"Ini sudah mau berbuka dan aku baru sampai di Panditanagara, jadi ini wilayah Svananda, maju sekali," gumam Shafa saat menaiki trem untuk menuju rumah Steve bersama dengan keluarganya. "Kak Shafa, kapan kita sampai," tanya adik laki-laki Shafa. "Bentar ya Aqil, kita sedang kesana," balas Shafa. "Hmmm lapar kak, ada makanan," tanya adik perempuan Shafa. "Nggak Zia, masih puasa," balas Rani saat Shafa baru saja akan mengeluarkan kudapan dari tasnya. "Yah buu, Zia gak kuat," balas si Adik. "Udah mau buka, hari terakhir lho ini Zia, sabarlah, nanti kita makan-makan pas hari raya," ucap Rani. "Iya ibu," gerutu Zia sembari terduduk lemas yang membuat Shafa tak sanggup menahan tawanya. "Gak baik sekiranya seorang ratu menertawakan seseorang yang mencoba kebaikan baru," ucap Rafa. "Maaf kak, ekspresi adik lucu sekali," balas Shafa yang akhirnya memalingkan mukanya agar tidak terlihat tertawa saat trem mereka terus berjalan menuju rumah Steve.
Suasana sudah petang saat Shafa dan keluarganya mencapai tujuan. "Gilak, ada stasiun pribadi, memangnya lokasi ini seramai itu sampai ada stasiun pribadi, ini rumah kan?, bukan keraton?," gumam Rafi saat menyaksikan pemandangan stasiun trem pribadi Steve. "Yoi bro, ini rumah, aku juga heran saat pertama kali masuk tapi tempat ini memang sangat sibuk, maaf ya aku mendadak mengabari untuk berhari raya disini," sahut Ihsan menyambut kedatangan keluarga Shafa. "Kau menyempatkan untuk menunggu kami disini, terimakasih," ucap Shafa. "Aku hanya ingin melihat lebih awal senyuman indahmu itu Tripura Sundari," balas Ihsan sembari mulai mengangkat barang-barang bawaan dari keluarga Shafa dengan telekinesis lalu mengulurkan tangannya untuk menuntun sang ratu masuk kedalam rumah.
Setibanya di dalam rumah Steve, Ihsan segera menyusun barang-barang keluarga Shafa lalu mengajak Shafa dan keluarganya ke ruang tamu untuk mengistirahatkan diri sejenak. "Nampaknya ada yang sedang menyiapkan makanan untuk berbuka dan berhari raya esok hari, baunya enak sekali," ucap Shafa. "Iya Shafa, kita sedang dijamu disini," balas Ihsan saat Shafa mulai berdiri. "Aku ingin membantu mereka," ucap Shafa. "Baru sampai lho, gak mau istirahat dulu menunggu berbuka," tanya Steve. "Ini hobiku mas Steve, santai saja," balas Shafa sembari bergegas menuju dapur untuk membantu memasak. "Hobi ya, sungguh perempuan yang baik, kau beruntung sekali Ihsan," ucap Steve. "Dia selalu berusaha menjadi berkah bagiku dan karena usahanya itulah dia jadi mulia," ucap Ihsan sembari memandangi Shafa yang berjalan cepat menuju dapur.
