Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #8

Focal Point

Rasa lelah membalut tubuhnya, seperti belenggu yang membebat tubuhnya di tempat tidur. Langit-langit losmen yang tinggi, menenangkannya. Serpihan kue di ujung bibir, masih memancing senyum hangatnya. Hotel mewah yang disediakan oleh kantor terlalu besar untuk dinikmati sendirian,maka ia memutuskan untuk pindah ke losmen sederhana ini.

Ponselnya bergetar. Suasana hatinya berkelebatan, begitu membaca nama yang tertera di layar.

“Halo, Yah?”

“Tar?”

“Maaf, ya, Yah. Aku nggak bisa ke Jakarta hari ini. Ada tugas mendadak di Jogja.” Ia meringis, menunggu serbuan interogasi.

“Ayah paham kamu sibuk dengan pekerjaan yang lebih penting, ayah cuma rindu.” Satu kalimat menusuk ulu hati Tarra, tepat sasaran.

“Aku nggak bermaksud menghindari Ayah, kok.”

Hening.

”Mungkin lain kali, kamu yang harus ke Kuala Lumpur,” ucap ayahnya tulus. Namun entah kenapa, niat tulus itu tak sampai di hati Tarra yang masih saja luka setelah bertahun-tahun.

“Iya, salam buat Tante Irma.” Tarra tak pernah memanggilnya mama seperti yang ayahnya minta. Bagi Tarra, Irma hanyalah perempuan yang mengandung kedua adik tirinya, itu saja.

Akhir ikatan pernikahan kedua orang tuanya, menyisakan banyak sekali luka dan kebencian di hati keduanya, menularkannya pada anak-anak mereka, saling memendam konflik dalam senyum dan ritual keluarga yang serba pura-pura. Orang tuanya bermain peran sebagai orang-orang dewasa, yang saling menghormati satu sama lain, demi kedua anak-anaknya. Ibunya, bahkan tak pernah mempertontonkan kemurkaannya di hadapan Tarra. Dari dulu, keluarga Tarra selalu jadi tablet salut gula yang manis di luar dan pahit di dalam, menyimpan banyak sekali letupan potensi konflik.

“Mas … toko kue Bhanuresmi jauh nggak dari sini?” tanya Tarra pada seorang karyawan losmen yang sedang membersihkan jendela.

“Mbaknya tinggal jalan, ndak lebih dari dua ratus meter dari sini. Tokonya ada di sebelah kiri lajur jalan besar. Rumahnya kuno, dan halamannya luas, ramai sekali biasanya” jelasnya penuh keramahan.

“Wah, makasih banyak infonya.”

Ia sengaja menyisakan ruang di perutnya untuk menemui lagi, kue lumpur yang kemarin sempat membuatnya jatuh cinta. Beberapa kali ia berkunjung, tapi tak sempat menyambangi tempat yang banyak dibicarakan oleh beberapa koleganya. Tempat kue tradisional yang menjual makanan tradisional khas kota Jogja, dan konon katanya belum lengkap pengalamannya sebagai pecinta kuliner, kalau belum mencoba kue-kue dari toko ini.

Bangunan itu mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Sebuah rumah tua, dengan aksen kokoh, apik dan resik. Belum-belum Tara jatuh hati berkali-kali. Bangunan ini memiliki karakter mencolok dan elegan, tetapi atribut modern seperti pagar, lahan parkir dan penerangan yang mengelilinginya, menyirikan kalau si pemilik memikirkan betul kenyamanan pelanggannya.

Ketika masuk ke dalam toko, ia merasakan atmosfer yang membuatnya merasa semakin betah. Barisan kue warna-warni tertata rapi dalam display tampah kayu, yang menjadi Focal Point ruangan itu. Senyum mengembang di wajahnya. Wangi gula merah, santan dan pandan menyelubungi udara, memancing desir bunyi di perutnya. Liurnya ikut terpikat.

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Seorang perempuan berhelai rambut putih di kepalanya, menyapa ramah. Sikapnya yang elegan, cara bicara, dan sikap tubuhnya yang ramah seolah menggambarkan, kalau ia adalah si pemilik toko.

“Hmm, saya kemarin dateng ke festival di Latar Ombo. Terus saya coba beberapa kue di booth milik Ibu. Saya suka sekali,” puji Tara diikuti senyuman hangat.

“Perkenalkan, saya Ambar. Saya putri dari pemilik toko Bhanuresmi. Perempuan di foto itu ibu saya,” ucapnya sambil menunjuk foto dalam pigura besar yang menghiasi dinding toko.

Tarra melirik wajah seorang perempuan jawa yang cantik meski sudah tua, dalam foto berbingkai kayu bengkirai. Serbuan memori menyerang ingatannya, wajah itu! Perempuan tua di bandara Ngurah Rai. Si ibu nastar.

“Jadi perempuan di foto itu Nyonya Bhanuresmi ya, Bu?”

Lihat selengkapnya