dipancarkan Veera sebelumnya untuk bertemu dengan Prajapati. "Izinkan aku akan ikut denganmu Mahadewa," ucap Shafa. "Baiklah, sisanya tolong bereskan kekacauan disini," ucap Ihsan sembari pergi diikuti oleh Shafa. "Aku tidak pernah melihat Prabhu seperti ini, tolong tenangkan dia Rani," pikir Anas saat merasakan amarah yang sangat kuat dari dalam hati Ihsan.

Lihat selengkapnya