Tak berapa lama waktu maghrib tiba dan semua orang dirumah Steve berbuka puasa. "Banyak sekali kurma disini, enak pula," ucap Zia. "Disini kurma adalah salah satu komoditas utama, bahkan disini dipakai sebagai basis nominal mata uang kami yaitu mal yang nilai per 1 mal akan disetarakan dengan 1 kilo kurma kering dengan grade menengah," ucap Steve. "Heeeh unik juga, jadi ini makanan pokok disini," tanya Aqil. "Hahahaha, bukan sih, kalau makanan pokok disini gandum, tapi karena kurma sangat populer dan setiap orang pasti akan memiliki stok dalam bentuk kering untuk camilan maka kami menetapkan kurma sebagai basis nilai tukar," balas Steve. "Waah, aku juga baru membaca-baca, cuma tau nama mata uangnya sih bukan komoditas tukarnya," ucap Aqil. "Heeeh, aku belum dapat pelajaran itu," ucap Zia. "Makanya sering-sering ke perpustakaan dek, hmm bisa dilanjutkan mas," balas Aqil ketus. "Hmmm dasar kalian ini, aku coba jelaskan ya, jadi agar ekonomi di sebuah negara bisa sepenuhnya beroperasi mereka harus menetapkan alat tukar yang disebut uang dan nilai tukar dari uang ini harus dijaga oleh negara agar tidak terjadi ketimpangan dan sistem hancur lebur karenanya, untuk menjaganya maka negara harus memilih satu komoditas sebagai basis tukar, jadi uang ini diibaratkan sebagai pengganti dari komoditas, disini mata uangnya disebut mal dan komoditas tukarnya adalah kurma, untuk Reksanara akan memakai mata uang roc yang per satuannya akan seharga sekilo kentang, Satyabala memakai mata uang fez yang per satuannya dihargai sekilo jagung, lalu untuk Manikabuana punya bhur yang per satuannya setara dengan sekilo gandum, Sahasradwipa akan punya ziz yang akan punya nilai tukar per satuannya setara dengan satu kilogram sagu, untuk negeri Devaloka punya mata uang ket yang punya nilai tukar per satuan sebanding dengan satu kilogram gula, negeri Ashoka punya tal yang per satuannya dihargai satu kilogram garam lalu terakhir Jonggring Saloka punya mata uang hoz yang per satuannya dihargai satu ton beras," ucap Yusuf. "Ah begitu ya, eh kenapa hanya delapan, kenapa semuanya makanan dan kenapa pula Jonggring Saloka pakai satu ton beras sebagai basis tukar padahal yang lain pakai satu kilogram," sahut Aqil. "Itu adalah delapan negara dengan mata uang yang bisa dipakai untuk urusan antar negara karena kestabilannya sangat terjaga, alasan kenapa pakai makanan adalah karena itu adalah kebutuhan pokok manusia untuk hidup, ini juga akan berfungsi untuk memastikan masyarakat makan dengan terjamin, setidak-tidaknya dengan makanan yang menjadi nilai tukar dan alasan kenapa Jonggring Saloka pakai satu ton beras dan bukannya satu kilogram adalah karena kami merupakan negeri dengan perdagangan berskala paling besar dengan jumlah transaksi paling banyak maka kami perlu mata uang yang memiliki nilai tukar tinggi, untuk pecahan dibelakang nol, kami juga punya banyak jadi jangan khawatir untuk transaksi kecil, itu akan tetap bisa dilakukan, selain itu kami tidak mau terlalu banyak uang yang beredar karena kami juga terbiasa melakukan barter, hoz biasanya hanya dipakai untuk transaksi berskala besar," ucap Ihsan. "Jadi itu alasannya, terimakasih mas-mas semua," ucap Aqil. "Sama-sama, eh udah cepat selesaikan, kita beribadah bareng setelah ini lalu melantunkan takbir hari raya," ucap Ihsan sembari berdiri menyiapkan diri untuk beribadah saat yang lain mengangguk dan ikut berdiri mengikuti Ihsan.
Seusai beribadah mereka melanjutkan makan dan mulai untuk saling bertukar makanan ke warga sekitar dan disaat itulah tiba-tiba gawai Ihsan berdering. "Hhh mas Alan ini nelpon diwaktu yang kurang pas," pikir Ihsan sembari mencari tempat menyendiri untuk mengangkat teleponnya. "Assalamu'alaikum, gimana mas Alan," ucap Ihsan. "Aku ada di kompleks utama Svananda seperti arahanmu, ini aku ikut pesta besar didekat rumah besar yang seperti keraton itu, jadi kapan kita bertemu," balas Alan lewat telepon. "Matanee, rumahnya warna apa dan ada apa aja disana," tanya Ihsan. "Hmm ini rumah berwarna putih dengan atap kebiruan, ada kolam besar, sebuah kebun binatang yang cukup besar dan ada juga stasiun trem pribadi," ucap Alan. "Wong edan, itu rumah yang kutinggali sekarang, rumah dari Steve yang saat ini dikenal dengan julukan Ganesha, jangan mengacau," ucap Ihsan. "Aman itumah, heh, kapan kita akan mulai menyerang," tanya Alan. "Mungkin setelah hari raya kita akan mulai berkeliling Dunia, eh mas Alan, coba cari tempat keberangkatan yang lain, aku sudah mengatur perjalanan ke Reksanara dari sekitaran tempat ini, besok aku akan bersiap pergi," ucap Ihsan. "Siap pak bos, makasih infonya," ucap Alan sembari langsung mematikan panggilan. "Hmm tiba-tiba aja sih," ucap Ihsan saat menutup gawainya.
