Kisah hidupnya di masa lalu, dari anak-anak hingga tumbuh dewasa, dibumbui dengan pengkhianatan, kekecewaan, dan kehilangan. Cara pandangnya yang pahit terhadap relasi dua manusia, membuat ia selalu sinis terhadap laki-laki, dan membuat garis pembatas ketika siapapun mendekatinya. Namun, baru kali ini, ia menemukan lawan yang sama pahitnya. Binar di mata laki-laki itu redup, seperti ada yang mematikan sinarnya.
Tarra tidak mengerti apa yang salah dengan apa yang diucapkannya, yang membuat laki-laki itu pamit pergi lekas-lekas. Laki-laki itu kini, menunduk menatap buku dalam genggamannya, dan memelesat pergi.
Tarra diam sambil menyesap kopi pahitnya yang sudah tak lagi hangat. Ia tercenung, menatap piring kaleng pisang goreng yang kosong. Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak, memupuskan resah yang tiba-tiba datang lagi, yang sejak kemarin hampir membuatnya lupa.
Di pelataran parkir, Patra masih berdiri di sebelah motornya. Ia tampak bertarung, dengan apapun yang ada dalam pikirannya, kerutan di keningnya begitu dalam. Matanya terpejam sambil menggeleng, tampak kesakitan.
“Eh, Patra? Tadi, aku belum sempet bilang makasih,” ucap Tarra ragu-ragu sambil menghampiri laki-laki itu. “Ada sesuatu yang salah, ya?”
Patra menggeleng, lalu melempar senyum yang dipaksakan. “Pulang ke mana?”
“Ke Losmen Arjanti. Satu arah sama tokomu.” Tarra menunjuk dengan dagunya ke selatan. Ia memperhatikan renyut khawatir di wajah Patra, yang digelayuti awan mendung.
“Mau bareng?”
Tarra mengangkat alis, takjub. "Yakin, boleh?
Laki-laki itu diam, memandangi Tarra, mencari sesuatu yang mengganggu pikirannya sedari tadi. Ia mengangguk.
Sepanjang hidupnya, lawan jenis selalu mengejarnya kemanapun ia berada. Memuji dan mengekorinya. Baru kali ini, Tarra melihat ada orang yang ketakutan berdekatan dengannya.
“Kamu nggak keberatan?”
Patra menggeleng, senyum kecil berkedut di sudut bibirnya. “Saya nggak bawa helm lagi.”
Tarra hanya mengangkat bahu. "It's ok."
Lalu lintas menuju Ngadinegaran terasa lengang, semilir angin menerbangkan helai-helai rambut Tarra. Keduanya menyusuri jalan diliputi rasa canggung, dalam kepala Tarra muncul beragam pertanyaan yang tak berani untuk diucapkan.
“Biasa ngopi sendirian?” tanya Tarra memecah kekakuan.
Patra tertawa pelan. “Percaya atau nggak, ini pertama kalinya saya ngopi di situ.”
Tarra tersenyum, suaranya pelan. “Lucky me … I guess.”
Dari tempat duduknya, Tarra bisa mengintip gambar di lengan laki-laki itu dengan jernih, ia memegang erat kemudi motor penuh kendali. Laki-laki ini tak banyak bicara. Air mukanya tampak keras, ia berkonsentrasi menatap jalanan, tak berani memacu kendali motornya lebih cepat lagi.
Motor itu berhenti. Plang bertuliskan Losmen Arjanti yang sudah usang, terpampang dari kejauhan.
“Makasih, ya.”
“Sama-sama,” ucap Patra sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Mmm … boleh tanya sesuatu? Nggak apa-apa, kok, kalau kamu keberatan jawab.”
Patra mengangkat alisnya. “Ada apa?”
“Kenapa bikin kue?”
Patra tertawa pelan, pertanyaan itu terdengar asing dari mulut seseorang yang baru saja mengenalnya. “Saya dulu hidup jauh dari eyang. Saya pengen belajar dunia yang ia cintai sepanjang hidupnya, dunia ajaib si tukang kue." Sorot matanya menghangat setiap kali menyebut Ny. Bhanuresmi.
Jawaban itu memancing terbitnya senyum di wajah Tarra, meski sosok itu masih misterius untuknya, Tarra tahu laki-laki di hadapannya amat mengagumi figur eyangnya.
“Mencoba menebus sesuatu yang hilang,” bisik Patra.
Banyak hal yang ingin Tarra tanyakan, banyak hal yang ingin Tarra tahu dari sosok laki-laki di hadapannya. Penglihatannya berlabuh ke rajah indah di lengan kokohnya. "Hei, tatomu bukan sekedar macan kumbang. Itu macan tutul kumbang?"