Ia menelusuri akun yang kelihatannya sudah lama ditinggalkan, tak ada lagi foto terbaru. Tak ada lagi kabar hangat yang membuatnya berhenti penasaran. Semua seolah buta, tak ada lagi cerita yang bisa menjawab pertanyaannya. Deretan foto yang hanya beberapa itu, merupakan postingan lama –yang sudah berkali-kali dilihatnya. Termasuk foto-foto tim basket Pantera United yang berbaris bangga, dengan trophy dalam genggaman lelaki tampan itu. Senyumnya kini tak lagi sama, tak ada semringah itu lagi.
Aku harusnya sudah tidak memikirkan dia, aku harusnya sudah bisa melangkah, batin Tarra mulai melawan. Namun, telunjuknya tetap membuka satu demi satu laman gawai pintarnya, mengkhianati kata batin yang inginnya lupa saja. Tiba-tiba, tak sengaja ia memijit halaman yang menghubungkannya ke sebuah akun, foto Patra dengan seorang perempuan muda. Tak mungkin itu pacarnya, apa mungkin ini adiknya?
Amanda Gayatri
College Girl—Bakmi Lovers—Movie Freak
Seolah jemarinya tahu, kemana saja ia harus menelusuri jejak sang lelaki misterius, yang berbulan-bulan ini menghantui mimpi malamnya. Tarra terbeliak ketika matanya menemukan sebuah pusara, di mana keduanya sedang terduduk dengan jemari saling menggenggam, tubuh lelaki itu tampak lunglai. Nisan bertuliskan: Banyuresmi Maharani, membingkai kesedihan mereka.
“Eyang….” Suara Tarra nyaris tak terdengar. Jantungnya berdegup kencang. Sekelebat ingatannya terbang ke ketinggian 38.000 kaki dari Bali menuju Yogyakarta, tempat ia pertama kali bersua dengan perempuan memesona itu.
***
- Tarra: Aku harus berangkat hari ini juga
- Satria: Tapi, kamu nggak bisa sendiri. Aku temani, ya?
- Tarra: Hey, don’t worry about me. Kamu kerjain project kita aja, Sat! Aku akan baik-baik aja.
- Satria: Are you sure?
- Tarra: Definetely (emot senyum)
- Satria: Gimme a call, please!
- Tarra: Iya … iya (emot senyum)
Ada degup asing yang membuatnya merasa bimbang. Rasa bersalahkah?
Ia berjalan menyusuri koridor terminal 1 Bandara Soekarno Hatta dengan langkah gontai. Sol sneakers-nya nyaris tak berbunyi, hanya desah napas tak beraturan yang terdengar sedang mengisi ruangan yang lengang. Tarra tak mau ketinggalan pesawat. Beberapa gerai penjual makanan sudah menutup tokonya, tinggal tersisa kedai kopi dan kursi-kursi berderet tanpa penghuni.
Meski ini adalah jam terakhir penerbangan menuju Yogyakarta, Jakarta bukanlah kota yang mudah untuk dilalui dengan kendaraan roda empat. Sepanjang perjalanan menuju bandara, Tarra tak ada habisnya merutuki kemacetan yang mengiringinya hingga pintu masuk.
“Mbak, di kelas bisnis?” Perempuan jangkung dengan gelung rapi, dan maskara yang membingkai bola mata indahnya, memeriksa tiket keberangkatan milik Tarra. Ia berusaha tersenyum, meski Tarra tak menunjukkan ekspresi ramah.
“Perjalanan bisnis, ya?” Pramugari itu kembali menyunggingkan senyumnya. Dibalasnya dengan anggukan lemah.
“Silahkan, pintu di depan belok ke kanan. Sepuluh menit lagi pesawatnya akan berangkat”
“Terima kasih,” ucap Tarra parau. Jemarinya gemetaran memijit tombol merah pada gawainya. Ia kembali teringat wajah ayu perempuan itu. Meski hanya sempat mengenalnya beberapa waktu, bagi Tarra, Ny. Bhanuresmi memiliki kedekatan yang cukup berarti di hatinya. Perempuan bersahaja itu tak perlu bicara banyak padanya, saat ia memberi unjuk kalau Patra adalah orang yang istimewa untuk dia.