Seminyak, Juli 2022.
Berdasarkan desain skematik yang telah disetujui, Tarra mulai mengembangkan desain pada sistem konstruksi dan struktur bangunan Cagar Budaya yang hendak ia kembangkan. Semua telah bersepakat, tugas pengembangan rancangan hingga pembuatan gambar kerja akan didelegasikan ke beberapa orang. Tarra harus memulai proyek lainnya di Jogjakarta, maka ia terpaksa meninggalkan pekerjaan di Bali, untuk rekannya yang lain. Sesuatu yang mendatangkan kelegaan hati, untuknya.
- Satria : Tar, besok saya ke Bali. Ada yang mau saya bawain?
- Tarra : Duh, maaf. Besok pagi, aku terbang ke Jogja. Harus memulai proyek di sana, kliennya sudah menunggu. Raincheck?
- Satria : It’s ok. Semoga kerjaan di Jogja lekas beres, be save.
- Tarra: Makasih, ya.
Pesan itu mau tak mau menggerakkan senyum di bibirnya. Tarra mengecek lagi tiket pesawatnya. Ada sesuatu yang membuatnya bergegas pergi meninggalkan Bali, kemelut yang biasanya hadir, sebelum badai datang.
Name : Ayunindya Budiman / Tarra
Flight : GA253
Boarding Time : 08:35
From : Denpasar – Bali
To : Yogyakarta
Sambil tersenyum ia melihat lagi e-ticket di ponselnya. Perjalanan kali ini tak akan seperti perjalanan bisnis regulernya, ini akan jadi liburannya untuk sementara waktu, libur dari kepenatan dan mendung di dalam hatinya sejak sosok itu datang lagi menghantui. Meski Tarra tahu, jarak tak memendekkan keresahan, tetapi harapan memperbesar berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan sana. Harapannya membumbung tinggi, untuk membuka hatinya pada banyak kesempatan baru.
Mengunjungi Jogja kali ini, akan berbeda. Sudah beberapa kali ia kesana, bersama ayah dan ibunya di waktu kecil, ketika mereka masih utuh sebagai satu keluarga.
Perpisahan kedua orangtuanya membalikkan segala konsep yang tadinya ia yakini tentang pernikahan. Dalam sekejap mata, prinsip keluarga bahagia yang ditanamkan di kepalanya pun ikut porak poranda. Tarra melarikan dirinya pada pelajaran dan organisasi sekolah, ia mengejar kesempurnaan untuk menutupi dirinya yang sesungguhnya rapuh.
Ayahnya tinggal di Kuala Lumpur bersama istri barunya, sementara ibunya bekerja di sebuah kantor hukum ternama di Jakarta. Tarra kembali melarikan diri untuk bekerja di sebuah biro arsitek di Bali, setelah lulus dari masternya di Delfts, Belanda. Ia merasa tidak memiliki keharusan untuk menambatkan kakinya di manapun, dekat-dekat dengan keluarganya.
Ia hampir saja menemukan konsep sempurna tentang hidup bahagia bersama pasangan, ketika mulai mengenal Bodhi. Namun, semuanya kandas di tengah jalan, menyisakan lubang menganga penuh kekecewaan.
***
Di terminal keberangkatan domestik bandara I Gusti Ngurah Rai, Tarra menemukan spot untuk menunggu. Ia merapat ke sebuah kafe yang hari itu tampak ramai. Sambil memindai tempat duduk yang nyaman untuk menunggu dalam waktu lama, tatapannya mendarat ke sepasang kursi kosong yang tersisa.
“Mas, saya pesan hot sencha tea, ya,” ucap Tarra pada seorang pelayan laki-laki. Pelayan itu memandanginya seperti sedang melihat selebriti.
“Baik, Kak. Ada lagi?”
“Itu aja dulu, deh.” Tarra membalas keramahannya dengan senyum sekilas. Ia membuka ponselnya, untuk mengecek kembali penginapan yang akan ditempatinya selama di Jogja.
“Mohon maaf, Bu. Kafe kami saat ini sedang penuh,” ucap seorang pelayan.
“Ndak ada kursi sama sekali, ya? Saya sedang nunggu cucu saya ngurus tiket pesawat. Kaki saya sudah pegal-pegal.” Suara seorang perempuan membuat Tarra menoleh ke belakang.
Meja yang ia tempati memiliki dua kursi, yang satu kursinya dibiarkan menganggur. Tanpa banyak berpikir lagi Tarra melambaikan tangannya pada pelayan itu. “Mas, kursi depan saya ini kosong. Ibunya boleh kok duduk di sini.”