“Menurut pendapat Mbak, gimana lokasi bangunannya? Apa akan ada kesulitan untuk merubah konsep yang sudah ada, dengan yang istri saya mau?”
Laki-laki paruh baya di hadapannya tampak serius. Meski ia bukan orang yang arogan, tapi bisa dikatakan his all about business. Bukankah itu pula yang dilakukan Tarra di Jogja? Berbisnis dengannya?
Sejak mengenal konsep penjualan seperti yang dilakukan oleh toko kue Bhanuresmi, kesan itu sedikit bergeser di kepala Tarra. Jogja tak hanya tentang bisnis, ada hal lain yang bisa ditawarkan oleh setiap pebisnis yang ingin diterima oleh konsumennya di kota ini. Meski ya, setiap orang yang memulai bisnisnya tentu ingin mendapatkan keuntungan berbentuk uang, tetapi ada added value yang menurut Tarra bisa dijual dari eksotisme, keramahan serta kekentalan tradisi mereka.
“Pak Hariadi ini aseli Jakarta, ya?”
Ia membetulkan letak kacamatanya. “Ya, saya tinggal di Jakarta. Tapi istri saya punya sanggar di Bandung. Awalnya nggak pernah terpikir untuk pindah kemari, tetapi kemudian satu dan lain hal, membuat istri saya ngebet kepengen pindah ke sini.” Ia tersenyum.
Tarra tahu yang dimaksud oleh Hariadi. Kota slow living seperti Jogjakarta ini memang lebih menarik sebagai destinasi untuk menghabiskan masa pensiun, dibanding kota besar. Juga angin segar bagi pebisnis macam Hariadi yang mengelola setiap rupiah yang ia investasikan di bisnis pariwisata.
“Rencananya, bakery ini mau ditinggali juga?”
“Hmm… belum kepikiran ke sana sih, Mbak. Masih berpikir untuk bolak balik dulu, sampai putri saya yang bungsu tamat kuliah di Bandung.”
“Kenapa Jogja?” Tarra tak bisa menahan diri. “Dan kenapa biro arsitek dari Bali yang dipilih?”
Hariadi tersenyum. “Long story short, kami memilih Jogja karena istri saya selalu menyukai kota ini.” Ia berdeham. “Istri saya punya keterikatan dengan kota ini. Sementara saya kan basis usahanya di Jakarta, jadi harus sedikit lentur untuk berkompromi. Saya mau rancangan bangunan sampai interiornya nanti, betul-betul menggambarkan karakter istri saya yang seorang seniman.”
“Istri bapak pelukis?”
“Penari.”
“Wah, pasti penari terkenal, ya?” Tarra tersenyum mendengar nada bangga di setiap kalimat yang Hariadi ucapkan.
Laki-laki paruh baya itu kembali mengukir kekaguman di setiap garis senyumnya. “Beberapa sanggar di Jakarta, Bali dan Bandung mengenalnya.”
“Oh, ya? Siapa namanya?”
“Namanya, Anita Nareswari.”
“Jadi yang punya ide membuka toko kue siapa?”
“Istri saya!” Hariadi tergelak, ia sepertinya punya cerita dengan pilihan bisnis istrinya yang dianggapnya lucu. “Out of nowhere!”
“Tapi Pak Hariadi setuju gitu aja?” Tarra semakin penasaran. Ia menyukai binar di mata Hariadi, yang selalu muncul ketika membicarakan istrinya.
“Saya ini murni pebisnis, tetapi kalau sudah berhubungan dengan keinginan dia, yaa… saya ikuti aja maunya. Selama saya mampu untuk mewujudkan itu.”
Tarra hanya mengangguk-angguk. Ia mengoreti kertas di meja dengan pensil.
“Oh, wow! sambil ngobrol aja mbak Tarra bisa multitasking. You are very talented young woman!” Hariadi memperhatikan sketsa asal-asalan yang Tarra buat.
