Bhanuresmi

Foggy F F
Chapter #31

Epilog

Ia menekuri site plan[1] yang telah terkirim untuknya sejak semalam. Bodhi dan Satria adalah dua arsitek yang mengkomandoi pekerjaannya dari ibu kota, di biro UISAP cabang Jogja sejak setahun lalu dibuka. Kedua arsitek itu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap pengembangan situs budaya yang kini tengah Tarra kerjakan —bersama Kundha Kabudayan Provinsi D. I. Y.

“Tar, sarapan dulu toh. Dari semalam kamu sibuk terus.” Ambar membawakan sepiring nasi liwet kegemaran ponakan ipar barunya itu. “Kasihan dia,” ucapnya sambil mengelus perut Tarra yang mulai membuncit.

Tarra tersenyum lebar. “Rumah Jogja tuh, selalu bikin aku menggemuk, Tan. Besok-besok berat badanku naik lagi, aku salahin Tante Ambar, ya?”

Ambar tergelak, ia melangkah ke dapur lalu kembali dan menambahkan kremesan ke dalam piring Tarra.

“Ya ampun, malah ditambah. Kan jadi enak,” oceh Tarra sambil menyuap sesendok nasi liwet bikinan Ambar yang belakangan ia gemari. Bawaan orok kata suaminya.

“Suamimu pulang hari ini?”

Tarra mengangguk sambil mencermati gambar yang membuat ia mengernyitkan alis. “Patra dari Bandung pakai pesawat, Tan. Sepertinya Mama ikut, jadi belum bisa pakai perjalanan darat.”

Yowis, kamu hari ndak ke kantor, kan?”

“Sepertinya aku kerja dari rumah aja, deh. Perutku mulai mual-mual lagi belakangan ini.”

“Mau kubuatkan teh lagi?”

“Tehnya Eyang, ya, Tan? Please.” Tarra tersenyum lebar sambil menangkupkan tangannya. “Makasih banyak Tante Ambar.”

Ambar mengibaskan tangannya. “Ibu pasti ngamuk-ngamuk iki, stoples tehnya kamu kuasai.”

“Nggaklah. Aku sama almarhum eyang itu punya memori yang indah tentang teh. Beliau pasti senang, bakal cicitnya dikasih asupan teh yang enak.”

Ambar tersenyum. Ia berlalu ke tempat penyimpanan makanan dan minuman, di lemari ibunya. Sekarang area itu selalu dikelola dengan baik oleh Tarra, karena mereka punya kegemaran yang sama.

“Halo, Tra….”

“Ya, Sayang?” Patra menjawab di deringan pertama.

“Pulang,” ucap Tarra sambil merengut manja. “Aku kepingin sesuatu.”

“Ha? Apa itu? Nggak bisa minta tolong Bayu, Tar?”

Tarra kembali merengut. “Cuma kamu yang bisa Tra. Makanya pulang.”

“Iya, iya. Saya pulang. Memangnya kamu kepengen apa, sih?”

Tarra tersenyum, ia lalu merajuk. “Kue lumpur kayu manis bikinanmu.”

Patra tergelak. “Ay-ay captain, saya pulang segera.”

Dari pintu menuju teras belakang —tampat Tarra biasa menghabiskan waktunya menggambar desain— Ambar mengamati interaksi mereka di telepon.

“Kenapa Tan?”

Lihat selengkapnya