Yogyakarta, 1991.
Gadis itu baru berusia 18 tahun ketika anakku membawanya. Ada kobar api semangat di matanya, yang hanya kulihat setiap kali aku berkaca. Ya, ia mirip denganku. Ia tak mengiyakan begitu saja ketika dirinya hadir di keluarga ini, sebagai istri Bagas. Janin di perutnya memaksaku untuk mau menerima ia apa adanya, meski entah kenapa, aku yakin ambisi yang ia miliki suatu saat nanti akan menyakiti puteraku.
Betul saja, perempuan yang ia bawa dari tanah Priangan itu mencuri banyak waktu dari kesehariannya. Puteraku tak lagi memikirkan toko yang sengaja aku besarkan untuk ia pimpian suatu saat nanti. Puteraku masih saja keras kepala dengan hasratnya membuat karya, dan ia mulai membelenggu setiap mimpi yang dimiliki istrinya itu. Bagas mencintai perempuan itu dengan caranya yang terlampau hebat. Namun kehadiran putera mereka, membuatku membuka mata, bayi itu adalah wujud kasih sayang Bagas dan Anita yang tak bisa aku nafikan. Aku menyayangi bocah mungil itu, mencintainya hingga apa yang tersisa dari hidupku ingin kuberikan untuknya, meski aku tahu kedua orang tuanya kini tengah saling melukai satu sama lain.
***
Yogyakarta, 1994.
Bhanuresmi menata toko seperti biasanya. Meski Ambar kerap membantu, ia memilih untuk menyiapkan penganan yang akan dijajakan oleh kedua tangannya sendiri, dibanding merepotkan orang lain. Karena ritual membuka toko yang sakral, adalah cara dirinya menyambut rejeki di pagi hari.
Di usia mudanya yang penuh ambisi dan keinginan, Ambar seringkali terlihat beradu argumentasi dengan ibunya –mengenai cara mengelola toko. Darah muda, keinginan menggebu, serta kecerdasannya membuat Bhanuresmi terkadang khawatir, putrinya tak memiliki keinginan untuk berkeluarga.
“Sudahlah, Mbar. Wong toko ini sudah berjalan sebagaimana mestinya, dari sejak zaman ibu hanya berjualan jadah manten thok, sampai sekarang segala kue Nusantara tersedia. Ndak usah sampai buka cabang di mana-mana.” Bhanuresmi menghela napas. “Tugasmu itu, ya cari jodoh. Biar Ibu bisa lekas gendong cucu.”
“Kan sudah ada Patra, Bu.” Ambar mendengkus.
“Ya, dari kamu.”
“Ah, Ibu….”
Perempuan paruh baya itu hanya geleng kepala, sambil membetulkan rambutnya yang disasak rapi. “Kepengen ibumu ini, kamu kasih kawan buat Patra. Kasihan anak itu ndak punya kawan bermain yang seumur dengannya.” Ia lantas tergelak menatap cucu sematawayangnya berlarian di halaman. “Moso mainnya sama Parjo melulu. Dia ndak bisa kerja antar kue ke pasar, kalau diganggu bocah itu terus.”
Ambar tampak melunak, demi melihat keponakannya menaiki pundak laki-laki paruh baya itu, dengan kedua kaki mungil yang menjuntai, bahunya bergerak-gerak setiap kali Parjo kesulitan. “Ati-ati, Pak! Patra ndak bisa diam, nanti dia jatuh!” teriaknya.
Bhanuresmi tersenyum, hatinya menghangat. Baginya, pemandangan seperti itu adalah alasannya bekerja lebih giat. Demi membangun dinasti bisnis yang ia harap akan terus membesar, meregenerasikannya pada anak cucunya kelak.
“Mbar, Mas-mu masih di studionya?”
Ambar mengangguk. Wajahnya masam.
“Anita iki piye, toh? Ndak bisa mendorong suaminya supaya lebih giat bekerja. Harusnya Bagas diam di sini bantu-bantu ibunya.” Bhanuresmi menggerundel. “Anak menantu sama saja.”