Sambil mengamati wajah Tarra, Hariadi melanjutkan ceritanya. “Istri saya kepengen toko kuenya berisi makanan-makanan modern tapi dikemas dengan sentuhan kearifan lokal. Interiornya meski minimalis, tetap didominasi sama sesuatu yang tradisional.”
“Hmm… kalau boleh tahu, menu makanan yang akan dijual apa saja? Saya akan berangkat dari sana untuk memulai konsepnya.”
Hariadi tersenyum lebar. “Sepertinya saya tidak salah memilih arsitek dari Spencer & Berg, yang mampu mengejawantahkan mimpi istri saya dalam bentuk visual.”
“Lho? Pak Hariadi meminta saya secara khusus?”
“Iya, kebetulan rumah kawan saya, Yvonne di Seminyak didesain sama mbak Tarra. Begitu berkunjung ke sana, saya langsung jatuh cinta!”
“I see… I see. Jadi Pak Hariadi tentu sudah tahu cara kerja saya ya, Pak?” tanya Tarra dengan nada menggoda yang terselip di setiap kalimatnya. “Saya selalu butuh waktu lebih lama untuk mengerjakan rancangan, dibanding rekan saya yang lain.”
“Take your time mbak, saya sama istri nggak buru-buru kok. Dia akan menikmati kunjungannya di sini sambil liburan.” Hariadi menjabat tangan lentik Tarra sebagai tanda kesepakatan.
***
- Satria: Apa kabar, Tar? Kamu sehat di sana?
Tarra membaca pesan di ponselnya berkali-kali. Beberapa kali mengetik, dan menghapusnya lagi.
- Tarra: Hai, Sat! Kabarku baik. Kamu gimana?
- Satria: Kabar saya baik. Nggak ada kamu, kurang semangat nih pengerjaan proyek kita di sini. But, i think I can manage.
- Tarra: Those project is in a good hand. Cagar budaya is gonna be awesome!
- Satria: Yeah… like I said Tar, I’ll manage. Kamu jaga kesehatan di sana ya.
Tarra tertegun membaca pesan terakhir dari Satria. Laki-laki humoris yang beberapa kali menemaninya mengerjakan proyek cagar budaya itu selalu memberikan perhatian lebih untuknya. Satria adalah rekan kerja Bodhi, dan bisa dibilang mereka sangat dekat. Tarra tahu Satria menyukainya sejak pertemuan mereka di kantor UISAP untuk pertama kali.
Ia menyeruput secangkir teh nasgitel dari cangkir kaleng di hadapannya, dengan sepotong pisang goreng yang masih mengepul, Tarra menelusuri barisan newsfeed di socmed-nya. Satu postingan foto membuatnya tertegun. Akun Debby, temannya dari Jakarta baru saja memuat sebuah foto. Tampak empat orang tersenyum lebar, Tarra bisa mengenali siapa yang paling menonjol di sana. Senyum lebar Zaina begitu silau dan genuine, ia memperlihatkan jemarinya ke arah kamera, dengan lengan Bodhi merangkul bahunya.
Finally!! Hanya itu caption yang Debby tulis di bawah postingan fotonya. They’re engaged? Tarra menggelengkan kepalanya, ia menarik napas pelan. Pisang goreng yang tadi sedang digigitnya, ia taruh kembali ke dalam piring. Ternyata laki-laki itu masih punya efek sedemikian dahsyat untuk ketentraman hatinya saat ini.
***
Dengan sandal talincang membelit mata kakinya, ia melangkah ragu-ragu menuju situs yang tampak sepi hari ini. Situs Warungboto adalah perhentian terakhirnya hari ini, setelah keresahan menghinggapinya sejak semalam. Tak ada sedikit pun mood baik, yang mendorong keinginan Tarra untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Ia hanya ingin berdiam diri, dan menyepi.
Ia mengintip setiap sudut situs lewat lensa kamera analognya. Kamera Leica yang dipujanya sejak masih menjadi mahasiswa di Delft. Lewat kamera ini pula, ia memotreti setiap sudut kota Delft dengan jeli, yang memotivasinya untuk menjadi arsitek seperti sekarang. Bodhi ada di antara cerita itu.
