Kebaya putih dengan payet sederhana tersebar di leher, berbaris cantik melingkar hingga pinggangnya, tak sedikitpun bisa menyaingi kemilau di wajah Zaina pagi ini. Tarra menghampirinya yang sedang bersiap.
“Hei, Na.”
Perempuan mungil itu menoleh, bola matanya melembab. Ia masih memegangi kertas tisu ketika Tarra memergokinya terisak. Ia kemudian meremas bahu Zaina. “I know, Na.”
“Aku ingat Ayah.” Suaranya gemetar. Tarra tak tega melihat pengantin secantik Zaina bersedih di hari pernikahannya.
“Ayahmu tentu bahagia melihat hari kebahagiaanmu hari ini, Na.” Tarra duduk persis di sebelahnya yang masih dikelilingi oleh beberapa perias. “Bodhi lelaki baik, Na. Dan ia begitu memujamu. Ayahmu pasti amat merestui.”
Zaina mengangguk-angguk dengan tegas. “Iya, aku tahu. He’s the best. Ayah menyayanginya, seperti menyayangi aku.”
Tarra tersenyum menyepakati. “Jangan menangis. Sayang, wajahmu udah secantik ini. Jangan biarkan Bodhi melihat kesedihan di mata kamu, ya.”
Zaina terkekeh, sambil menarik napas panjang. “Tar—”
“Ya?”
“Can I hug you?”
“Offcourse you can, silly.” Tarra tersenyum lebar. “Sini, pengantin cantik.”
Mereka berpelukan lama, dengan diawasi oleh beberapa perias yang tak rela kebaya Zaina kembali kusut, atau make-up di wajah mengkilat itu luntur.
“Meski hubungan kita nggak pernah sedekat aku dan Debby. Tapi aku yakin kamu orang baik, Tar. Bodhi nggak pernah salah memilih orang yang pernah dekat dengannya,” bisik Zaina.
“Seperti dia memilih untuk menghabiskan masa depannya bareng kamu, Na.”
Zaina mengangguk pelan. “Thank you for being here. Ini berarti buat aku dan Bodhi.”
“Aku merasa tersanjung kok, Na. Kalian berdua udah aku anggap kerabat dekat.”
Sesuatu berubah di wajah Zaina, ia tampak terharu. Sambil meremas telapak tangan Tarra, Zaina kembali berbisik. “Jadi, bukan Satria ya?”
Seseorang berdeham di belakang Tarra. Suara bariton yang ia kenal, belakangan suara itu tak lagi sering mengeceknya seperti dulu.
“Duh, jangan masuk sini dong, Sat!” Zaina bersungut-sungut. “Kualat nanti.”
Lelaki yang dimaksud malah terbahak, kemudian ia membersihkan tenggorokannya dan menatap takjub Tarra dari ujung rambut hingga ujung high heels-nya yang berkilau. “Wow.”
Tarra hanya membalasnya dengan senyum ramah. “Hai, Sat. How are you?”
Satria hanya mengayunkan tangannya lebar-lebar, mengancingkan jasnya yang rapi dan licin. “So, kita akan jadi pasangan pagi ini?”
Tarra mengangkat alis tinggi-tinggi, ia salut dengan keberanian lelaki di depannya. “So, beres juga akhirnya proyek cagar budaya kita.”
Satria mengangguk dan tersenyum sungkan. “Beda kalau bukan kamu yang ikut mengerjakan proyek ini, Tar.”
“Apa bedanya?” Tarra menyeringai. “Aku kira Adeline adalah orang yang cukup ditakuti oleh studio manapun.”
Satria menggaruk kepalanya, lantas kembali menyugar rambutnya agar terlihat rapi. Beberapa asisten perias tampak melirik lelaki yang selalu saja mencuri perhatian satu ruangan itu.
“Na, aku pamit ke ruang tunggu ya. You look incredibely beautiful,” ucap Tarra sambil meremas bahu Zaina yang kembali duduk, sambil diolesi puff bedak di pipinya.
“Kalian berdua juga amazing sekali,” puji Zaina.
Sambil melangkah keluar diiringi oleh suara ketukan sepatu kulit mengkilat milik Satria, Tarra berjalan pelan. “Mm … Sat, ada yang pengen kukenalin.”
Raut wajah Satria tiba-tiba berubah. Satria yang Tarra kenal selalu menyenangkan dan ceria, menyimpan sesuatu yang tak ramah. Tarra memanggil seseorang. “Tra, kenalkan ini Satria.”
Patra yang sedang duduk sambil memainkan gawai di tangannya, mendongak dan tersenyum hati-hati. “Patra.”
“Satria.”
Kedua tangan lelaki itu bersalaman cukup erat, tatapan mereka menajam meski senyum tak meninggalkan bibir keduanya. Tarra berdeham hingga, salah satu melepas jabatan eratnya.
Tinggi Patra yang lebih menjulang dibanding Satria, tak membuat lelaki perlente penuh rasa percaya diri itu gentar. Tarra melihat ada aroma persaingan menguar di antara keduanya.
“Tra, aku siap-siap dulu untuk dampingi Zaina ya,” bisik Tarra di dekatnya.
Patra hanya mengangguk.
Tarra tahu, Patra masih mengekori langkahnya yang berjalan bersisian dengan Satria. Ia merasa canggung.
“So, is he your heartbreak man?”
Tarra memutar bola matanya. “Please, Sat.”