Meninggalkan Jogjakarta, adalah hal terberat untuknya. Meninggalkan orang-orang yang pernah menyelamatkan hidupnya dari keterpurukkan, sekaligus orang-orang yang tak ia sangka sanggup menyakitinya, dan menyembunyikan kebenaran darinya.
Kini, ia kembali ke rumahnya di Jakarta dengan membawa serangkaian memori lama yang hampir saja dilupakannya. Tinggal bersama Hariadi kembali, bebas membicarakan masa lalu yang sedikit demi sedikit membuka celah yang terkuak, membuatnya sadar bahwa ia masih dalam kubangan masalah yang sama. Pertentangan antara Anita dan Ny. Bhanuresmi, adalah bagian dari hantu masa lalu yang terus mengejarnya.
“Makan, Tra.” Hariadi duduk di meja makan dengan makanan lengkap tersaji, ia mengajak Patra yang baru saja turun dari kamarnya di lantai dua.
“Om yang masak?”
“Iya dong!” Laki-laki paruh baya itu menyeringai. “Mumpung lagi ada mood masak, tapi kalau baking dan kue-kue, itu urusanmu, Om nggak akan ganggu.”
Patra tersenyum kecil. Ia mengambil posisi duduk di sebelah ayah tirinya. Rumah itu sepi, sejak ditinggalkan beberapa penghuninya. Patra sudah 5 tahun pergi, Amanda kuliah di Bandung, Anita mengikuti putri bungsunya untuk tinggal di sanggarnya di sana. Sepanjang dua bulan ini, sejak Patra tinggal kembali di rumah mereka, Anita belum pernah sekalipun menemuinya.
Menurut Hariadi, istrinya ingin agar Patra tidak merasa dipaksa untuk kembali ke keluarganya di Jakarta. Anita bermaksud untuk memberikan keleluasaan itu. Namun, Patra memaknainya dengan cara berbeda, ia menganggap Anita terlalu takut untuk berkonflik. Anita selalu mencari sisi nyaman agar tidak terlibat masalah dengan siapapun, begitulah sifat mamanya yang Patra ingat.
“Om Har nggak ke Bandung?”
Hariadi menggeleng, namun ia tampak ragu untuk mengatakan sesuatu.
“Kenapa, Om?” Patra menyelidik raut wajah Hariadi yang kelihatan menutupi sesuatu.
“Mamamu sakit Tra.”
Patra terhenyak, ia menaruh kembali sendok di genggamannya ke dalam piring. Sambil membersihkan mulut dengan serbet di meja, ia tampak terkejut. “Sakit?”
Hariadi mengangguk. “Kanker ovarium.”
Patra menunduk mengamati serbetnya di meja dengan tatapan menerawang. “Saya bisa bantu apa, Om?”
“Tengok dia Tra, dia butuh kehadiran kamu di sisinya.” Hariadi kemudian membisu.
“Di Bandung siapa yang urus?”
“Kami sewa suster di rumah buat bantu mama kamu.” Hariadi membuang napas. “Tapi kamu tau sendirilah mamamu, dia terlalu keras kepala buat minta tolong.”
Patra termenung memandangi piringnya yang masih berisi makanan yang baru separuh ia santap, seleranya sepenuhnya hilang. “Om kapan ke Bandung?”
“Kapanpun kamu siap.” Ia kelihatannya tak ingin menghalangi ataupun membuat putranya ragu.
“Ada yang mau saya urus sebentar di sini. Dan … hmm, Om? Ada beberapa barang yang perlu saya ambil.” Patra kembali termenung, menguatkan dirinya untuk kembali ke sana, ke tempat tinggal lamanya.
“Kunci apartemenmu masih Om pegang, kami mengurusnya selama kamu nggak ada.” Hariadi memandangi wajah Patra, menelisik raut wajah anaknya yang berubah mengeras. “Kamu siap pulang ke sana?”
Ia mengangguk pelan. Ia harus kembali ke sana, ke tempat mimpi buruknya bersemayam.
***
The St Regis, kamarnya di lantai 25 masih dalam kondisi sama, seperti terakhir kali ia meninggalkannya. Masih dingin dan mencekam. Setiap keheningan di tempat ini, membawanya pada memori buruk di masa lampau. Ia pernah menghabiskan masa bahagianya di tempat itu bersama Kayla, mantan kekasihnya, hingga kebahagiaan itu tak bersisa, runtuh berkeping-keping dan menjadi kisah tragis yang memisahkan keduanya.
Rasa sepi yang menghantui, menggerakkan tangannya untuk menghubungi orang yang selama dua bulan ini menjadi pengobatnya dari rasa cemas. Namun, sayang, orang itu telah pergi jauh dan entah kapan bisa ia temui kembali. Jemarinya tergerak untuk mengetikkan pesan di layar ponsel.
- Patra: Hei, apa kabar?
Selama beberapa saat yang menegangkan, ia menunggu orang di seberang sana membalas pesannya. Tiga titik berkedut, namun berhenti cukup lama, hingga pesannya mendapatkan jawaban.
- Tarra: Hei Tra, kabarku baik… kamu apa kabar? Aku kirim pesan, like a million time. Kamu menghilang setelah hari itu. Tra, are you okay?
Patra tersenyum lemah, membaca respon perempuan itu. Sejak dua bulan lalu, ia tak berani mengontak Tarra, meski Hariadi memberi penjelasan yang cukup jelas bahwa Tarra tak pernah ada di dalam gambaran permasalahan Patra dan mamanya. Tetap, Patra merasa enggan untuk mengontaknya, perasaan enggan itu bertahan selama dua bulan lamanya.
Ketika hendak menuliskan pesannya lagi. Ponselnya bergetar… Om Har calling….