Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #24

Menjumput Remah Masa Lalu

Yogyakarta, 2006.

Ia selalu merasa bahagia jika libur tiba. Ayah dan ibu mungkin tak tahu, kalau berlibur seperti ini baik bagi dia dan Rayyan, adiknya. Tak ada cekcok, tak ada ribut-ribut soal kenapa ayahnya jarang pulang. Mereka hanya berkumpul, menikmati liburan, dan berbahagia seperti keluarga lain.

“Harusnya kita sering begini, Mas. Anak-anak butuh itu,” ucap Ibu dari kursi penumpang di depan.

Ayah hanya mendengkus, dan mengayun tangan kirinya ke belakang.

“Lho, hati-hati kalau nyetir. Mas mau ngapain?”

“Ngecek putriku di belakang. Kamu tidur, Tar?”

Tarra yang sedang asyik mengamati Benteng Baluwerti dari kaca jendelanya, tak menjawab, ia hanya menggumam. Dan menepuk telapak tangan ayahnya, sebagai gantinya sahutan.

“Aku laper, Bu.” Si kecil Rayyan mulai merengek, karena jatah makan yang seharusnya diberikan padanya, sudah terlambat beberapa jam.

“Kamu gimana sih, Bu. Bukannya Rayyan harus segera minum obat?” Ayah mulai mengomel. Pembicaraan begini yang biasanya Tarra hindari. Karena pada akhirnya akan berujung ke tangisan Ibu, dan bagaimana ia akan mengungkit kedekatan Ayah dengan beberapa teman kerjanya di kantor —perempuan.

“Yah….”

“Ya, Sayang?”

“Aku boleh turun dan ambil foto?” Ia memohon, sambil mengalungkan kamera analog pemberian ayahnya.

“Tentu, Nak. Tapi setelah adikmu makan, ya?” Ayah menepikan mobilnya. “Rayyan, kamu mau ayah suapi makan?”

Seringai di bibir mungil Rayyan menunjukkan kalau ia suka dengan tawaran Ayah. Hanya Ibu yang masih memberengut, dan memainkan ujung scarf hijau mudanya –scarf yang dibelikan ayah di hari ulang tahunnya bulan lalu. Tentu saja Rayyan suka, meski masih balita, adiknya ini tahu betapa ayah selalu memanjakan mereka berdua.

“Kenapa suka Baluwerti, Tar?”

Tarra tersenyum, ia mengayunkan jemari mungilnya ke arah plengkung besar yang menjadi ciri khas benteng itu. “Aku suka pintu itu.”

“Kamu tahu, kalau dulu benteng ini pernah diserang tantara Inggris?”

Ia menggeleng keras dengan antusiasnya, kepang rambut panjangnya berayun-ayun, berharap ayah akan menceritakan kisah Benteng Baluwerti seperti kisah-kisah lain yang ia ceritakan sepanjang perjalanan mereka kali ini.

“Tentara Inggris yang pernah menguasai wilayah Yogyakarta, pernah menyerang benteng ini, untuk menculik Sultan Hamengkubuwono II, peristiwa itu dikenal dengan sebutan Geger Sepoy,” kisahnya. “Kamu pernah dengar?”

Tarra kembali menggeleng. “Aku tahu kalau tantara Inggris pernah datang ke Yogyakarta, Yah. Tapi nggak tahu kisahnya.”

Mereka berjalan beriringan, sambil mengitari area yang melindungi bangunan inti keraton.

“Baluwerti ini dibangun untuk menghalangi serangan Daendels saat itu.”

“Daendels juga menguasai tanah Pasundan kan, Yah?”

Ayah mengangguk dan tersenyum lebar. “Kamu benar-benar mendengarkan cerita Ayah, waktu kita ke Bandung, ya?”

Tarra membalas senyumannya dengan anggukan semangat. “Aku suka bangunan. Aku juga suka sejarah.”

“Suatu hari nanti, kamu mungkin bisa jadi ahli sejarah, Nak.” Ayah lalu diam, sambil mengamati mobil mereka di kejauhan. “Suatu hari nanti, kamu akan paham dengan apa yang Ayah lakukan saat ini.”

Tarra mengerjap, ia tak dapat mengikuti ucapan ayahnya, karena bangunan sekitaran Keraton Yogyakarta lebih menarik perhatiannya. Tiba-tiba, ayahnya meraih bahu Tarra.

“Ayah senang kamu menikmati perjalanan kita kali ini.” Lelaki yang amat diseganinya itu menghentikan langkah, dan memutar bahu Tarra.

Ia beringsut, perasaannya mulai tak enak. Sepanjang ia tahu, ayahnya bersikap seperti ini ketika akan bicara hal yang serius dan tak mengenakkan. Sebelum ia menjatuhkan bomnya, ayah menarik napas panjang.

“Tar—”

“Aku mau ke mobil lagi, Yah.” Tarra berusaha menghindar dan melangkah mundur. Cairan bening di pelupuk matanya hampir jatuh, Tarra tahu apa yang ayahnya hendak ucapkan.

“Ayah ingin peluk kamu.”

Ia diam dan menunduk, ujung sepatunya memainkan kerikil. Tak berani menatap ayahnya, air matanya pun mulai jatuh. “Ayah mau pergi, ya?”

Ayah hanya menggumam. “Ayah mengajak kalian semua kemari, ingin kasih kabar.”

Keduanya terdiam. Dari jauh, Ibu terlihat memperhatikan dari jendela yang terbuka setengahnya. Ia sedang mengusap pipi, dengan scarf hijau mudanya.

“Kamu mau punya adik, Tar.”

“Ra-Rayyan?” Bola mata indah Tarra kembali mengerjap.

“Bukan Rayyan, Nak.”

Bahu Tarra melorot, tiba-tiba jantungnya bertalu-talu. “Ibu hamil, Yah?”

Bom itu akhirnya dijatuhkan ayahnya juga. Ia menggeleng. “Bukan ibumu yang hamil.”

Lelaki bertubuh tegap itu, merangkul bahunya dan mengelus rambut Tarra yang halus. “Suatu hari, kamu akan paham.”

Tarra menggeleng, tak berucap apa-apa. Lantas bergegas lari meninggalkan ayah yang memanggilnya keras-keras. Kakinya tak berhenti berlari, dengan kamera mungil yang masih menggantung di leher, Tarra berlari tanpa jeda. Ia mengitari benteng istana, dengan kesedihan yang memenuhi dada. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Tarra patah hati.

***

Yogyakarta. Hari ini.

Lihat selengkapnya