Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #3

Merawat Kesepian

Seminyak, Juni 2022.

Secangkir kopi,berlembar-lembar kertas terserak di meja kerjanya. Pukul 01.25 dini hari, angka yang tertera di jam tangan digitalnya, sementara kantuk belum juga sanggup membuatnya menyerah. Beberapa hal mengusiknya sejak siang tadi, satu telepon dari Jakarta membuat mood-nya semerawut, sekaligus lega karena laki-laki itu tidak akan hadir mengusik pikirannya lagi. Setidaknya untuk beberapa bulan ke depan, sejak biro arsitek besar dari Jakarta itu, mengganti chief project dengan arsitek lain, untuk proyek pengembangan cagar budaya di Bali.

-         Bodhi: Tar… kemungkinan besar saya nggak jadi berangkat ke Bali. Kebetulan Project di Seminyak jadinya dikerjakan Satria, kamu udah kenal dia, kan? Maaf, ya, Tar. Mungkin next project bisa kita kerjain bareng-bareng.”

Ucapan Bodhi siang tadi masih mengusiknya. Untuk kesekian kali, ia merasa ditolak. Tarra memijat pelipis, sambil mencoreti kertas asal-asalan. Satu persatu to do list hari ini dienyahkannya.

Tarra selalu menjadi manis dan penurut, sepanjang hidupnya. Ia selalu mempersembahkan prestasi gemilang tanpa pernah ada yang memaksa. Bagi Tarra, menjadi yang terbaik bagi orang lain, adalah salah satu cara ia bersembunyi dari kerapuhan diri yang sesungguhnya.

Lima tahun, sejak ia mengenal laki-laki berkacamata itu, Bodhi masih punya tempat di hatinya. Laki-laki itu hadir tanpa pernah ia minta, menularkan banyak sikap baik tanpa pamrih, seperti yang sering Bodhi lakukan pada orang-orang di sekitarnya. Cintanya tumbuh, seiring mengenal pribadi laki-laki asal Indonesia itu. Sama-sama menitipkan diri mereka di negeri nun jauh, untuk mencari ilmu.

Hubungan sebagai sepasang kekasih itu, hanya berumur jagung. Tarra yang mundur lebih dulu, ia akhirnya tahu bukan dirinyalah yang selama ini bercokol dengan bandel di relung hati Bodhi, sosok perempuan lain yang sejak saat itu, Tarra deklarasikan sebagai hantu menyeramkan yang telah merenggut cinta pertamanya. Beberapa kali Tarra mencoba mengobati patah hati itu, tetapi kebencian berganti dengan kebencian baru, hatinya mulai membatu.

Ponselnya berdering. Telepon dari Jakarta.

“Halo, Bu?”

“Halo Tar, belum tidur?”

“Aku masih di kantor, masih ada yang harus dikerjakan,” ucapnya sambil menguap.

“Ngga bisa nunggu sampai besok ngerjainnya?”

Tarra terkekeh. “Aku nggak bisa tidur kalau pulang ke rumah. Jadi, mending ngabisin waktu di sini.”

“Kamu sendirian?”

“Ada satpam kok, Bu, jangan khawatir.”

“Ayah kamu lusa pulang dari Malaysia. Dia kepengen kamu pulang dulu ke Jakarta, sebelum ayah balik lagi ke KL. Kamu bisa?”

Tarra mengernyitkan dahi. Kalau ada satu tempat yang ingin ia hindari saat ini, tempat itu adalah Jakarta. “Nanti aku lihat dulu soal izinnya, Bu. Kan, ibu tahu aku baru aja kembali ke sini.”

“Usahakan ya, Nak,” mohon ibunya.

Tarra hanya mengangguk. “Aku siap-siap pulang dulu, ya.”

“Ati-ati nyetirnya. Kalau udah sampai rumah, kasih kabar.”

“Ok.”

Ia membuka album foto di gawainya. Memandangi foto yang sudah lama ingin ia hapus. Fototo dirinya dan Bodhi di depan Vermeer Centrum Delft, sambil tersenyum berangkulan dengan laki-laki itu. Di museum kesenian itulah, untuk pertama kalinya Bodhi mengungkapkan keinginan untuk menjalin hubungan dengannya.

Delete picture?

Lihat selengkapnya