Perjalanan balik menuju rumah Ihsan pun dimulai, Ihsan bersama dengan Alan dan Shafa segera melayang menuju pusat imperium Jonggring Saloka yang saat itu sudah luluh lantak akibat serangan pemusnah dari Prajapati. "Apa yang akan kita lakukan di ruang hampa ini, apa kau pikir tempat ini bisa ditinggali," tanya Alan yang geram dengan gerak-gerik Ihsan. "Kita tunggu dulu sinyal dari para menteriku, mereka sedang menyiapkan istana darurat sebelum kita kembali ke ibukota di akhir bulan ini," ucap Ihsan. "Akhir bulan!?, kau jangan main-main, mana mungkin membangun sebuah kota dari ruang hampa dalam waktu sesingkat itu," ucap Alan. "Berapa persen wilayah kita yang hancur Shafa?," tanya Ihsan. "Akibat serangan yang baru saja berlangsung selama beberapa hari kebelakang, kita telah kehilangan sekitar 11% total wilayah Jonggring Saloka dengan total estimasi kerugian sebesar 19%, untung saja sebagian besar purusha dan prakriti tidak mati dalam serangan sehingga kita bisa memperbaiki keadaan dengan lebih cepat," ucap Shafa. "19% ya, sudah kuduga pembangunan yang terlalu terfokus di ibukota itu buruk, kenapa orang-orang ngeyel buat tinggal di ibukota sih," ucap Ihsan. "Hoi, anak sinting, kenapa malah fokus kepada kerugian, bukannya menambal kehancuran yang terjadi," bantah Alan. "Pantas saja Prajapati bilang dirimu kurang bisa negosiasi, emosian sekali, hmm gini lho mas, kami membangun wilayah ini bukan dengan membuka wilayah tak berpenghuni tapi dengan membuatnya dari nol, kami punya generator bintang dan planet dan atas izin Tuhan kami membuat dan menyusun benda-benda langit itu untuk menjadikannya wilayah yang bisa dihuni, dengan begitu kami bisa membangun kembali wilayah kami asalkan ada dana," ucap Ihsan. "Aku tau kau sudah menemukan alat itu dan bahkan sudah mulai digunakan secara luas tapi masalahnya sebagian besar wilayah hanya bisa menggunakannya maksimal untuk sepuluh persen wilayah mereka per tahun, itupun dana mereka akan habis," ucap Alan. "Sayangnya kau mengambil contoh yang agak salah, Jonggring Saloka adalah negara dengan konsentrasi pebisnis dan tenaga kerja paling tinggi, membangun wilayah baru justru akan menguntungkan bagi kami karena membuka banyak jejaring bisnis baru dan mempercepat pertumbuhan pendapatan kami," ucap Ihsan dengan penuh percaya diri. "Memangnya sebanyak apa catatan ekonomi kalian sampai kalian begitu percaya diri," ucap Alan. "Terakhir kali kami tercatat menguasai 25% sumberdaya Dunia, dengan serangan ini pastinya akan turun," ucap Ihsan. "Mana mungkin bisa sebanyak itu, negara ini masih seumur jagung," ucap Alan. "Kenyataannya begitu, kami juga sudah membuat banyak sekali provinsi, kota dan lain-lain, dan semua negara kecil disekitar negeri kami juga sudah kami tundukkan sepenuhnya dan itu berarti kami sudah mengamankan beberapa jalur dagang internasional yang akan semakin mempercepat siklus keuangan disini, ah koordinatnya sudah dikirim, sebuah planet tidak berpenghuni ya, ini menarik," ucap Ihsan pada Alan yang tiba-tiba dikagetkan dengan dikirimnya koordinat keraton yang baru yang cukup jauh dari lokasi mereka saat itu. "Hmm jauh juga, kau mau gantian menyupir mas," tanya Ihsan sembari menyerahkan kendali vimananya pada Alan. "Baiklah, anggap saja ini agar urusan kita cepat selesai," balas Alan yang direspon dengan senyuman lebar dari Ihsan. "Bagaimana caranya membangun negeri semegah ini dalam waktu singkat, anak ini memang ajaib," pikir Alan sembari mengemudikan vimana milik Ihsan menuju keraton barunya.
