Bhairava

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #175

Papan Permainan

"Jadi mungkin kukatakan dulu rencanaku untuk menambal kerugian yang kau lakukan ke negeriku, kudengar kemampuan diplomasimu cukup mengesankan, dengan kekuatan sebesar itu ditambah dengan komposisi masyarakat yang sangat profesional, aku cukup yakin kalau diplomasi kalian sering untuk diterima karena mereka tak mau berurusan dengan pejuang sekuat dirimu atau memang menginginkan pekerja profesional darimu," ucap Ihsan sembari kembali menata bidaknya. "Apa yang kau inginkan dari itu wahai Shangkara," tanya Gifar sembari juga menata bidaknya. "Hmm sekedar tau saja sih, ya seperti yang kau tau aku tidak pandai berdiplomasi dan seringkali usahaku untuk meraih hati mereka malah berujung perang penaklukan, sebenarnya aku tidak menginginkan itu, setidaknya agar tidak sesering sekarang, aku ingin lebih fokus ke membangun sesuatu menjadi lebih baik dan mulai menetralisir konflik, bisakah engkau kirimkan salah satu Maharsi untuk mengajariku caranya berdiplomasi dengan baik," ucap Ihsan. "Itu sajakah permintaanmu!?, engkau sungguh anak yang sederhana wahai Shangkara," ucap Gifar. "Itu kurasa bukanlah permintaan sederhana, itulah satu-satunya syarat yang kubutuhkan untuk memaksimalkan potensi negeriku, kekaisaran Jonggring Saloka yang sudah menjadi negara adidaya bahkan dengan sistem yang masih kacau balau, perang sipil yang terus berkecamuk dan rencana kudeta di mana-mana," ucap Ihsan. "Persatuan negeri memanglah penting, kau nampaknya tau apa yang menjadi tujuanmu, aku menghargai pendapatmu, siapa Maharsi yang ingin engkau pinjam," tanya Gifar. "Kurasa orang itu," ucap Ihsan sembari menunjuk Alan. "Tapi dia bukanlah negosiator yang baik, tidakkah kau menginginkan yang lain," tanya Gifar. "Aku ingin belajar bernegosiasi, justru dengan tempramennya itu aku akan mencari cara untuk memenangkan dirinya dan belajar berdiplomasi dengan itu," ucap Ihsan. "Pola pikir yang unik, baiklah kalau begitu maumu," ucap Gifar. "Tidak bisa begitu, apa maksudmu sebenarnya Ihsan, kenapa malah mengambil cara yang beresiko, cobalah untuk berpikir sesuai dengan norma yang ada, kenapa terus melakukan langkah liat," bantah Alim yang tiba-tiba ingin terlibat. "Tapi ucapannya itu ada benarnya Narayana, kenapa kau malah marah-marah," tanya Gifar. "Tapi dari dulu dia begini, kadang langkah liarnya berujung masalah demi masalah," ucap Alim. "Sudahlah cak, akulah yang terlibat langsung dalam keberlangsungan negeriku, aku sebenarnya mau meminta bantuanmu tapi kau sibuk dengan urusanmu sendiri demi rencana besar kita, sayangnya mungkin rencana itu takkan berjalan semulus itu," ucap Ihsan sembari tersenyum lebar. "Apa maksudmu Ihsan!!, berhentilah bertindak gegabah, kau ini seorang Ishvara, keputusanmu itu akan berdampak pada semua orang yang kau pimpin," ucap Alim. "Karena itulah aku harus terus membuat gerakan untuk meraih kesuksesan yang lebih besar, ini agar kemajuan berjalan lebih lancar lagi," ucap Ihsan. "Dengan semua resiko itu!?," tanya Alim dengan geram. "Kau benar dengan semua resiko itu, seperti yang kau tau dalam sebuah permainan aku suka untuk mengambil banyak pengorbanan demi mencapai tujuan, dengan begitu akan banyak tujuan yang akan kuraih, pada akhirnya aku akan punya jauh lebih banyak bidak untuk dimainkan dan bisa memenangkan setiap kompetisi, bahkan dengan langkah ceroboh sekalipun," ucap Ihsan. "Berhenti mengorbankan banyak hal untuk tujuan besarmu Ihsan, kau harus melangkah dengan rapi," ucap Alim. "Permainan yang cepat dengan banyak pengorbanan adalah kegemaranku, aku suka bermain dengan sumberdaya lebih banyak untuk memenangkan banyak hal juga, kenyataanya dengan itu aku bisa memenangkan jauh lebih banyak hal untuk mempercepat proses negaraku menuju kemajuan," ucap Ihsan dengan penuh keyakinan.


