Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #27

Perempuan Sendu

Patra tak pernah membayangkan sebelumnya, ia akan memiliki kedekatan dengan perempuan yang diam-diam didambakannya sejak pertama kali bertemu itu. Banyak hal menjadi rintangan baginya, ketika mendekati Tarra, salah satunya adalah mengendalikan keinginan untuk memiliki. Dulu, eyang putri mengajarkannya mengejar sesuatu yang patut diperjuangkan, termasuk ketika Eyang Bhanuresmi turut menyemangatinya, untuk memenangkan hati perempuan yang diam-diam dicintainya itu.

Di tangan renta sang eyang, semua hal berjalan sesuai porosnya: bisnis dan kondisi keuangan toko, nama baik yang dibangun keluarga di Jogja, serta usaha untuk melupakan masa lalu. Namun, meski eyang putri berhasil mewujudkan apa yang ia cita-citakan, perempuan tua itu juga sekaligus kehilangan banyak hal dalam kehidupan pribadinya. Hal yang membuat Patra selalu terluka dan menyesal, kala mengingat Eyang Bhanuresmi.

“Yakin harus ke Jogja sekarang?” Tarra mendekatkan bahunya, hingga tubuh mereka bersentuhan. “Kenapa nggak besok aja? Aku sekalian mau mengecek bakery Pak Hariadi.”

 “Sabar ya, Tar. Teman-teman kamu di sini masih butuh kamu.” Patra tersenyum, sambil menelungkupkan tangannya di atas jemari perempuan itu. “Kamu kan harus hadir di resepsi mereka, jangan sampai mengecewakan Bodhi dan Zaina.”

Tarra diam, kentara ia tak bisa melawan, tetapi ekspresi wajahnya tak bisa ditebak. Kakinya yang saling menopang, berayun maju mundur menunjukkan sikap resah.

“Saya janji, sehabis urusan di Jogja beres. Saya kembali lagi ke Jakarta buat jemput kamu, dan kita sama-sama pulang ke Jogja.”

“Pulang?” senyum Tarra. “Sekarang pulangku ke Jogja?” candanya.

“Mau ke Bali juga boleh." Patra balas terkekeh. "Saya yang akan bolak-balik ke sana.” Patra meremas jemari Tarra. "I’ll do anything Tar.”

“Meskipun harus bolak-balik ke Bali?”

Patra memandangi tamu-tamu yang bersorak riuh di kejauhan, ia lalu menoleh menelusuri raut wajah perempuan itu, tersenyum lebar. “Jika itu perlu.”

“Duh-duh… enteng sekali sih. Nggaklah, aku nggak mau bebani siapa-siapa. Kan udah kubilang, akhir bulan ini aku mau urus kepindahanku ke kantor cabang Jakarta. Syukur-syukur kalau UISAP mau menerima portofolio-ku.”

Patra memicingkan mata, memindai Tarra dari rambut hingga kaki. “Siapa sih yang bisa menolak kehadiran arsitek secemerlang ini?” Ia lalu mengecup puncak kepala perempuan itu.

Ada sesuatu yang melumer di antara keduanya, menyatukan kedekatan mereka yang dulu selalu terkendala jarak, seolah Patra dan Tarra berpasangan sejak lama.

 “Di UISAP banyak cowok gantengnya lho, Tra.” Tarra tersenyum jahil.

“Masih mau cari pesaing buat saya?” Patra menaikkan alisnya.

Tarra tergelak. “Nope! Just you.” Ia merebahkan kepalanya di bahu Patra, sambil melihat jadwal keberangkatan Patra ke Jogja. “Kok, dari Jakarta? Nggak dari sini?”

“Ada yang harus kuurus dulu di Jakarta.” Patra berdeham. Ia lalu beringsut, menatap wajah Tarra yang kini duduk tegak.

“Urusan bisnis Om Har?”

“Urusan masa lalu.” Patra meringis. Ia kembali mencari sesuatu di binar mata perempuan itu. “Janji untuk nggak khawatir, ya.”

“Should i?” Suara Tarra memelan. “Ada yang nggak kamu bilang sama aku?”

Patra menggeleng dan tersenyum. “Saya mau mengurai masa lalu, dan nggak menyisakan penyesalan di belakang untuk kamu.”

Tarra tak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Dikecupnya punggung tangan Patra.

***

Dari menara apartemen St. Regis, ia bisa melihat banyak kendaraan berlalu-lalang. Dulu, pemandangan seperti ini selalu menghadirkan sensasi sepi dan kebas tak berkesudahan. Ia akan melarikan dirinya ke hingar-bingar kehidupan malam, agar perasaan sepi yang sejak remaja menyelubungi dirinya berangsur hilang. Gadis muda itulah yang berulang kali mengembalikannya menapak bumi, gadis yang telah banyak disakiti dan dikecewakannya.

“Mas Patra, saya cuma disuruh Bu Anita untuk membereskan kamar ini. Tapi Ibu tidak pernah menyuruh saya menjualnya.” Seorang lelaki berambut cepak, berperawakan tinggi besar duduk di hadapannya.

“Sejak kapan Mama, mengintai gerak-gerik kehidupan saya di Jogja?”

“Sejak lama, Mas.” Meski ia terlihat kejam, suara dan tata bahasanya sungguh halus. “Ibu selalu ingin yang terbaik untuk kehidupan Mas Patra.”

Patra tak tahu harus bilang apa, mamanya adalah sebuah paradoks berjalan. “Saya kepengen menjual apartemen ini, Pak. Saya mohon bantuannya.”

Laki-laki bernama Bram itu hanya mengangguk. “Tapi—”

“Mama tak perlu tahu. Pak Bram cukup laporan sama Pak Hariadi aja. Uangnya tolong dikirimkan ke Jogja.” Patra menjatuhkan secarik kertas di meja. Sebuah nomor rekening bank atas nama Ambar Maharani. “Klendestin[1] Pak,” tegas Patra dalam nada mengancam.

Laki-laki itu kembali mengangguk. “Mas Patra….” Ia berdeham. “Tolong jaga kesehatan Bu Anita. Ia banyak membantu kehidupan saya selama ini, dan apa yang dialami oleh Bu Anita cukup berat, semoga Mas Patra bisa paham.”

Pada akhirnya Patra tahu, kalau laki-laki bernama Bram ini, bukan orang sembarangan yang dipilih mamanya untuk sekadar memata-matai. Lelaki berperawakan intel ini, juga turut menjaganya dari berbagai kemungkinan jahat di masa lalu, yang bisa merusak kehidupan dirinya dan sang mama.

“Pak Bram.”

“Ya, Mas?”

“Bantu saya menemuinya lagi.”

Laki-laki itu diam. Seperti sedang berhitung dengan strategi rumit. “Ia dijaga ketat sekali, Mas. Akan saya coba untuk membuka jalan. Tapi saya tidak yakin kalau Mas Patra bisa berlama-lama untuk bicara dengannya.”

Patra mengangguk, raut wajahnya kembali mendung setiap kali mengingat sosok gadis muda dan berbagai kisah tentangnya itu.

***

Lihat selengkapnya