Jogjakarta, Juli 2022
Pukul 04:30, bukan hal baru bagi penghuni Toko Kue Bhanuresmi untuk memulai geliat paginya. Mereka sudah terjun ke dalam rutinitas persiapan produksi, dari mulai pukul 03:30 dini hari. Menguleni adonan, membuat parutan kelapa, menyugar gula merah, hingga menata tampilan toko, adalah ragam kesibukan para karyawan setiap pagi buta. Toko harus mulai dibuka pukul 05:30 pagi, saat mentari mulai muncul, dan perut warga sudah mulai minta untuk diisi. Ny. Bhanuresmi terbiasa melayani para pelanggannya untuk sarapan, menyiapkan bekal untuk sekolah anak, dan oleh-oleh untuk dikemas.
“Kok tumben kesiangan?” Ambar masih mengenakan daster dan rol rambut, ketika Patra menghampirinya di meja makan.
Sambil menguap dan mengucek mata, Patra menyesap kopi paginya. “Abis nonton bola sama Bayu, Tan.” Patra menyeringai, dengan lapisan kopi masih membalut giginya yang belum digosok. “Jadi, pagi ini saya harus nganterin kue, kemana?”
“The Latar Ombo Regency, jangan lupa alamatnya, Tra, serius.” Ambar menatap tajam, lalu mengalihkan fokusnya mengecek sesuatu di dalam ponsel. “Jam delapan acaranya dimulai, kamu berangkat jam enam aja. Agak jauh kalo dari sini.”
“Acara apaan, sih?”
“Ada kegiatan Kundha Kabudayan Pemprov Yogyakarta, di sana kamu langsung ketemu sama event managernya aja. Nanti aku kirim nomornya,” jelas Ambar tak ingin Patra ketinggalan satu info pun. “Yakin mau kamu aja yang berangkat? Aku bisa kirim Bayu kesana, kok.”
“Sanggup, Tan. Tenang aja, saya juga butuh refreshing.” Patra kembali menguap.
“Mandi dulu sana. Aku nggak yakin liat kondisi kamu saat ini."
“Siap, Boss!”
Tak berapa lama, ia menghentikan langkahnya persis di depan pintu kamar mandi. Tatapannya berubah khawatir, sambil meringis ia meremas gagang pintu. “Tan? Nggak nyetir, kan?”
“Dua ribu potong kue, Tra!” Ambar memelotot sambil berdecak gemas. Namun seuatu menyergap kesadarannya. Ia tampak bimbang.
“Pakai taksi online, nggak apa-apa, kan?"
“Ya udah. Yang penting kueku sampai ke sana tepat waktu.” Menyadari pemakluman yang harus diberikan untuk Patra, kali ini Ambar menyerah. Ia tahu keponakannya hanya ingin membantu, dengan kondisi yang harus ia terima saat ini.
***
Hotel dengan halaman luas dalam konsep art space itu, disulap menjadi tempat pagelaran festival budaya yang apik dan elok. Pagelaran akan diramaikan oleh beberapa seniman asli Jogjakarta, yang digadang-gadang menjadi perekat budaya tradisi dan modernitas. Acara yang akan dibuka oleh Sri Sultan sendiri, dan juga akan dihadiri pejabat-pejabat penting Pemerintah Provinsi DIY, mengambil tempat yang jauh dari keramaian dan kemacetan. Warga yang telah memiliki undangan yang disebar melalui beberapa sosial media, diharapkan akan ikut meramaikan pestanya masyarakat Jogja ini.
Patra terpukau dengan konsep dekorasi, yang dibuat oleh beberapa seniman instalasi di area pagelaran seni, dan spot festival kuliner yang akan berlangsung. Booth khusus makanan tradisional, ditempatkan mengelilingi panggung utama acara musik, menyerupai sebuah konstelasi.
“Mas Darma? Serius, dekorasinya baru dibuat tadi malam?”
Event Manager bernama Darma itu mengangguk, dengan senyum puas terukir di wajahnya. Begitu tahu siapa yang menghubunginya, ia menyempatkan diri untuk merehatkan tubuhnya, disela kesibukannya mengawasi tim EO. “Nggak percaya, kan, ini semua dikerjakan dalam semalam?”
“Nope!” Patra menggeleng. Pandangannya beredar, mengagumi setiap detail seni instalasi outdoor yang dibuat dari media berbahan daur ulang kayu, bambu dan pernak pernik lampu. “Konsep acara hari ini apa?”
Darma mengernyitkan dahi. “Hmm … konsepnya fusion.”
Patra mengangkat alis. “Kayak gimana, tuh?”
“Hari ini ngga cuma mengedepankan tema tradisional aja. Kita merepresentasikan pertunjukan lintas generasi yang mewakili kota Jogjakarta. Dari mulai tarian tradisional, pantomim, musik Jazz, sampai storytelling untuk anak-anak. Semua dengan benang merah kota Jogja sebagai latar belakangnya. Dari modern, semi modern, sampai tradisional.”
Patra mengangguk-angguk, terkesima mendengar penuturan Darma yang penuh antusias, atas hasil jerih payahnya. “Butuh berapa lama buat bikin konsep acara sampai sedetail ini?”
“Satu tahun!” Darma terbahak. “I know … I know, saya perfeksionis orangnya, ingin semua detail serba terhitung presisi. Ya, tapi terbayar, kan?” Ia mengedarkan pandangan lalu mengayunkan telapak tangannya bak maestro.
“Yes, you did a great job. Setiap tahun proyek ini Mas Darma yang pegang?”
“Baru dua kali sebelum pandemi. Ya, sebelum negara api menyerang, event kebudayaan kayak gini tuh, biasa diadakan secara berkala, memancing animo masyarakat dan investor pariwisata datang. Jadi selama dua tahun kemarin, kita nyaris libur.”
Patra tersenyum masam.