Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #1

SPLASHING MEMORIES

Meski aku menyukai pekerjaanku, kali ini aku merasa enggan mengerjakan copywriting untuk pitching iklan obat kuat. Bayangkan saja, aku harus menulis untuk konsep kreatif iklan yang, entah kenapa, membangkitkan lonceng trauma masa lalu. Namun, aku berusaha profesional dan mengerjakannya semaksimal mungkin. Untungnya, Mbak Helen sebagai Account Executive telah menyajikan presentasi yang luar biasa di hadapan klien siang tadi.

“Bianca, makasih ya, ide kamu keren!” Masih terngiang di telingaku kata-kata Mbak Helen yang mengapresiasi kinerjaku saat kami dalam perjalanan kembali ke kantor. Sebenarnya, konsep yang aku buat sederhana saja: menggambarkan pasangan manula yang tetap harmonis, dengan sang suami yang sudah "veteran" masih bisa mengajak istrinya berdansa, lalu menggendongnya ke kamar. Slogan untuk kampanye media sosial di Twitter juga aku buat dengan hashtag #RomantisTanpaBatas. Melihat proses pitching kali ini, aku yakin proyek ini akan deal.

Hari ini, Jumat, 3 April 2009, jam 17.30, aku kembali ke apartemen dengan sedikit rasa lelah namun juga senang dengan hasil kerja hari ini. Besok weekend, dan malam ini ada reuni alumni kampus angkatan 2000-2005. Selain mengerjakan slogan iklan obat kuat, mengikuti reuni pun menjadi hal yang agak kuengganan. Namun, karena aku merasa perlu memperluas jejaring untuk menunjang karir, akhirnya aku memutuskan untuk menghadiri reuni tersebut.

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, menghela napas, dan tiba-tiba sebuah frasa terlintas di benakku: "...and their life would be happily ever after." Sepertinya, hampir setiap dongeng Eropa berakhir dengan kata-kata semacam itu. Sejujurnya, aku tidak pernah bosan, apalagi dengan cerita tentang Danielle De Barbarac yang mengadaptasi dongeng Cinderella dalam film EverAfter yang dibintangi Drew Barrymore. Itu adalah film favoritku sejak kelas 2 SMP.

Aku memandangi lukisan "KW" Danielle De Barbarac yang menempel di dinding tepat di ujung tempat tidurku. Ini bukan poster Drew Barrymore, yang berperan sebagai Danielle, melainkan reproduksi lukisan karya Leonardo Da Vinci dalam bentuk poster yang dibingkai klasik, sehingga menyerupai sebuah lukisan. Dalam cerita film itu, Danielle bersahabat dengan Da Vinci, yang terkesan dengan kisah cintanya yang mirip dongeng Cinderella. Maka, Da Vinci pun membuatkan sketsa wajah Danielle: seorang perempuan lembut dengan pandangan menunduk sayu ke kanan. Setelah booming-nya novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, aku tahu bahwa lukisan yang di film itu sebenarnya adalah La Scapigliata, sebuah sketsa Da Vinci yang dibuat pada tahun 1508 dan disebut The Lady with Dishevelled Hair (Perempuan dengan Rambut Acak-Acak). Aku merasa relate dengan lukisan itu—cantik tapi acak-acakan, setidaknya di masa lalu.

Aku menganggap perjuanganku untuk mendapatkan duplikat lukisan itu cukup berarti. Mulai dari mencari gambarnya di Google meski resolusinya kecil, hingga memohon kepada Monsieur Vargas, mantan teman kencanku yang berkebangsaan Perancis. Aku begitu antusias karena meskipun fiktif, hanya tokoh Danielle De Barbarac-lah yang selalu memberi semangat untuk menjadi perempuan yang terus berusaha mencari kebahagiaan dalam kehidupan Ever After.

Sebelum aku menonton dan mengoleksi VCD film ini, aku hampir putus harapan—mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan sejati? Sejak umur 12 tahun, ketika aku menjadi yatim piatu dan diasuh oleh tanteku, aku dibesarkan dalam dunia yang penuh dengan kebahagiaan palsu: menjadi ABG kaya raya yang penuh dengan tawa ceria, menikmati perhatian pria-pria beristri yang harus aku nikmati. Monsieur Vargas-lah, seorang pria Perancis berumur 56 tahun, menjadi "ksatria senang" terakhirku.

Harapanku waktu itu, dialah yang akan membawaku pada kebahagiaan Ever After bertajuk cinta. Tapi ternyata, bukan Monsieur Vargas, bukan pula pria beristri itu, melainkan hanya seorang kakak kelasku di kampus yang sangat pendiam. Meski setahuku, dia adalah anggota geng yang terdiri dari beberapa cowok keren di kampus.

Pikiranku kembali melayang ke kenangan Maret 2004. Suatu siang yang menyebalkan, aku dikeluarkan dari kelas gara-gara terlalu keras berdebat dengan Pak Permana saat membahas Patologi Sosial. Mungkin aku memang sangat tersindir sebagai pelaku patologi sosial itu sendiri.

"Wah, pengalaman yang cukup menyenangkan pas kemarin saya roadshow buat promo kampus ke Balikpapan," kata Pak Permana, memberi intermezzo.

"Di sana, patologi sosial bisa berbentuk hal yang elit lho," lanjutnya, sok tahu tentang penyakit masyarakat.

Lihat selengkapnya