Gula yang membeku, seolah membandel tak mau lumer. Cairan pekat dan wangi biji Sindoro tak lagi memiliki semerbak yang sama. Ia merindunya, ia rindu bunyi gelas kaleng berkelontangan karena jemari eyangnya belakangan sering gemetar. Tak ada lagi celoteh bantah-bantahan, yang diakhiri tawa eyangnya yang renyah. Atau bagaimana bandelnya perempuan itu, saat ia menolak menghabiskan makan malamnya. Patra teramat merindukan sosok itu hadir kembali, mengobati penyesalannya yang begitu dalam.
Di sebelah kiri, persis di tepi lemari berisi bahan-bahan kue, eyang putri biasa menyimpan satu stoples wajik rasa wijen. Stoples warna coklat, dengan ulir dari tembaga berbentuk bunga anggrek —bunga favoritnya— itu berisi bungkusan kecil warna-warni. Patra meraih satu, meremasnya hingga menimbulkan suara gemerisik. Dulu, eyang putri selalu mengepal wajiknya membentuk bola, meremasnya gemas sampai suara berisik plastik terdengar mengganggu, lalu membuka dan mengigitinya perlahan. Kesukaan Bagas, ucapnya sambil mengunyah. Menurut perempuan itu, wajik yang sudah jelek bentuknya rasanya kok malah lebih manis.
Kini, Patra malah terkekeh mengingat ucapanya yang tak masuk akal. Eyang memang paling tahu bagaimana mengubah rindu menjadi tawa.
“Kak—”
Patra menoleh, mendapati Amanda tengah mengamatinya. Pantas, dari tadi ia merasa ada yang berdiri gelisah di celah pintu, wajah gadis itu terlihat khawatir.
“Mama masih di sini?”
“Mama masih membujuk Tante Ambar, agar keluar kamar.” Amanda melangkahkan kaki mendekati kakaknya.
“Ia masih mengurung diri?”
Amanda menutup pintu kamar perlahan, ia memilih duduk di kursi kecil, di hadapan Patra. “Sama sepertimu.”
Ia mengembuskan napas pelan, sambil menelungkupkan kepalanya, menyenderkan dahinya di lengannya yang kokoh. Jantungnya berdegup tak beraturan. Patra berada di titik paling rapuh dalam hidupnya. “Kangen eyang putri.”
“Aku tahu, Kak. Meskipun baru sekali aku ketemu dengan Eyang Bhanuresmi, pasti menyenangkan rasanya disayangi orang sebaik itu.”
Patra mengangguk, hatinya menghangat. Amanda mengucapkan kalimat yang tepat. “Saya nggak peduli, dengan masa lalu yang membelit sejarah keluarga kita. Papa dan Eyang layak untuk tenang dalam kuburnya.”
“Andai—” Amanda membuang napas berat. “Harusnya Kak Patra bicara banyak sama Mama. Kasian Tante Ambar, jangan sampai kedatangan kita ke sini, malah mengganggu ia yang sedang berduka.”
“Ya, Tante Ambar berusaha menyelamatkan banyak hal. Saya baru tahu semua ceritanya, dari ayahmu, Manda.”
“Hmm—ayahmu juga.”
Patra terkekeh. “Cukup Om Har saja, biar tampak lebih muda.”
Amanda tak membalas. Ia menoleh ke arah pintu.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk pelan, bunyinya membuat Patra terperanjat kaget. Seseorang di belakang pintu menyeret langkah ragu-ragu. Entah kenapa, hatinya tiba-tiba mencelos. Ada debar tak menentu yang seolah membuat tanda bahaya dalam dirinya menyala.
“Tra….” Ketukan pelan kembali terdengar. “Ini aku.”
***
Mendapatinya kembali, setelah sekian lama tak bertemu membuatnya gelagapan. Perempuan itu kini hadir di depan matanya lagi. Seperti mimpi, kini ia duduk di sisi tempat tidurnya, sambil mengamati wajah Patra dengan mimik khawatir. Dagu lancip, dan lesung pipi di ujung bibir itu tetap memesona, tetapi pakaiannya tampak berantakan. Bayangan di bawah kelopak matanya menandakan ia habis menangis, bening bola matanya diselaputi air. Patra tahu, untuk siapa air mata itu jatuh.
“Aku … aku mohon maaf karena baru bisa ke sini.”
Patra tak menjawab, ia masih membisu dan memandangi lantai kayu di antara kedua kakinya. Sambil meremas lutut, ia menggumam. “Tahu dari mana, Tar?”
Perempuan itu hanya diam, menatapnya cukup lama. Ada belas kasih di sorot matanya yang sendu.
“Aku minta maaf, untuk pertemuan kita terakhir kali itu, Tar,” ucap Patra terbata-bata. “Harusnya, aku nggak usah menemui kamu.”
Tarra hanya mengusap pipinya dengan jemari. “Let’s not talk about that, Tra. Aku ke sini bukan untuk membuat kita saling menyalahkan. Aku ke sini karena menyesal, nggak menemui Bu Bhanuresmi lebih awal.” Ia menghela napas. “Sungguh, aku menyesal.”
Patra mengayunkan tangannya. “Please—”
Tarra meringis. “Aku tahu, kamu sedang kesakitan saat ini. Aku minta maaf—”