Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #4

BERHENTI

Aku tidak ingin terlambat datang ke reuni alumni malam ini. Sembari mandi tadi, banyak angan-anganku tentang masa lalu yang mengalir deras, sederas air shower yang mengguyur tubuhku. Begitu aku keluar kamar mandi, aku mendengar lagu Through the Fire dari Chaka Khan mengalun tepat di chorus. Kebetulan sebelum mandi, aku menyalakan CD audio itu. Lagu ini membawa banyak kenangan, terutama tentang Kennedy, si Gay “bocor” yang jadi partner aku nge-MC di Hugo’s Café dulu.

Dia pernah memberi tebak-tebakan yang bikin aku tertawa sampai sekarang. “Eh Bo, lo tau ga’ siapa penyanyi jazz kondang yang juga pemain debus?” tanyanya dengan gaya seolah-olah dia adalah gay yang dikagumi semua pria.

“Heh, emangnya gue cabo? Loe panggil gue bo?” Aku agak sewot, merasa risih dengan panggilan yang terlalu akrab itu.

“Ye... kebagusan amat loe jadi cabo, maksud gue tuh Bobo, muka loe tuh dah kayak kelinci Ostrali.” Kali ini gayanya bicara sudah seperti gay yang begitu dikagumi semua cowok. Aku pun ketawa, tapi baru sadar jawabannya adalah Chaka Khan, karena dia nyanyi lagu Through the Fire, yang bisa dianggap 'melewati api'. Geli juga kalau dipikir-pikir, ternyata si Chaka Khan cocok jadi pemain debus, lihat saja di video klipnya yang rambutnya sudah seperti api yang membara.

Itu salah satu kenangan gila bareng Kennedy yang sekarang mengaku sedang merintis karier di dunia sinetron di Jakarta. Dulu dia juga yang ngajak aku pasang tato. Aku awalnya ragu, tapi akhirnya berpikir seru juga ya kalau pasang tato. Aku memilih tato gambar malaikat bersayap dengan aksen tribal, cukup gotik, dan rasanya pas saja kalau tato itu menempel di pinggulku. Bukan karena ingin menarik perhatian cowok, entah kenapa, karakter tato itu terasa cocok untukku. Bentuknya pun ergonomis kalau dipasang di pinggul, seperti ada pesan tersembunyi yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang cukup peka.

"Ting tong!" memoriku mendadak pindah ke kejadian lain, sekitar lima tahun yang lalu. Sore itu, suara bel di pintu apartemenku berbunyi di suatu hari Minggu saat aku sedang mengerjakan tugas kampus.

“Tante...” Seorang perempuan paruh baya, yang masih terkesan muda, berdiri di depanku dengan mengenakan sackdress bermotif tulip, lengkap dengan aksen payet di bagian dada sebelah kiri.

“Tante bisa masuk kan, Bi?” Tante Diana bertanya sambil melepaskan tas yang terjuntai di pundaknya.

Aku mengangguk, tanda membolehkan. “Kok udah pulang tante?” tanyaku, meskipun itu hanya basa-basi. Aku sebenarnya tak terlalu peduli dengan kehadirannya.

“Kenapa? Risih ya liat muka tante? Mmm, duit tante cuman dikit buat shopping, makanya cuma bentar aja di Singapura,” jawabnya dengan senyum nakal. Tante Diana menyandarkan tubuhnya yang masih kencang di sofa panjang hijau yang ada di apartemenku. Sebagai mahasiswa, aku cukup bangga dengan tempat tinggal ini, walaupun aku tahu, banyak temanku yang tinggal di kos-kosan lebih sederhana.

Aku hanya diam dan tidak menjawab. Pertanyaannya yang terdengar seperti celetukan ringan pun aku anggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijawab.

Lihat selengkapnya