"Cih, apa yang sebenarnya mereka diskusikan, kenapa sampai menunjuk diriku," ucap Alan yang bingung dengan keadaan. "Ini adalah tebusan ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan tuan Prajapati, tapi memang harus kuakui kerugian yang ditimbulkan dati menghancurkan ibukota tidak akan main-main, Jonggring Saloka adalah negara yang masih bergantung pada pemimpin mereka, sang Mahadewa yang mereka puja sebagai Shangkara dan wilayah yang pastinya paling merasakan dampak keberadaan sang Mahadewa adalah ibukota itu sendiri, mungkin kerugiannya bisa mencapai angka 25% keatas, dan karena dana berputar disekitar ibukota Jonggring Saloka maka bisa dikatakan negeri ini sedang kolaps, tapi mungkin takkan lama sampai mereka semua mendapatkan lagi kekayaan mereka, bahkan mungkin dengan momentum ini para pedagang kecil akan mulai muncul ke permukaan sebagai tiran yang sangat kuat, harus kuakui kalau kontrol Mahadewa atas semua kekacauan disekitarnya adalah sebuah berkah," balas Yudi. "Anak yang luar biasa, diusia semuda itu dia sudah punya segalanya, tapi tetap bisa hidup sederhana sambil membantu sesama, manusia yang sempurna, aku merasa bersalah turut menyerang rumahnya," ucap Feni. "Sudahlah ibu ratu, itu sudah terjadi, kini waktunya untuk memperbaiki," balas Alan disertai anggukan dari Feni dan Yudi.

"Memangnya apa yang ada dalam rencanamu dengan melatih kemampuan berdiplomasi wahai Shangkara," tanya Gifar. "Sederhana saja, aku juga sedang menyusun aliansi, untuk menyambut terjadinya dharmayudha yang pasti akan terjadi," ucap Ihsan sambil memulai permainan. "Seyakin apa memangnya dirimu akan terjadinya perang akbar itu dan dengan cara apa kau ingin membuat aliansi," tanya Gifar sembari membalas langkah Ihsan. "Owh aku cukup yakin dengan keadaan yang sudah semakin panas ini akan ada satu orang yang memantik terjadinya dharmayudha, lagipula perang adalah bisnis yang menguntungkan bagi orang-orang yang memiliki sumberdaya melimpah, aku contohnya, karena itu aku akan mulai menyatukan negeriku dan menyatakan supremasi atas negeri-negeri kecil yang memutuskan untuk bergabung di aliansi ini, menjadi pemimpin mereka dan memberdayakan mereka, semakin banyak bidak yang dimiliki maka akan semakin bagus, dengan begitu takkan ada lagi yang melawan, takkan ada lagi perang besar, hanya tersisa konflik-konflik kecil yang bisa diselesaikan dengan cepat, Dunia ini harus menjalani pembersihan sebelum akhirnya membangun lagi semuanya dari awal dengan orang-orang terpilih," ucap Ihsan. "Lalu apa bedanya itu dengan serangan Prajapati barusan," ucap Alim. "Apa yang sebenarnya ada didalam pikirannya, sebenarnya anak ini menginginkan perdamaian atau perang, kenapa malah terdengar kalau dia akan membuka perang dharmayudha," pikir Gifar. "Tentu saja beda cak, serangan ini bertujuan untuk membunuhku sedangkan dalam perang semuanya akan dipertaruhkan, semuanya akan terlibat, setelah melihat semua ketakutan dan kekacauan itu maka mereka akan menginginkan perdamaian, seperti itu terus siklusnya, perang dan perdamaian tanpa henti, memang begitulah Dunia ini," ucap Ihsan. "Lalu kau mau memulainya Ihsan!!!," bentak Alim. "Hahahahahaha, aku!?, untuk apa aku memulai perang!?, aku belum punya alasan untuk itu, aku sudah merasa cukup dengan hartaku, tak ada perdagangan yang ingin kulakukan dengan perang, itu takkan menguntungkan, aku sudah merasa terbebani dengan takhtaku, mengusahakan terjadinya perang hanya akan merugikanku, kalau aku menang maka beban takhtaku akan semakin berat, kalau aku kalah maka aku akan mati, keluargaku juga masih lengkap dan akan semakin lengkap dengan keberadaan Prajnaparamita di sisiku, aku sudah cukup dengan semuanya, tinggal menyelesaikan konflik-konflik kecil yang menggangguku saja," ucap Ihsan dengan tawa kerasnya. "Lalu apa yang sebenarnya ingin engkau bangun dengan membawa salah satu Maharsi dariku, kenapa kau malah menginginkan yang terkuat daripada yang paling pandai berdiplomasi, kenapa memilih jalur supremasi," tanya Gifar yang mulai berada diposisi kalah pada papan caturnya. "Itulah yang kubutuhkan tuan, reputasiku sebagai seorang diktator harus kubersihkan di negeriku, ada hal yang ingin kubangun dengan semua hal yang kumiliki saat ini, Mahadwipa baru, kalau bisa jangan satu, yang banyak agar semuanya punya kesempatan berkembang, tujuh Mahadwipa yang ada saat ini masihlah kurang bagi banyak orang, aku mendengarkan semua keluhan mereka, sampai sebuah Mahadwipa yang dipenuhi dengan harta dan kebutuhan mereka maka mungkin mereka akan terus mengeluh, jadi kita lihat saja nanti apakah usahaku akan bisa memuaskan dahaga mereka atas kenyamanan, kalau sampai Manidwipa saja tidak cukup maka kita mulai saja perang, para pemalas itu memang harus musnah," ucap Ihsan yang mulai tertawa gila. "Apa yang terjadi padanya, kenapa semua rencananya terdengar masuk akal tapi sikapnya seperti itu," pikir Gifar yang mulai takut dengan tindakan Ihsan.

Lihat selengkapnya