"Akhirnya menelpon juga, dia ada disekitar sini ya," tanya Shafa secara tiba-tiba. "Mak, hei, ngapain kamu nguping," tanya Ihsan yang sedikit geram. "Aku hanya mau membawakan makanan untukmu, ini sate dan kebab," ucap Shafa sembari menyerahkan beberapa makanan untuk Ihsan. "Makasih Shafa, eh kau mau kemana," tanya Ihsan yang membuat Shafa menghentikan langkahnya. "Kau perlu sendiri kan?, aku ikut saja instruksimu nanti sayang, jangan khawatir," ucap Shafa. "Jangan pergi, temani aku makan wahai hadiah Tuhan yang terindah," ucap Ihsan yang seketika membuat Shafa mengingat sesuatu. "Hadiah!, ohiya ada hadiah dari kanjeng ibu," ucap Shafa sembari membuat beberapa mudra untuk memunculkan hadiah dari ibunda Ihsan untuk putranya. "Sarung dari ibu ya, hmm apakah agar aku tidak kedinginan dimalam hari," tanya Ihsan sembari menerima sarung dari ibundanya lewat tangan kekasihnya. "Iya Ihsan, kau benar, bagaimana caranya kau tau maksudnya," ucap Shafa. "Dia ibuku Shafa, wajar kok, bagaimana kabarnya, kenapa dia tidak mau ikutan kesini," tanya Ihsan. "Katanya mereka gak kuat menahan hempasan kekuatanmu, karena itu mereka tak ingin ikut, misi ini berbahaya bagi mereka bukan," kata Shafa. "Jadi begitu, padahal aku mau memeluknya dihari ini, memeluk ibuku, kalau bisa ada bapakku juga sih, apa pesannya untukmu," tanya Ihsan. "Darinya engkau belajar apa itu kehidupan tapi padaku kau akan pulang, itu pesannya, maaf Ihsan, aku seperti merenggut dirimu dari ibumu, semua hal ini terjadi karena permintaan bodohku hari itu, maaf," ucap Shafa yang tersungkur bersedih dihadapan Ihsan yang tersenyum haru. "Perkataan ibuku itu benar, sang surya memang sangat panas dan tak akan bisa didekati, tapi rembulan selalu bisa menemani dimalam yang sepi, sudahlah Shafa, jangan bersedih, ini hari raya loh," ucap Ihsan sembari berjongkok didepan Shafa dan mengusap kepala Shafa yang sedang menangis meski air mata juga mengalir di pipinya yang putih selayaknya salju. "Andai saja aku tau bahwa perkataanku akan membebanimu seberat ini Ihsan takkan aku mengatakannya, tapi semuanya sudah terlanjur kukatakan, apa yang harus kulakukan sekarang, bahkan disaat seperti ini kaulah yang menghiburku, bahkan saat dirimu sendiri juga bersedih, maafkan aku oh Shangkara, aku sudah mengutukmu hingga Dunia mengenalmu sebagai Bhairava, maafkan aku Ihsan, maaf," pikir Shafa sambil menangis saat perlahan Ihsan mulai memeluknya dan menenangkannya. "Jangan menangis, ibuku sudah memasrahkan kasih sayangnya kepadaku lewat dirimu, seterang apapun matahari, dia akan terbenam juga saat itulah hanya ada cahaya rembulan dan bintang-bintang kecil disampingnya yang akan menemani malamku," ucap Ihsan sembari menyeka air mata Shafa dimalam hari raya itu, berdua diselimuti cahaya rembulan.