Bunyi debum keras, langit-langit mobil yang merengsek menghimpit kepala dan tubuhnya, menyadarkannya bahwa kondisi mobil yang menghantam beton pembatas jalan dengan kencang itu kini terbalik. Panas uap di sekitar mereka, membuat kelopak matanya terbuka lebar, cairan lengket menutupi pandangan kaburnya. Mereka? Ya, ia tak sendiri. Ada seseorang yang mengerang di sisinya, kakinya terjepit di antara kursi dan kap mobil yang ringsek. Kayla!! Semua lantas mengabur, hingga kesadaran dirinya memudar.
Patra terbangun dengan peluh di sekujur tubuh, napasnya terengah-engah. Sudah berbulan-bulan sejak ia terakhir kali bermimpi buruk. Kini, hantu menyeramkan yang dulu datang setiap malam itu datang lagi. Bersama kepak lelawa di antara pohon bambu yang daunnya bergesekkan, Patra kembali terjaga. Mengingat kejadian di masa lalu yang nyaris berusaha ia lupakan, tetapi ternyata ingatan itu hanya tertidur sebentar, hingga ia kembali datang merongrongnya.
Patra beringsut, berjalan menapaki koridor menuju dapur mungil Sanggar Tari Gayatri. Tak ada bunyi lain selain desir angin di halaman. Ia terkejut dan nyaris menghantam daun pintu, ketika melihat sesosok lelaki tengah duduk sambil menikmati secangkir minuman dalam genggamannya. Hariadi lantas tersenyum melihat Patra.
“Om Har?”
“Saya baru aja dateng. Pintu pagar nggak kamu gembok, jadi saya langsung masuk, nggak pakai telpon dulu.” Hariadi menunjuk ke arah studio tari.”Kok, tidur di sofa? Kamarmu kenapa?”
Patra menggaruk kepalanya, tiba-tiba ia gugup. “Mm … ada teman ikut menginap di sini.”
Hariadi menyeringai. “Tarra maksudnya?”
“Kok, Om tau?” Patra memosisikan duduk di hadapan Hariadi, sambil memainkan alat makan di meja untuk mengusir kegugupannya. “Amanda yang cerita?”
Lelaki beruban itu mengangguk, kemudian terkekeh. “Adikmu cuma cerita soal kedatanganmu ke Bandung,” ucapnya. “Sama Tarra.” Ia mengedikkan dagunya ke arah kamar Patra di lantai atas.
“Saya menemani Tarra menghadiri acara pernikahan temannya, Om.” Patra menjelaskan.
Ia Kembali tersenyum penuh arti. “Manda juga meminta Om buat merahasiakan ini dari mamamu.”
Patra mendesah, membuang napasnya dengan berat. “Mama pasti nggak suka, Tarra mampir ke sini. Mama masih tinggal di rumah Eyang?”
“Mamamu membantu Ambar membereskan banyak hal, Tra.” Mendung sekelebat membayangi wajah Hariadi. “Ambar terguncang. Kematian eyangmu, membuat ia menyesali banyak hal.”
“Saya paham yang Tante Ambar rasakan.”
“Kematian eyangmu membuat mamamu dan Ambar kembali dekat, mereka mencoba menyelesaikan berbagai kerumitan yang terjadi sejak almarhum papamu nggak ada.” Suara Hariadi memelan, ia memperhatikan wajah Patra. “Sesuatu yang seharusnya diceritakan mamamu langsung ke kamu.”
“Saya nggak yakin, sanggup mendengar kisah Papa, Om.” Tatapan Patra menerawang, ia lantas menggeleng. “Papa sakit sejak lama. Saat Mama meninggalkannya, saya tahu Papa sudah dalam kondisi terpuruk dan putus asa. Kepergian saya dan Mama, membuat ia makin menderita.”
“Kamu nggak tahu hal itu, Tra.” Hariadi menyilangkan tangannya di dada. “Jangan terlampau keras pada dirimu sendiri … dan mamamu.” Ia menghela napas. “Ingat, usia mamamu baru dua puluh satu tahun saat itu.”
“Eyang sudah mencegah kami pergi. Eyang bahkan bilang sama mama, kalau papa sakit dan butuh kehadiran kami berdua.” Suaranya bergetar. “Tapi mama tetap memutuskan pergi.”
Hariadi hanya diam mendengarkan.