Toko Kue Bhanuresmi, adalah toko kue yang sudah berdiri sejak tahun 1970 dan dikelola langsung oleh sang pemilik, Ny. Bhanuresmi Maharani. Beliau satu-satunya pengusaha kue tradisional yang masih bertahan menggunakan metode pembuatan kue sendiri, tanpa sistem konsinyasi. Meski menu kuenya tidak sebanyak toko kue lain, Toko Kue Bhanuresmi memiliki ciri khas kue tradisional yang menjadi andalan. Kue jadah manten, kue kipo, getuk, pia kacang hijau buatan mereka, harum namanya hingga kota lain.
"Mas Patra, ndak malu belajar bikin kue sama saya begini?" Marni, perempuan paruh baya kepercayaan Ny. Bhanuresmi bicara sambil tersipu.
“Kenapa harus malu, Mbak? Saya kan nggak nyolong.”
“Maksud saya, mas Patra iki kan ganteng, orang terkenal, kok mau-maunya belajar bikin kue begini sama saya. Tangan mas Patra nanti kotor, kenapa ndak belajar bisnisnya aja toh Mas, sama bu Ambar?”
Patra tergelak. “Ini tuh caranya Mbak Marni bikin saya GR, ya?Dari tadi muter-muter, cuma mau bilang saya ini ganteng?” godanya dengan alis jahil.
Wajah Marni langsung memerah. “Eh, anu maksud saya bukan begitu. Gimana tadi ya, maksudnya?” Ia menggaruk puncak kerudung yang menutupi kepalanya.
“Saya seneng kok, Mbak, belajar bikin kue begini. Menambah ilmu, sekalian bantu Yangti,” ucap Patra. “Atau jangan-jangan, Mbak Marni yang nggak suka, saya bikin ribet dapur?”
“Oalah… maksudnya nggak gitu kok, Mas. Saya senang ada yang bantu-bantu, cuma ya itu, dapur kan kotor Mas, ndak pantas wong resik kayak Mas Patra ada di dapur.”
“Ah Mbak, udah deh kok jadi ngomongin pantas nggak pantas. Yang nggak pantas itu kalo saya, bikin kuenya pakai kebaya,” timpal Patra sambil mencelup jarinya ke dalam adonan kue, dan mencoba kadar manisnya.
Mbak Marni merespon celotehan Patra, dengan tawa dan suaranya yang medok.
Ambar baru saja datang, ia memindai interaksi keduanya, lalu mengernyitkan dahi. “Mbak Marni digangguin Patra, ya?”
“Ndak kok Bu, Mas Patra malah bantu saya bikin adonan kue lumpur.” Marni gelagapan. Mungkin ia tak mau cucu majikannya kena semprot Ambar, yang menjadi orang kedua berkuasa di toko ini.
Ambar memicingkan mata. “Kamu bisa bikin adonan kue lumpur?”
“Bisa, dong. Nanti setelah kuenya mateng tante coba, deh. Nggak kalah sama bikinannya eyang.” Patra menampakkan giginya yang rapi, dengan lengkung garis bibirnya yang khas.
“Mas Patra jagoan Bu, rasanya mirip dengan buatan ibu sepuh. Punya mas Patra malah lebih empuk dan ndak terlalu manis,” bela Marni sambil melirik majikan anomnya.
Ambar tidak bisa menyembunyikan lekuk senyum di bibirnya -meski samar. Ia tidak pernah berhenti bersyukur keponakannya kembali ke rumah ini, dan mau belajar memasak di toko kue milik ibunya. Ia masih ingat bagaimana semerawutnya kehidupan Patra, ketika pertama kali datang setelah digempur berbagai masalah.
Dua tahun, Patra akhirnya memutuskan untuk terjun ke toko kue Bhanuresmi. Meski ia tahu Ambar membutuhkan ilmu bisnis yang dipelajarinya, Patra sama sekali tak tertarik untuk mempelajari sisi bisnis dan keuangan toko mereka. Entah kenapa, ia lebih tertarik untuk belajar membuat kue, profesi yang juga dicintai eyangnya.
“Apa yang bikin kue lumpur bikinan kamu beda dari yang lain?” Ambar memicingkan mata.
Dari Snack Maker, Patra menyodorkan sepotong kue panas dan meniupinya, lalu mendekatkan sejumput ke mulut Ambar.
“Kasih komentar sejujurnya ya, Tan.” Ia tersenyum percaya diri.
Harum gula dan santan yang menyatu, menguar dari kue yang masih mengepul, lidahnya bisa merasakan lembutnya kentang yang meleleh di mulutnya. Ada wangi asing yang ia rasakan berbeda dari kue lumpur kebanyakan. “Ini apa, ya? Kok rasanya beda?”
“Tante Ambar suka?”
“Agak asing sih, tapi aku lebih suka ini daripada yang topping kismis. Yang ini wangi, terus adonannya ngga terlalu manis juga.” Ambar menghabiskan sisa potongan kuenya yang lain. “Aku sih suka yang ini daripada punya ibu, ssstt… jangan bilang-bilang dia, ya!”
Patra terbahak. “Ini serbuk kayu manis, Tan, aku kasih sedikit di atasnya buat ganti kismis. Biar terasa lain aja, tapi aku lebih suka yang model begini. Eh, ternyata tante Ambar doyan juga," seringainya.
Ambar mengangguk. “Tapi kue lumpur yang asli jangan dihilangkan ya, ini udah jadi ciri khasnya toko Bhanuresmi,” perintahnya pada Marni.
“Siap, Bu Ambar!” Marni menyeringai dan menerima tos dari Patra yang terkikik geli.
***
Ia tengah menghabiskan bab terakhir buku Meditasi karya Jon Kabat Zinn, ketika Bayu salah satu pekerja toko menghampirinya.
“Mas Patra, ada tamu datang ke toko nyariin Mas. Saya suruh tunggu di teras depan rumah ibu sepuh,” ucap Bayu terburu-buru.
Patra tahu, Bayu tidak mau diomeli Ambar karena terlihat berkeliaran di rumah tinggal eyangnya. Ia tahu betul, hobi merokok Bayu di samping rumah itu, mengganggu tantenya.
“Tamu dari mana?” Patra mengernyitkan dahi. Sepanjang 5 tahun ia tinggal di Jogja, belum ada satupun orang dari masa lalunya datang menemui.