Bangunan tua yang dulunya sebuah pesanggrahan itu berdinding tebal, yang membuat arsitekturnya unik dan menarik. Beberapa orang tampak sedang membersihkan area wisata budaya di sekitar situs, yang kini dikelola oleh Badan Pelestari Cagar Budaya Jogjakarta. Di sekitar situs, terbentuk jaringan pemberdayaan masyarakat yang dinamakan Kampung Warto Wisata Warungboto. Sejak lama Tarra ingin datang ke area budaya ini.
Seorang perempuan tua berada di gerbang situs yang dulunya merupakan Gapura Manuk Beri, ia tertunduk sambil menyapu jalanan. Sesuatu menarik rasa penasarannya untuk membidik lensa pada perempuan tua itu, sosoknya mengingatkan Tarra pada Ny. Bhanuresmi. Perempuan tua itu mendongak menyadari kehadiran Tarra, ia tersenyum dan melambai, yang ia balas dengan anggukan sopan.
“Kene cah ayu! (kesini anak cantik!)”
Tarra hanya tertegun, namun seperti magnet, senyum perempuan itu menariknya untuk mendekat.
“Maaf Bu, tadi saya memotreti ibu nggak izin dulu,” ungkap Tarra malu-malu.
Si ibu hanya tersenyum makin lebar, beberapa giginya telah tanggal. Tiba-tiba, seseorang memanggilnya dari jarak jauh. “Mbok!”
Tarra menoleh dan mendapati seorang laki-laki lebih tua darinya tergopoh-gopoh, menarik tangan ibu tua itu sambil bersungut-sungut. “Maaf Mbak! mbok saya ini suka ganggu turis yang foto-foto di sini.”
“Eh? Nggak kok, Pak! Ibu baik sama saya, ini saya yang ngajak ibu ngobrol, saya yang malah gangguin ibunya,” jelas Tarra kelabakan. Ia mengamati raut si Ibu yang kini ketakutan. “Ibu sakit, Pak?”
Laki-laki itu mengangguk. “Mbok suka kabur dari rumah. Dahulu masa kecil si mbok dihabiskan di Warungboto, ibu saya asli warga sini.”
Tarra mengangguk-angguk, sambil mengernyitkan dahi menghalau sinar matahari yang membakar kulitnya. “Nama ibu siapa?”
“Saminten.”
Telapak tangannya terayun menyentuh punggung tangan Saminten, sambil mengusapnya perlahan. “Pulang ya, Mbok, anak-anak Mbok khawatir di rumah.” Tarra melembutkan suaranya.
Saminten tersenyum, menelusuri raut wajah Tarra, seperti sedang menerka sesuatu, entah apa yang sedang hinggap dalam ingatannya.
“Opo kuwi, Mbok? (ada apa Bu?)”
“Gayatri….” tunjuk Saminten pada wajah Tarra.
Sambil gelagapan, karena kebingungan, Tarra menaikkan alisnya mengalihkan pandangan dari Saminten ke anaknya bergantian. “Siapa Gayatri, Pak?”
Sekonyong-konyong laki-laki itu menepuk keningnya, lalu tertawa kencang. “Mbok!” Ia melirik Tarra sekilas. “Maaf ya, Mbak, Mbok saya bikin malu!”
Tarra menggeleng dengan ekspresi bingung. “Ada apa, Pak?”
“Katanya, mbak ini Gayatri Rajapatni, ibu surinya kerajaan Majapahit,” ucapnya geli sambil terkekeh. “Mbok itu suka sekali dongeng kerajaan Majapahit, bapaknya pendongeng di keputren Kedathon.”
Seketika senyum terbit di wajah Tarra, ia senang disandingkan dengan tokoh Gayatri Rajapatni yang dimaksud Saminten. Ia merasa tersanjung. “Wah, Mbok bisa aja, makasih loh!”
Keduanya melongo memandang punggung Saminten yang tiba-tiba melengos pergi, tanpa berucap sepatah katapun.
***