Entah mengapa, intuisinya berkata kalau kunjungannya kali ini ke Grhatama Pustaka akan berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya. Patra menyukai waktunya sendirian di sana, larut dalam banyak bacaan yang diminatinya sejak lima tahun lalu. Di sini, Patra tidak perlu menemui siapa-siapa yang dikenalnya, bisa rehat sejenak dari rutinitasnya di toko, dan yang paling penting ia bisa rehat dari pikirannya yang terlampau sibuk memikirkan banyak hal.
Di tempat duduk biasa, tempat ia menghabiskan ratusan jamnya selama ini, Patra tertunduk membalikkan lembar demi lembar buku karya Seno Gumira Ajidarma, Kitab Omong Kosong. Ujung bibirnya sesekali berkedut, mencermati kalimat demi kalimat yang membuat hatinya tertarik. Dari sudut matanya, Patra bisa melihat seseorang mendekat.
“Maaf Mas, Anda Patra Mahadhi?” Seorang laki-laki muda dengan kemeja putih rapi dan celana pantalon warna biru tua menghampirinya ragu-ragu.
Patra mengerjap, ia tak langsung menjawab pertanyaan lelaki itu. Lambat laun kepalanya mengangguk, tak yakin akan sanggup menghindar, posisinya di perpustakaan hening ini terasa tersudut.
“Saya penggemar Mas Patra!” Ia tersenyum lebar sambil menyodorkan telapak tangannya, seolah apa yang dilakukannya begitu lumrah.
“Ehm, makasih.” Tak tahu harus merespon bagaimana lagi, Patra menjawab tanpa membalas jabatan tangan orang itu.
Tergugup, laki-laki muda itu masih memasang senyum hangat di wajahnya. “Mas sudah nggak main lagi?”
Patra menggeleng. Hening sekian lama, menandakan ia sedikit terganggu dengan kehadiran orang asing itu.
“Oke kalau begitu, Mas Patra lanjut baca lagi aja. Maaf saya mengganggu, sukses terus ya, Mas!” Masih dengan gesture antusias yang sama, laki-laki itu berjalan ke arah yang berlawanan. Di lengannya terkepit sebuah buku yang mungkin tadi tengah dibacanya, sebelum ia mengenali sosok Patra.
Patra membuang napas. Tadinya ia menghindari hal-hal seperti ini, di tempat yang ia kira jauh dari potensi bertemu dengan orang-orang semacam tadi. Ia mendoákanmu untuk sukses! batinnya protes.
Patra beranjak berdiri, hendak mengembalikan bacaan yang tadi sedang dinikmatinya kembali ke rak, ketika ponsel di sakunya bergetar. Selain tantenya dan Ny. Bhanuresmi, ponsel Patra jarang sekali menerima pesan atau telpon.
Satu pesan dari nomor asing. Siapa?
- 081xxxxxx: Halo Tra, ini Tarra. Maaf ya, aku minta nomor kamu ke Bu Ambar, tadi pagi aku ke toko tapi katanya kamu lagi libur dan jalan-jalan. Kalau kamu nggak keberatan, aku pengen tanya-tanya soal Taman Sari. Pengen motret-motret di sana.
Patra membaca beberapa kali isi pesan dari nomor asing itu. Tarra? Sejak kemarin, ia tak bisa mengenyahkan wajah perempuan itu dari pikirannya. Sejak kedatangan Tarra, ia merasa wilayah privasinya telah diinvasi seseorang. Kelugasan perempuan itu, pertanyaan-pertanyaannya, Tarra mampu membuatnya kembali teringat akan banyak hal, dan merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya.
- Patra: Sekarang?
Setelah memijit tombol mengirim, selang beberapa lama, pesannya mendapatkan balasan.
- 081xxxxxx: Boleh?
- Patra: Mau ketemu di mana? Kamu di losmen?
- 081xxxxxx: Saya ke tempat kamu sekarang aja. Lagi di mana?
- Patra : Grhatama Pustaka
- 081xxxxxx: Eh? Di mana itu? Perpustakaan?
- Patra: Sekitar 5km kalau dari tempat kamu. Dekat JEC, pertigaan Janti tau?
- 081xxxxxx: Ha-ha-ha… nggak ngerti. Kamu kasih alamatnya deh, aku kesitu pakai taksi online kok.
Patra berpikir sejenak. Apa menawarkan diri untuk datang ke losmen perempuan ini akan berlebihan untuknya?
- Patra: Tar, saya kesitu aja. Tunggu.
***
Ia memarkirkan motornya di halaman losmen yang sepi. Beberapa hari belakangan, kedatangannya ke losmen ini seperti sudah dikenali oleh pemiliknya, yang kini tersenyum ramah.
“Silahkan Mas, mau ketemu mbak Tarra, ya? Silahkan tunggu di depan saja, Mbaknya masih di kamar. Biar saya panggilkan.” Seorang perempuan paruh baya seumuran tantenya menyapanya dengan hangat. Logat jawanya mulai pudar.
Tak lama, Tarra sudah berdiri di sebelahnya, dengan kaos putih longgar kasual dan celana jeans sederhana. Ia tampak nyaman, dengan rambut diikat asal-asalan. Tetapi, dia tetaplah Tarra yang dalam jarak bermeter-meter sekalipun tetap kelihatan menonjol di antara perempuan lainnya.
Patra berdeham, membersihkan tenggorokannya mengusir kegugupan.
“Hei.”
“Hei,” balas Tarra dengan senyum lebar menghiasi bibir. “Maaf, jadi ngerepotin."
