Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #3

LATTE & THE COOL YOU

Sendiri, aku melangkah pelan melewati selasar kampus Fakultas Sastra. Seperti biasa, tujuanku adalah membeli segelas Vanilla Latte di kantin. Hari belum terlalu siang, dan udara pagi yang segar terasa nyaman. Burung-burung pipit masih terlihat melayang di atas rumput hijau di sekitar gedung kampus. Hanya tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai di bibir kantin, ketika tiba-tiba, GERRRRR… suara gaduh terdengar karena banyak kelas yang baru saja selesai. Mahasiswa berhamburan keluar, menuju kantin atau tempat lainnya. Beruntung aku bisa mencapai kantin lebih dulu.

Aku memilih duduk di dekat buffet kantin, meski sebenarnya terlalu keren jika disebut demikian, karena kantin ini hanyalah warung makan sederhana di kampus dengan sistem prasmanan. Jangan berharap suasananya seperti lounge mewah yang sering ada di mall atau kafe-kafe. Vanilla Latte yang aku pesan hanyalah kopi instan kemasan, meski terkadang aku membayangkan rasanya seperti minuman dari kafe terkenal. Di belakang meja makan-ku, ada beberapa pot anggrek Catleya yang digantung. Harapannya, orang-orang yang melihatku bisa mengira aku sedang duduk di sebuah tempat mewah berkat keberadaan bunga-bunga cantik itu. Lucu, kan? Tapi terkadang aku merasa seperti ini yang paling mendekati definisi 'lux' versi kampus.

Sambil menunggu kedatangan minuman favoritku, aku mulai membuka materi kuliah Lintas Budaya yang baru saja aku ikuti. Lembaran-lembaran catatan yang ditulis dengan tangan mulai kubaca ulang, mencoba meresapi apa yang disampaikan dosen. Kantin semakin ramai dengan mahasiswa yang datang berkelompok. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang memilih duduk di mejaku. Mereka lebih memilih untuk berkumpul dengan geng masing-masing. Aku merasa tidak kesepian kok. Teman-temanku lebih banyak di luar kampus ini, mereka yang lebih mengerti siapa aku sebenarnya.

Bersamaan dengan datangnya Vanilla Latte yang dipesan, aku sedikit terganggu oleh sebuah tangan yang diletakkan di mejaku. Aku menoleh, dan ternyata, Fardan yang berdiri di sebelahku. Matanya yang sipit tertutup poni hitam yang acak-acakan itu masih menunduk, meski sebenarnya dia bisa dengan mudah menatapku, karena posisiku yang duduk cukup dekat dengannya. Ternyata dia tadi memang sekelas denganku.

"Oh... hai..." Aku mencoba tersenyum, meski sebenarnya tak tahu apakah senyumku terlihat cukup tulus. Namun, Fardan tidak memandangku sama sekali.

"Cu... cuiiitt....!" Terdengar suara dari dua meja di seberangku, dari arah mereka yang sedang berbicara. Fardan menoleh ke arah teman-temannya, tidak menghiraukan senyumanku dan bergabung dengan mereka. Aku hanya mengamati mereka, mungkin karena aku merasa mereka bukan tipe teman yang bisa aku ajak berbicara lebih lanjut. Geng mereka memang selalu sama, sih.

Di meja yang lebih dekat dengan Fardan, ada Tyo. Cowok bertubuh tegap atletis dan berambut cepak ini sering terlihat sedang menggoda orang di sekitar, tak terkecuali Fardan. Dulu aku sempat ngefans sama Tyo. Gaya hidupnya yang selalu terlihat fancy dan terlihat seperti model di Billboard sebuah counter jins di Malioboro Mall membuat banyak orang mengaguminya. Dulu, Tyo bahkan pernah membanggakan pacarnya yang seorang pramugari dengan membawanya ke kampus, membuat banyak orang merasa iri.

Di sisi lain, ada Rifat. Ketua organisasi English Debate di kampus ini. Sering kali aku melihatnya sendirian di Soda Lounge, serius mengetik di laptop. Meskipun tidak pernah ada interaksi langsung antara kami, aku sering mengamati Rifat dari jauh. Dia adalah tipe cowok yang smart, gaul, dan elegan. Tipikal cowok yang membuat hati siapa pun berdetak lebih cepat. Aku masih ngefans sama dia sampai sekarang.

Lalu ada Nobo. Teman Fardan yang tampaknya cukup pendiam, dengan tubuh paling kecil di antara teman-temannya yang lain. Tapi meskipun tubuhnya kecil, dia tidak seseram Fardan. Terkadang aku bertanya-tanya mengapa dia lebih memilih untuk tetap berada di sekitar teman-temannya yang terlihat lebih 'cool', meskipun tampaknya Nobo tidak terlalu menikmati keberadaan mereka.

Aku mendengar Tyo dengan sengaja mengeraskan suaranya ketika menggoda Fardan. Bagiku, ini adalah salah satu bentuk pelecehan, meski aku tahu, mungkin mereka tidak sengaja. Aku merasa menjadi lebih sensitif akhir-akhir ini, mungkin karena aku sering kali dilecehkan, terutama oleh cowok-cowok yang menganggap diriku ini hanya sebagai objek hiburan. Mungkin ini juga salah satu penyebab mengapa aku merasa agak tertekan, entahlah. Aku berusaha untuk menenangkan diri, berusaha tidak menganggapnya terlalu serius.

Lihat selengkapnya