Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #18

Ada Dalam Darah

Gemerisik daun kering yang bergesekkan dari pohon bambu, menelan bising langkah manusia yang berlalu lalang. Telinganya terbiasa untuk mengenali bunyi-bunyian instrumen gamelan yang mengiringi aktivitas mamanya. Tetapi kali ini bangunan itu hening, seperti tersihir getir yang tengah diderita sang empunya rumah.

“Sanggar Tari Gayatri” terpampang dalam sebuah papan nama kayu di depan rumah besar bergaya Parahu Kumereb, yang dipadupadankan dengan polesan artdeco. Rumah hunian dengan sanggar tari di dalamnya ini, menyiratkan siapa sosok Anita Nareswari sesungguhnya. Perempuan itu, adalah seniman tari yang selalu berada di antara sentuhan tradisional dan moderen sepanjang hidupnya. Patra tahu, mamanya tak sembarang memilih desain untuk hunian yang memamerkan banyak karya di dalamnya ini.

“Kenapa?” Hariadi memandanginya dengan tatapan ganjil. “Masuk Tra, kok bengong di luar?”

Patra hanya menggeleng dan tersenyum mengagumi karya maestro yang sanggup mewujudkan semua impian mamanya sejak lama itu. “Sanggar ini, sangat Anita Nareswari.”

“I know right!” Hariadi terkekeh. “Kamu belum lihat bagian dalamnya. Yuk, house tour!

Memasuki ruangan yang dibuka oleh sebuah foyer besar, Patra disambut dengan lukisan perang Baratayuda dalam ukuran luar biasa dan berbagai jenis Kujang ditata secara diagonal menempel di dinding. Sudut-sudut ruangan dipenuhi alat musik tradisional yang sudah pasti merupakan koleksi mahal mamanya, yang ia banggakan. Koleksi wayang Punakawan yang dulu sering Patra mainkan, masih menghiasai rak-rak kaca.

Melewati beberapa ruangan yang tampak seperti kantor, akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan besar dipenuhi cermin, inilah sanggar yang menjadi suaka mamanya dalam berkarya.

“Kok sepi, Om?”

“Minggu ini diliburkan, selama Anita sakit. Dia nggak mau ada aktivitas tanpa pengawasannya.”

Patra menyeringai. “Sepertinya nggak ada yang berubah.”

Hariadi memilih untuk tak menanggapi pernyataan Patra. Ia lanjut berjalan menuju tangga. “Di atas kamar Amanda, dan satunya lagi kamarmu.”

Patra mengangkat alis, menatap Hariadi penuh tanda tanya, tetapi tak berani menyuarakannya.

“Iya, kamu punya kamar di sini.” Hariadi tersenyum tipis. “Saya malah yang nggak punya kamar di rumah ini. Mamamu sehari-hari tidur di kantornya. Kalau saya ke Bandung, ya nginep di hotel. Mamamu yang nginep di kamar saya.”

Patra tergelak mendengar pernyataan ayah tirinya, yang menurutnya sangat konyol. Senyum seketika sirna dari wajahnya. “Serius?”

“Iya.”

Patra menghela napas sambil menggeleng. “Something definitely doesn’t change.”

***

Ketukan di pintu kaca membuyarkan lamunannya. Tepat pukul sepuluh siang, jam besuk sudah mulai dibuka. Ia tahu siapa tamunya. Amanda mengambur ke pintu, meninggalkan segelas air putih yang tadi hampir diteguknya habis.

“Ayah…. ” Suara yang tadinya diselaputi buncah rindu lanjut memelan, ia melirik sosok di belakang ayahnya yang berdiri mematung.

“Manda … Apa kabar?” Kakak lelaki satu-satunya, yang entah sejak kapan tak lagi diharapkannya untuk pulang, kini hadir di depan mata. Menusuk matanya dengan pemandangan ganjil, ia kini tampak lebih kurus dan … sederhana.

“Kak….” bisiknya seperti habis menelan pasir. Kerongkongannya kering, sesuatu di dada mendorongnya untuk beringsut menggapai tubuh tinggi kokoh itu.

Patra meraih tubuh mungil Amanda, memeluknya hingga ia nyaris terangkat dari lantai. Dari dulu, tubuh tinggi menjulang itu selalu bisa membuat kekerashatiannya meleleh. Namun tak ayal, Amanda tetap melayangkan tinju ke bahunya.

“Aw!! Buat apa itu?”

“Yang itu buat ninggalin aku!” Ia kembali melemparkan tinju ke bahunya satu lagi. “Yang ini buat bikin Mama sedih!”

Patra mempererat pelukannya. “Huss… hus… maafin saya Manda, maafin Kakak.”

Tak bisa membendung rasa rindu sekaligus kemarahannya, Amanda terisak di dada Patra. “Aku kangen tauk! Kenapa nggak tanya kabarku? Kenapa nggak nyari aku?”

“Hei, hei … stop it! Semuanya rumit, Kakak nggak bisa jelasin semuanya sekaligus sekarang. Maafin ya…. ”

Amanda memberengut, ia tak lagi berusaha memberontak dari cekalan kakaknya. Matanya mengerjap, pandangannya mengabur. Di dalam lubuk hatinya ia tahu, kakaknya tak pernah memilih untuk menjauhinya, ia juga tahu keadaan yang membuat kakaknya terpuruk dan memilih untuk menjauh dari rasa sakit yang harus dideritanya. Rasa sayangnya terlampau besar untuk membiarkan amarahnya mengaburkan penilaiannya terhadap Patra.

Lihat selengkapnya