Kusapa satpam apartemen dengan senyum lebih sumringah dari biasanya. Jam enam pagi, aku sudah meluncur dari apartemen dengan Chevrolet Spark merah andalanku. Hari ini aku tahu akan tiba di kampus terlalu awal, mungkin sekitar setengah tujuh. Padahal kuliah pertama baru mulai jam tujuh seperempat.
Sebenarnya aku sengaja berangkat pagi. Selain agar lebih santai, aku juga ingin sarapan soto ayam Pak Zainal yang terkenal enak dan berempah, tidak seperti kebanyakan soto Jogja yang kuahnya bening. Letaknya hanya sekitar dua ratus meter dari kampus. Di warung itu, aku memesan soto ayam tanpa vetsin dan teh hangat tawar sebagai teman makan pagi. Bukan karena sok sehat sih, tapi kalua pakai vetsin aku gampang terkena Chinese food syndrome yang membuat kepalaku migrain. Selain itu gula pasir curah juga bikin aku gampang batuk.
Aku baru saja akan menyuap nasi soto pertama ketika suara gaduh muncul dari arah pintu masuk. Entah mengapa aku langsung merasa tidak nyaman.
“Ya udah Gi, nanti kamu datang aja ke rumah. Lagi pula dengar-dengar Charity Share mau ada proyek lagi… oke, see you, Gina. Bye…” Suara berat itu datang dari Rifat, yang muncul dengan ponsel masih menempel di telinganya.
“Dari Gina, ya, Fat?” tanya Nobo yang duduk di salah satu meja.
“Iya, nanti sore dia mau main ke rumah,” jawab Rifat sambil memasukkan ponselnya ke saku celana kanan.
“Untung masih pagi. Masih banyak tempat kosong!” Tyo ikut masuk, suaranya lantang menggelegar seperti biasa.
Aku menelan ludah, merasa seperti sedang melakukan hitung cepat. Satu per satu teman-teman geng Rifat sudah berkumpul di warung ini. Aku melirik ke arah pintu dengan harapan kecil—atau mungkin ketakutan—akan munculnya seseorang yang melengkapi geng itu.
DEG! Kenapa sih harus kebetulan? Begitu aku menoleh, Fardan justru muncul dari pintu masuk. Rambutnya masih berantakan tapi entah kenapa terlihat keren saja. Dia berjalan santai, seolah dunia berputar lebih lambat di sekitarnya. Mataku refleks kembali ke mangkuk soto, pura-pura sibuk. Aku yakin dia melihatku.
Fardan duduk di sebelah Tyo, tapi Tyo malah berdiri dan bukannya pergi memesan makanan—karena Nobo sudah memesannya—melainkan berjalan ke arahku.
“Bianca, ya?” tanyanya sambil menepuk pundakku tanpa izin.
Aku mendongak dan refleks menjawab, “Ehm… iya…”
“Anak semester dua, kan? Dengar-dengar IP semester satu kamu kemarin empat ya? Hebat, adik kelas udah banyak ambil mata kuliah semester atas.” Dengan gayanya yang sok santai, Tyo langsung duduk di sebelahku tanpa perlu dipersilakan.
“He-he-he…” Aku hanya bisa tertawa kecil, canggung.
“Udah kenal sama aku, kan? Ini geng the coolest di kampus. Kamu udah tahu kan temen-temenku?” ucap Tyo, lalu menunjuk Rifat, Nobo, dan Fardan dengan dagunya.
Aku menelan ludah lagi. Berusaha santai, padahal sudah gelagapan dalam hati. “Oh… iya…” Aku menjawab seadanya.
“Tapi sama si Mr. Cool itu udah akrab banget, ya?” lanjut Tyo sambil menunjuk Fardan, yang masih fokus pada dunianya sendiri.
Aku hampir tersedak soto. Untung cepat kuteguk teh tawarku. Aku merasa wajahku mulai panas. Apa maksudnya sih Tyo bicara seperti itu? Aku buru-buru menghabiskan soto ayamku, berharap situasi ini segera berakhir.