Bianca

Ardhi Widjaya
Chapter #7

FROM BOOKS TO FOODS

Sudah hampir jam dua belas siang, kebetulan dua kuliah setelah ini kosong tapi aku rasanya malas kalau harus pulang sekarang. Aku pikir, tampaknya penting sesekali nongkrong di kampus barang sebentar, setidaknya aku bisa mengobrol sejenak dengan orang–orang di sini. Yah biar kesannya aku itu bukan seorang Mahasiswa-Tanpa-Teman.             

Kucoba mendinginkan tubuh dan pikiran di perpustakaan, agar lebih rileks, aku pasang earphone MP3 semberi menikmati alunan playlist-nya. Volumenya aku buat kecil saja, aku merasa sedikit mulai chilled. Mulai terdengar lagu pertama Out of Reach-nya Gabrielle yang alunan musiknya makin menambah nuansa adem.             

Tapi aku merasa sedikit aneh jika masuk perpustakaan tapi tidak membaca buku. Lalu kucoba mematuhi aturan tak tertulis itu, maka kuambil novel Rebecca karya Daphne du Maurier yang katanya akan menjadi rujukan utama di mata kuliah Analisis Wacana semester depan.

Lagunya Gabrielle sudah mengalun setengah jalan. Aku masih Sembari membaca cerita tentang perempuan anonim yang menjadi asisten pribadi seorang wanita sosialita dan tengah berlibur di Monte Carlo dalam buku ini. Mendadak aku tercekat, tidak begitu yakin karena samar-samar aku mendengar ada yang memanggil namaku, hampir mirip seperti bisikan.             

”Bianca Resita Murti...” Ada yang membisikkan nama lengkapku, di dekatku.             

“Iya...” Ku buka earphoneku, untuk memastikan seseorang yang duduk di depanku itu benar telah menyebut namaku.             

“Hei Bi... kirain ga’ denger” Kata seseorang yang tadi memang baru saja menyebut nama lengkapku dengan lembut. Sesaat kemudian, Aku baru sadar kalo aroma Armani Black mulai merasuk ke hidungku terbawa desiran lembut udara dingin yang mengalir lewat AC di ruangan ini.             

"Kenapa manggil aku pake nama panjang, kayak petugas absen aja” Aku merasa aneh sekaligus tersanjung.             

”Ga tau ya, abis nama kamu bagus sih” Fardan, yah dialah yang tadi menyebut lembut nama panjangku, dia tampak ingin beri penjelasan yang logis atas apa yang baru saja dilakukannya. Ingin rasanya aku bilang ke Fardan ‘ucapkan itu sekali lagi’ seperti kata Danielle ketika pangeran Henry memanggil namanya.             

”Temen-temen kamu mana mas?” Ini dia, aku ucapkan kata-kata basa basi yang basi banget.

”Lagi pada jalan – jalan ke Malioboro”             

”Mas Fardan ga’ ikut?” Menyebutnya mas Fardan terasa agak geli tapi apa ya? Aku juga susah untuk menjelaskan.             

”Males ah” Berhubung ini obrolannya di perpustakaan, sedari tadi kami berbicara semi bisik-bisik.

”Bi... kamu udah makan belum?” Maksud Fardan apaan ya bertanya aku sudah makan atau belum, sok perhatian menurutku, hah, maybe sih.                    

”Belum tuh mas” Goblok, jujur banget sih aku, kenapa tidak mencoba sedikit jaim? ”Cari makan ke kantin yuk” Fardan mengajakku.

Wow, Fardan mengajak aku makan bersama. ’Apaan sih biasa aja lagi Bi’ aku menyuruh diriku sendiri buat tenang.

”Pliss” Aku belum memberi jawaban namun Fardan malah memohon dengan gaya meringis yang menurutku lucu. Caranya memohon barusan, meringis sambil memunculkan bentuk pipi tembemnya, mengingatkanku pada gaya seorang bocil–si bocah cilik, adik kesayanganku satu – satunya. Pikrianku lalu mengembara sekian detik di masa lalu…

Lihat selengkapnya