Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #19

Salam dari Masa Lalu

Sinar mentari membakar jernih biru langit dengan sempurna, menggantikannya dengan pesona lembayung menuju senja. Di sebuah co-working space mewah pusat kota Jakarta, Tarra berjengit memandangi isi pesan di kotak emailnya, kontrak kerjasama Spencer & Berg dan seorang rekanan klien. Sore ini, ia tengah menghadapi kelit licin mereka yang melanggar perjanjian kerjasama itu. Klien Adeline Berg yang satu ini, melakukan hal yang membuat petinggi-petinggi di kantornya murka.

You know what? We’re going to call our company's lawyers and file a lawsuit against you,” sergah Tarra dengan mata berkilat.

“Your boss accuses us, by selling the building plans to other people. Is that correct?”

“Did you know? There is a legal protection in the practice of buying and selling designs. Did you ever read the contracts?”

Sebetulnya Adeline berharap, dengan mengirim Tarra ke Jakarta untuk menghadapi klien bandel ini, adalah untuk bernegosiasi dengan cara damai. Karena ia tak bisa melakukannya, mengingat dirinya lebih emosional dibanding Tarra.

Tarra teringat pesan Andrew, untuk menghadapi klien seperti ini harus dengan gertakan dan kepala dingin, dan tak melibatkan emosi. Namun cara bicara mereka yang sepertinya menyepelekan profesionalitas perusahaan, lambat laun membakar habis kesabarannya.

“We see no cheating here. They’re also part of our company, so they can keep the draft and use it for they interest.” Laki-laki dengan kumis tipis dan pakaian rapi itu tak bergerak sedikitpun.

Tanpa diketahui oleh klien ini, Tarra merekam setiap pembicaraan mereka dengan ponselnya. Setiap kalimat yang diutarakan, akan digunakan sebagai bukti konkret untuk diserahkan pada atasan dan pengacara perusahaannya.

“Oh, come on Sir, I assume it’s a business interest. We have already warned you about this, so you should prepared to be contacted by our lawyers.”

Akhirnya Tarra beranjak dengan menggarisbawahi pernyataan tegasnya, tentang kode etik jual beli rancangan bangunan, mengingat segala sesuatunya telah dijelaskan dalam klausul kerjasama mereka.

Selepas sore yang melelahkan, ia kembali ke hotel tempatnya menginap. Sebuah hotel dengan konsep bohemian yang menjual kopi enak, di daerah Kuningan. Ia biasa menginap di sini jika ada keperluan yang harus dibereskannya di Jakarta.

Satria: Hey there…  

- Tarra : Hai! Lagi santai?

Satria : Hmm… Udah beres urusan Adeline Berg versus klien bandelnya?

Tarra : Ini momen di mana sebuah pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Yes, udah beres. Ngopi, yuk!

Satria : Hahaha… 30 menit saya jemput, ya! Masih nginep di tempat kemaren, kan?

Tarra : I’m not moving anywhere, Sat.

Satria : Ok then… see you.

Tarra : Ok.

Sejak keberangkatan dari Bali, Satria selalu mengecek keadaannya. Apalagi setelah ia menceritakan semua masalah pribadinya, tentang kedekatannya dengan Patra dan isu ghosting yang dilakukan lelaki dari Jogja itu. Satria membantunya melalui kegamangan, tanpa perlu merasa di-judge. Meski awalnya Tarra merasa risih oleh perhatian yang berlebihan, tetapi Tarra tahu, Satria hanya mencoba untuk berbuat baik padanya.

***

Ruangannya sepi, tetapi komputernya masih menyala. Satria tahu di mana ia bisa menemukan temannya yang satu itu, di mana lagi kalau bukan di lantai 4, Information and Security System Departement. Ia menggeleng sambil tersenyum sendiri, mengetik pesan singkat. 

- Satria : Di mana, lu?

Lama pesannya tak mendapatkan jawaban. Ia bergegas menuju lantai 4, menuju sayap utara, tepatnya menuju meja Security Analyst, tempat Zaina berada.

“Hei! Pacaran mulu!” Satria menggelegarkan ruangan sepi dengan suara nyaringnya.

“Apa sih, Sat? Orang lagi ngomongin gedung juga.” Zaina memberengut, ia bersandar di lengan tunangannya, yang hanya menyeringai tak acuh.

“Resepsinya di Jakarta, kan?”

“Aku sih pengennya di Jakarta, biar mempermudah kolega dan teman-teman. Tapi ini nih… Bodhi kepengen acaranya dibikin di Bandung. Malah pengennya, bikin resepsi di aula sekolah kita,” decak Zaina.

“What?!” Satria terbelalak, tawanya memecah seisi ruangan yang tadinya sunyi.

“Tuh, kan Bod! Aku bilang juga apa? Idenya konyol! ”

Bodhi makin tersenyum lebar, sambil menggeleng. “Nggak konyol, Sayang, lebih ke monumental.”

Lihat selengkapnya