Patra menyingkap tirai menuju halaman belakang, ada degup berlarian di dadanya. Dari tempatnya berdiri, ia menemukan wajah itu lagi, perempuan semampai yang mencuri perhatiannya di festival kuliner tempo hari. Ujung mulutnya berkedut, gelombang perasaan gembira menyelusup tanpa peringatan, menyerbu menggoyahkan keteguhan hatinya yang sudah lama kaku. Ia menyusuri wajah tertawa itu, tak berkedip. Bagaimana ia bisa mengenal eyang?
“Lagi liatin apa sih? Cantik, ya?” Ambar berbisik di telinga Patra. Sambil berlalu menenteng buku, dan tumpukan kwitansi di kantungnya.
Tatapan mata Patra kembali ke adonan kue lumpur, yang sedang diaduk di mangkuk besar. Ia gelagapan, tak yakin wajahnya tak memerah.
“Itu kawannya, Mas Patra?” Marni penasaran, ikut-ikutan melongokkan kepalanya, memandangi pergerakan di luar jendela.
“Cantik, ya.” Kini komentar itu datangnya dari Bayu, sambil bolak-balik mengangkut tepung terigu. Ia menyeringai, menggerak-gerakan alisnya menatap Patra.
“Hus, ayo, pada kerja sana! Malah liatin tamunya Ibu,” sergah Ambar pada dua karyawannya.
Patra memutar bola mata, menanggapi kelakuan mereka semua. Ia berusaha fokus pada adonan kue, dan menimbang gula untuk dicampur. Namun, air mukanya tak bisa dibohongi.
“Itu pelanggan kue kita dari Bali, dia mau pesan kue lumpurmu, Tra.” Ambar mengerling pada keponakannya, dengan ekspresi dingin, ia mencatat beberapa nota yang dipindahkannya ke buku besar.
“Dia kenal eyang di mana?” Akhirnya, rasa penasaran itu termuntahkan.
“Tadi sih kudengar, ketemu di bandara Ngurah Rai, ndak sengaja.” Ambar menunduk, berkonsentrasi pada hitungan matematikanya. Namun ia tahu, ada seseorang yang tak bisa berkonsentrasi.
Patra berusaha tak melirik pemandangan di luar jendela, yang kini sedang tertawa dengan semringah, seolah eyangnya dan perempuan itu, sudah bertahun-tahun saling mengenal.
***
“Jadi, yang kemarin ngobrol sama eyang itu siapa?”
Ny. Bhanuresmi mengerutkan dahinya. “Banyak yang ngobrol sama eyang, Si Jatmiko tukang parkir?”
“Yang kemarin lebih menarik dari Jatmiko, Yang.”
“Oh, jadi yang kemarin itu menarik, ya?” Ny. Bhanuresmi membetulkan sanggulnya.
Patra memutar bola matanya. “Kok Eyang kenal perempuan itu?”
“Namanya Tarra." Ny. Bhanuresmi lama terdiam. "Eyang ketemu dia di bandara, waktu nunggu kamu ngurusin tiket pulang.” Ny. Bhanuresmi mencuri pandang dari balik bulu matanya, menelisik ekspresi wajah cucunya. “Dia lagi ada pekerjaan di Bakery baru depan Mall itu, Tra.”
Patra tak membalas, ia diam.
“Arsitek Tra, kerjanya di Bali.” Ny. Bhanuresmi tersenyum memandangi cucunya yang hanya diam. “Nginapnya di losmen ujung jalan.”
“Kenapa Eyang ngasih info ini sama saya?” Ia memicingkan mata, lalu menepuk pelan lengan eyangnya.
“Siapa tahu kamu mau main ke losmen itu, mengantar kue nastar."
“Kenapa kue nastar?”
“Dia suka kue nastar buatanmu. Eyang kasih dia satu stoples, di bandara tempo hari. Katanya, kue nastar buatanmu menyelamatkan mood-nya.” Ny. Bhanuresmi mengingat-ingat kalimat yang tepat.
Patra terbahak. “Eyang suka ngarang!” Ia lalu berdiri, beranjak menuju kamarnya setelah mencium kening Ny. Bhanuresmi.