"Keraton baru ini sangat kecil kalau dibandingkan keraton Suralaya yang sudah hancur," ucap Rio. "Ya mau bagaimana lagi mas Rio, waktunya terbatas, setidaknya ruangan-ruangan penting sudah bisa dipakai, lagipula kita membangun keraton secara progresif, beberapa waktu lagi mungkin akan semegah sebelumnya, ah bukan, keraton ini akan lebih megah lagi," ucap Anas sembari menunggu kedatangan sang Prabhu. "Hei mas Anas, kita sudah mendapatkan jalur suplai obat-obatan, multivitamin yang mereka miliki lumayan lengkap tapi masih kurang di penanganan gawat darurat," ucap Andre yang baru saja selesai mencari jalur farmasi terdekat. "Itu bisa diurus dengan pendanaan keraton, asalkan mereka sungguh-sungguh membangun maka akan jadi maju juga, yang penting kau bimbing saja tenaga medis baru kita itu," ucap Anas. "Siap pak bos," balas Andre sembari pergi dari sana untuk membabat lahan untuk nantinya dia tanami tanaman obat dan penangkal serangga. "Membangun ulang keraton tak terdengar seperti hal yang mudah tapi orang-orang ini santai sekali untuk mulai mengerjakannya, kurasa ini memang pekerjaan mereka setiap hari," pikir Rio sembari memandang langit dimana samar-samar vimana Ihsan terlihat mulai turun dari sana.
Tak berapa lama vimana Ihsan akhirnya mendarat, orang-orang keraton mulai menyambutnya dengan meriah. "Hehe lihat siapa yang datang," ucap Ihsan sembari memperkenalkan Alan yang sontak membuat para abdi dalemnya mulai ketakutan. "Eeee Prabhu, kau yakin membawa orang itu kesini," tanya Reda. "Yap, ee mana keluargaku," tanya Ihsan. "Mereka masih diamankan di wilayahku, mungkin besok akan kembali kesini," ucap Rio. "Tahun ajaran baru kayaknya tiga hari lagi, aku harus segera melepas adikku," ucap Ihsan sembari tersenyum manis. "Kenapa rasanya nyaman sekali didekat anak ini, ah tidak mungkin, dia adalah pembunuh yang mengerikan, aku tetap harus waspada," pikir Alan. "Hmm apa pendoponya sudah selesai, aku mau beribadah dulu," ucap Ihsan sembari menyingsingkan lengannya untuk bersuci. "Itu Prabhu, tapi kan belum masuk waktunya Prabhu," ucap Anas. "Mau istirahat juga sebentar pak," ucap Ihsan sembari berjalan kearah yang ditunjukkan Anas.
"Kenapa dia santai sekali menanggapi kehancuran istananya, bukannya itu sangat penting untuk administrasi, kenapa di keadaan sekacau ini dia masih bertindak seolah tidak terjadi apa-apa," ucap Alan dengan geram. "Ihsan memang seperti itu tuan, dia menyembunyikan semua kegalauannya berdua dengan Tuhan, kalau mau ikut saja kesana agar bisa melihatnya," ucap Rio. "Belum waktunya, aku akan disini dulu," ucap Alan saat tiba-tiba merasakan Shafa mulai berjalan menyusul Ihsan dalam sepinya.
"Ya Tuhan, aku lelah, maafkan aku telah mengeluh tapi kurasa hanya Engkaulah yang bisa kupercaya saat ini, tempatku untuk pulang," ucap Ihsan sembari menyandarkan punggungnya di mihrab saat semilir angin mulai berhembus dengan tenang disekitar wajahnya. "Terimakasih Tuhan, maafkan aku banyak meminta padamu, tapi kalau bukan padamu memangnya siapa lagi yang bisa memberi, hanya padamu aku meminta dan hanya padamu aku akan tunduk, tolong terus bimbing aku menuju rahmatMu oh Tuhanku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," ucap Ihsan saat tiba-tiba Shafa tiba di hadapannya membawakan buah-buahan liar yang baru saja dia petik dan dibawanya dengan bajunya. "Ah Maha Indah juga, makhlukmu saja seindah ini," pikir Ihsan sembari tersenyum pada Shafa. "Makan dulu, nanti sakit," ucap Shafa sambil mengupaskan jeruk yang baru saja dia petik. "Terimakasih Shafa, kau memang anugrah Tuhan yang paling besar untukku saat ini," ucap Ihsan. "Semoga jadi yang selamanya, ini makan dulu," balas Shafa sembari memberikan salah satu jeruknya ke mulut Ihsan yang memakannya dengan senang hati.
"Hiih bikin iri aja terus," gumam Rio yang mengintip dari semak-semak bersama Alan. "Jadi itu alasan dia bisa tenang, pantas saja, sabar sekali gadis itu, kapan aku menemukan yang seperti itu juga kepadaku," pikir Alan. "Nah kau sudah lihat kan, dia memang suka merenung sendiri, kalau ada orang dia langsung memasang senyum walau palsu, hmm tapi yang itu kayaknya asli deh," ucap Rio. "Aku sudah lihat, tapi aku masih belum yakin dengan itu, aku disini hanya karena tuan Prajapati memintaku, jangan berharap lebih, aku ke kamarku dulu," balas Alan sambil berbalik arah untuk menuju kamarnya. "Hmm ingat, iblis selalu bisa membujuk orang lain agar nyaman dengan kesesatan, aku takkan tertipu, lagian mereka kan belum menikah, mana boleh begitu," pikir Alan sembari berjalan menuju kamarnya yang saat itu sedang dalam proses pembangunan.