Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #21

Bhanuresmi Maharani

Yogyakarta. Februari, 1998.

Krisis moneter tak hanya menyerang kondisi keuangan dalam negeri, tetapi juga menggempur segmen perekonomian global. Gelombang krisis ekonomi mulai terasa hingga ke seluruh pelosok negeri, sampai ke Jawa bagian Tengah. Yogyakarta, termasuk yang mendapatkan imbasnya. Toko-toko yang tadinya dipenuhi pelanggan, mengalami penurunan drastis, bahkan tak banyak yang terpaksa gulung tikar.

Toko kue tradisional di wilayah tengah kota Yogya itu, ikut tergerus masalah ekonomi –makro dan mikro. Bhanuresmi Maharani, seorang perempuan pengusaha bertangan besi, yang mewarisi toko kue tradisional dari kedua orang tuanya, harus memutar otak agar tokonya tetap bisa berdiri menghadapi gelombang kenaikan bahan baku yang tak bisa dicegah, dan penurunan jumlah konsumen.  Ia tahu, tak mudah membesarkan toko hanya dengan modal pas-pasan dan sekadar kemauan keras, akhirnya meski dalam kondisi jatuh bangun, toko tetap sanggup bertahan dengan pengurangan jumlah pegawai besar-besaran.

Tinggal dua orang yang sanggup bertahan tanpa dibayar tepat waktu olehnya, Marni dan Suwito. Dua sosok setia di belakang meja produksi Toko Kue itu. Toko yang dulunya dibuat tanpa nama, kini menyematkan namanya sendiri menjadi merk dagang yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta. Bersama Ambar, sang putri, Bhanuresmi sanggup mengarungi gejolak krisis yang mendera dari segala penjuru, untuk bertahan hidup.

Namun, masalah tak hanya berhenti menyerang sendi ekonomi. Lambat laun, masalah mental yang dihadapi Bagas si sulung pun, semakin menjadi-jadi. Sejak ditinggalkan anak dan istrinya, Bagas muda tak lagi menjadi sosok yang sama. Binar yang tadinya menghiasi bola mata lelaki muda itu, perlahahan surut berganti sorot kelam keputusasaan.

Kanvas-kanvas kosong, yang biasanya menjadi sarana pergumulan hasrat hidupnya, sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Tak ada lagi, keinginan untuk melanjutkan sisa perjalanan hidupnya sebagai seniman. Bagas seolah hanya hidup untuk menyesali diri.

“Kenapa kamu ndak mau Ibu suruh ke kamar Bagas, Bar?”

Ambar hanya diam memandangi baskom adonannya, tak berselera untuk menjawab.

Bungkamnya Ambar, adalah pertanda adanya pertentangan di rumah ini. Begitu ia menyimpulkan setiap sikap yang ditunjukkan anak-anaknya belakangan. “Ada apa ini? Semua menentang ucapan Ibu?”

Mata Ambar berkilat. Ada kemarahan yang ia sembunyikan, semua tampak jelas, ia tampak menentang sikap semena-mena ibunya. “Ia cuma anak kecil, Bu.”

“Patra maksudmu? Aku ndak pernah menyuruh Anita membawa anak itu pergi dari sisi papanya.”

“Bu....” Ambar lalu mengatupkan mulutnya, tak berani meneruskan.

Bhanuresmi tak perlu banyak bicara, ia hanya melayangkan sikap sinis untuk menunjukkan kekuasaannya di rumah ini. Baik Bagas, Ambar, apalagi Anita, sikap menentang terhadap perempuan keras hati itu amatlah percuma. Dibutuhkan lebih dari krisis ekonomi untuk memugar jalan pikirannya.

***

“Ibu, mau tak buatkan wedang jahe?” Marni menggeser silanya di lantai dingin, kediaman majikannya. Ia memandangi Bhanuresmi yang sedang memijat pelipis, dan alis mengerut.

Bhanuresmi menggeleng, lantas menyodorkan selembar kertas.   

Menopo, Bu?”

“Belanja untuk esok, Mar. Ini untuk kamu,” ucapnya sambil menyodorkan beberapa lembar rupiah.

Kathah sekali ini, Bu. Untuk saya?” Marni mengerjap, tampak tak percaya. “Untuk toko, kadhospundhi?”

Bhanuresmi mengibaskan tangannya. “Ndak usah pikirkan untuk toko. Aku, Mar, yang minta maaf karo kowe. Sudah lama, kamu ndak dibayar.”

Marni meringis, ia menggaruk puncak kepalanya yang penuh dengan rambut mencuat tak rapi. “Ndak apa-apa, kok, Bu. Wong, zamannya lagi begini. Saya paham.” Ia menunduk, tak berani memandangi wajah majikannya yang ayu.

“Sudah kewajibanku.” Perempuan setengah baya itu membuang napas perlahan. “Mar....”

“Ya, Bu?”

Dengan hati-hati Bhanuresmi, mendekatkan tubuhnya ke arah Marni. “Kamu tahu apa yang terjadi dengan anakku, Mar?”

“Mas Bagas, Bu?” Wajah Marni lantas berubah sendu. Ia menggeleng pelan. “Mas Bagas, masih diam di padepokan, Bu. Ndak pernah keluar.”

“Melukis?”

Lihat selengkapnya