“Bu….”
Ia mendongak, menatap Ambar dengan tatapan gemas.
“Sejak kapan sih, Mas Bagas mengurus toko? Sudahlah Bu, biarkan saja dia hidup di dunianya. Bakatnya bukan berbisnis seperti Ibu.”
“Moso orang cari makan harus punya bakat dulu, Mbar?” Masih menggerutu, Bhanuresmi menyampirkan kain syalnya menutupi leher, ia lantas melangkah ke dapur, meninggalkan Ambar yang semakin menekuk wajahnya.
Di dapur, ia meneruskan gerutuannya pada Marni. Seolah semua masalah hari ini berpusat pada Bagas dan Anita, laiknya jamur yang merayap hingga meradang —gatalnya mengganggu sampai ke dalam hati.
Marni hanya mengangguk-angguk mendengarkan nyonya sepuh-nya dengan saksama. Ia tak tampak melawan. Sambil manggut-manggut, tangan Marni menguleni tepung beras dengan cekatan.
“Ngerti ndak, Mar?”
“Njih, Bu.”
“Pokoknya, kalau Mas Bagas dan istrinya minta pindah ke kamar utama, bilang saja harus seizin aku ya, Mar. Bagas iki mengalah terus sama istrinya itu, moso studionya mau dijadikan tempat untuk menari. Lah, nanti anaknya mau tidur di mana?”
Marni semakin merundukkan kepalanya. “Njih, Bu.”
Bhanuresmi menatap bangunan berwarna hijau lumut itu dari jendela dapurnya, ia masih menggerundel. Sudut mata yang berkeriut, kelopak yang mulai turun, satu persatu masalah di hidupnya mulai mencuri sosok ayu itu.
“Lho, kok ndak pakai gula putih toh, Mar?”
“Anu, Bu. Mbak Ambar yang nyuruh pakai gula merah. Katanya gula merah lebih wangi.” Takut-takut Marni menghentikan lengan gemuknya yang tadi sibuk menguleni adonan. Aroma gula kelapa menguar di udara, bercampur dengan perasan air pandan yang tadi ia rebus.
“Sini, Mar, aku saja yang menguleni.” Disingsingkannya lengan baju batik pekalongan itu hingga siku, lantas ia meraih mangkuk besar yang dipeluk Marni. “Kamu tengok Mas Bagas, ya. Buatkan ia teh hangat. Makan siangnya juga disiapkan di meja makan saja, biar ndak mengurung diri di studio terus.”
“Injih, Bu.”
Meski kesal, ia tak pernah melupakan kebiasan melayani anak lelakinya itu. “Oh, iya, Mar… makan siang Patra sudah kumasak di kuali. Anak itu suka sekali brongkos telur bikinanku.” Secercah senyum kembali terbit di wajahnya.
“Injih.”
“Kamu ndak tanya, makanan untuk ibunya, Mar?”
“Anu… untuk Mbak Anita, saya harus siapkan apa, Bu?”
Perempuan senja itu hanya mengibaskan tangannya, tepung adonan tercecer di meja dapur. Ia tak berucap apa-apa, hingga Marni berlalu dengan wajah bingung.
Tawa Patra pecah di kejauhan, bersama obrolan Parjo —yang seperti membacakan sebuah puisi untuknya. Ia tahu kalau Parjo menyayangi bocah mungil itu, seperti menyayangi anak-anaknya sejak dulu. Tatapan Bhanuresmi bertumbuk dengan lelaki paruh baya itu, cepat-cepat ia membuang wajah, kembali ke adonan kuenya yang hampir kalis.
***
“Bu, saya kepingin buka sendra tari Sunda di sini.”
Ia bahkan tak perlu mendongak, untuk tahu siapa yang tengah berbicara padanya. Terasnya yang tadi sunyi, tiba-tiba diserbu suara bising —mainan baterai yang diputar berulang-ulang—memekakkan telinganya.
Perempuan muda itu duduk, sambil memangku tangan. Gurat di wajahnya tak menyenangkan. “Bu….”