Patra menyembunyikan senyum gugupnya. “Nggak apa-apa. Searah pulang kok. Udah kelamaan di sana.”
“Sering ke perpustakaan?”
“Killing time,” jawab Patra pendek.
“Cara bagus buat membunuh kejenuhan. Mungkin aku harus coba itu nanti,” ujar Tarra sambil menganggukkan kepalanya. “So, masih ada waktu luang siang ini?” Ia mengambil posisi duduk di seberang Patra, dan menyilangkan kakinya dengan santai.
Patra mengangkat bahu. “Di toko ada pegawai baru yang direkrut tante Ambar, mungkin sekarang kerjaanku lebih ringan dari sebelumnya. Cuma bikin kue dan mikirin rencana bisnis.”
“Oh wow, mau buka cabang, Tra?”
Patra terkekeh. “Belum tau juga sih, tante Ambar ambisius banget sama peluang bisnis toko ini. Cuma semuanya kan masih harus atas izin Eyang.”
Tarra manggut-manggut. “Buka bisnis itu memang sulit ya, apalagi bisnis otentik seperti yang dibangun sama eyang kamu. Aku bisa bayangin sih, jatuh bangunnya waktu mengawali bisnis itu dulu.”
“Iya, nggak mudah.” Patra mengangguk dan seutas senyum bangga tertoreh di wajahnya. “Eyang Bhanuresmi is one of a kind. Nggak banyak yang sanggup memulai bisnis tanpa modal besar dan masih bertahan selama puluhan tahun, apalagi sampai jadi seperti sekarang, dengan gempuran persaingan bakery modern di mana-mana.” Patra lalu mengangkat alis menyadari ucapannya, lalu ia menyeringai. “Hey, no offense!”
“None taken!” Tarra mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar. “Tugasku kan hanya bikin desain bangunan buat bakery Tra, bukan jualan kue.”
Patra tertawa pelan. Ia kembali melirik Tarra yang kini menatapnya dengan pandangan ganjil. “Kenapa?”
Perempuan itu menggeleng sambil menunduk, pipinya merona. “Yuk, mau pergi sekarang?”
“Pakai motor nggak apa-apa?”
Tarra memutar bola matanya. “Aku nggak se-princess itu, Tra. Sini mana helmnya?”
Patra tersenyum, ia menyukai sikap santai Tarra menghadapi dirinya yang seringkali kaku. Setelah menyodorkan helm untuk Tarra kenakan, perempuan itu menyelipkan kacamata hitam yang melindunginya dari silau matahari.
“Nggak jauh, kan?”
Patra menggeleng. “Mau jauh?”
Tarra tergelak, ia memukul pelan lengan Patra.
Taman sari Jogjakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Taman ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dengan gaya arsitektur yang merupakan percampuran desain gaya Jawa dan Portugis.
Patra melirik perempuan semampai di sebelahnya yang sibuk mengintip lewat lensanya, memotreti setiap lekuk bangunan dan cagar budaya yang terhampar, dari gerbang hingga ke pekarangan belakang yang menyatu dengan banguan-bangunan rumah warga. Langkah mereka terhenti di sebuah pemandian, yang merupakan tempat khusus keluarga Sultan beristirahat dan berlindung di sana.
Patra menggulung lengan kemejanya, mengekspos gambar macan kumbang yang tertoreh di tangannya. Sambil menyugar rambut, ia mendengar langkah Tarra terhenti, dan suara shutter terdengar pelan-pelan, klik! Perempuan itu tertangkap sedang tersenyum, mengambil gambar Patra lewat bidikan lensa.
“Hei, kok saya? Setua itu ya, disandingkan sama situs kuno?”
Sambil menahan senyum, perempuan itu menggeleng pelan. “Aku cuma ngambil gambar-gambar yang menarik. Barusan posenya pas.”
Sesuatu menghangat di hati Patra, langkah kakinya memperpendek jaraknya dengan Tarra. “Sini, mau saya fotoin?”
“Mau selfie?” pintanya dengan mata mengerjap penuh harap. “Sini.”
Ragu-ragu, Patra menghampiri. Ia mengambil posisi berdiri dengan kaku, sambil mengernyitkan dahinya berusaha tersenyum, bahu mereka bersentuhan dengan posisi yang canggung.
“Cheez!”
Kejadian tak menyenangkan di perpustakaan tadi menguap tak berbekas, kehadiran Tarra menggantikan kecemasan yang sedari tadi mengusiknya. Dalam langkah bersisian, yang ia dengar hanya lantunan gemerisik daun kering yang bergesekan di atas pohon, tertiup semilir angin yang mendinginkan tengkuknya. Mereka menghentikan langkahnya di sebuah kedai es kelapa muda.
“Kamu masih lama di Jogja?” tanya Patra.
Tarra mengerjap, ia merubah posisi duduknya yang tiba-tiba tak nyaman. Pertanyaan Patra membuatnya terusik, ia memainkan sedotan dengan jemarinya. “Besok masih harus ketemu pemilik bakery. Mungkin baru lusa, pulang ke Bali.”
“Oh....” Patra menutupi kekecewaan yang tergambar jelas di raut wajahnya, dengan mengalihkan pandangan ke arah bocah-bocah yang sedang bermain gundu.
“Kenapa, Tra?” Ia berbisik.
“Besok, jam berapa?”
“Ketemu kliennya?”
Patra mengangguk, tak berani menatap sorot mata Tarra yang kini menelisik mencari jawaban.
“Mungkin sore menuju malam, dia masih di Jakarta hari ini.”