Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #2

I MET YOU

Kantin kampus selalu menjadi tempat yang nyaman untuk aku melepas penat, apalagi jika ada secangkir es vanilla latte di tangan dan rokok mild yang sedang kupantik. Suasana yang ramai dengan suara obrolan teman-teman dan gemericik air dari dispenser, seakan menenangkan aku, memberi ruang untuk sedikit me-time. Aku memang lebih suka sendiri, apalagi di tengah hari yang panas seperti ini, menikmati secangkir kopi sambil membiarkan pikiranku mengembara.

Namun, hari ini entah mengapa aku merasa agak risih. Sesaat setelah duduk, aku merasa seperti ada yang mengamatiku. Rasanya ada yang mengawasi dari kejauhan, meskipun kali ini kantin cukup sepi. Aku tengok ke kiri dan kanan, tak ada yang mencurigakan. Tapi begitu menoleh ke belakang, aku melihat seorang cowok dengan mata sipit tertutup poni yang menunduk. Sepertinya dia sedang memandang ke arahku. Seketika rasa risih itu meningkat. Jangan-jangan, dia menatap pinggulku yang terlihat karena kaus ketat yang aku pakai. Tato malaikat perempuan emo gotik yang terukir di pinggulku juga semakin membuatku merasa canggung. Aku menarik napas, berusaha menenangkan diri, dan menutupi area pinggulku dengan mengikatkan lengan jaket ke sana.

Aku mematikan rokok mild-ku, lalu beranjak dari tempat duduk. Namun, cowok itu masih saja terdiam, memandang kosong dengan posisi tubuh yang seolah tak bergerak. Aku ragu sejenak. Apakah dia benar-benar sedang menatapku atau hanya sedang melamun? Setelah menimbang beberapa detik, aku memutuskan untuk mendekatinya. Toh, kami sudah sering berada di ruang kuliah yang sama.

"Mmm… mas, sori, lagi ngelamun ya? Tadinya aku sempat ge-er-an, aku pikir mas lagi ngintipin aku," ujarku mencoba mengusir rasa canggung. Aku ingin mengakui kehadiranku, sekalian mengakhiri rasa risih ini.

Cowok itu mengangkat kepala, hanya sedikit menoleh, dan mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Aku merasa sedikit aneh dengan sikapnya yang dingin, tapi tetap melanjutkan pembicaraan. “Namaku Bianca,” kataku sambil mengulurkan tangan kananku, berharap ada sapaan ramah.

“Fardan,” jawabnya singkat, dengan nada datar dan tangan yang menyambut salamku, meskipun matanya kembali menunduk begitu saja.

Lihat selengkapnya